BEBERAPA minggu terakhir kita disuguhkan persidangan yang cukup menarik banyak perhatian dari masyarakat. Persidangan tersebut ialah kelanjutan kasus pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan terdakwa mantan Perwira Tinggi sekaligus Kepala Divisi Propam Polri atau Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf.
Dari drama persidangan tersebut salah satu yang menarik perhatian adalah soal sistem komando dalam jajaran kepolisian. Bharada Eliezer mengatakan dalam surat permintaan maafnya bahwa semua yang ia lakukan adalah karena diperintahkan oleh seorang Jenderal dan ia hanya seorang Bharada yang diketahui memiliki pangkat terendah dalam institusi kepolisian.
“Saya hanya anggota yang tidak mampu tolak perintah jenderal” ungkap Eliezer di depan wartawan.
Bukan hanya itu, dalam persidangan lanjutan perintangan proses hukum atau obstruction of justice yang juga didalangi oleh Ferdy Sambo, para tersangka lainnya, yaitu Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rachman Arifin, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto juga kompak mengatakan bahwa yang mereka lakukan hanya atas dasar perintah sang atasan yang tidak berani mereka tolak. Bahkan ada sekitar 90 personil kepolisian yang diduga ikut dalam lingkaran komando dari Ferdy Sambo.
Aturan mengenai komando
Secara kultural memang budaya komando dalam institusi kepolisian rupanya masih berlangsung sampai saat ini. Budaya bahwa apapun yang atasan berikan harus siap dilaksanakan ternyata masih sulit diubah. Budaya komando seperti ini memang rasanya tidak lepas dari sejarah pengaruh pola atau doktrin militerisme Orde Baru.
Sesungguhnya institusi kepolisian sendiri telah memiliki aturan yang mengikat soal budaya komando ini, yaitu Perkap No.14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Peraturan tersebut merupakan langkah awal Polri untuk menumpas budaya kepatuhan antara perwira senior dan junior.
Pada Pasal 7 ayat 3 huruf a dan d secara tegas mengatakan bahwa anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib:
“Menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama,” dan
“Norma kesusilaan dan melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah.”
Meski telah ada peraturan yang mengatur namun yang terjadi malah sebaliknya, bawahan lebih tunduk pada komando daripada hukum itu sendiri. Jika budaya komando terus terjadi tanpa adanya reformasi maka kasus-kasus seperti yang Ferdy Sambo lakukan juga akan terus ada dikemudian hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa institusi kepolisian dibentuk dengan sejarah panjang yang sampai saat ini masih menyisakan pola militer dalam tubuh Polri.
Reformasi instrumental, struktural maupun kultural secara masif masih jadi pekerjaan rumah bagi Polri. Bahkan banyak pengamat mengatakan bahwa aspek kultural adalah bagian yang paling parah. Padahal jika aspek ini dapat berjalan dengan baik maka tidak ada lagi yang ‘Perintah adalah Tuhan’. Doktrin kultural seperti itulah yang membuat Ferdy Sambo mampu mengerahkan semua bawahannya untuk menutupi kejahatan yang diperbuat dan tidak ada satu orang pun yang berani melawan perintah meskipun mereka tahu bahwa itu adalah pelanggaran hukum.
Jabatan Ferdy Sambo yang saat itu adalah kepala divisi Propam yang disebut-sebut sebagai polisinya polisi sehingga menempatkan dirinya sebagai seseorang yang mampu menggerakan massa (anggota Polri) dengan kewenangan jabatannya. Hal seperti ini sudah sepatutnya menjadi pembelajaran bagi Kapolri jika memang ingin menciptakan organisasi yang profesional dan akuntabel tanpa adanya kubu-kubu dalam tubuh organisasi kepolisian maka harus ada pembatasan kewenangan yang ‘super power’.
Selain itu fungsi Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) tidak terdengar suaranya. Padahal tugas utama dari organisasi tersebut adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri agar sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Di Indonesia, Kompolnas masih belum bisa menjadi lembaga pengawasan yang efektif karena tidak memiliki fungsi pengawasan yang jelas. Akhirnya Kompolnas hanya terlihat sebagai pelengkap semata. [NS]