PASAR BARU atau Passer Baroe adalah kawasan perdagangan yang berpusat di jalan Pasar baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pusat perbelanjaan ini dibangun pada tahun 1820 sebagai Passer Baroe sewaktu Jakarta masih bernama Batavia.
Kejayaan “Passer Baroe” sudah dikenal di masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Daerah “Passer Baroe” dulu tidak hanya dikenal sebagai daerah elite karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun oleh pemerintah Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia.
Passer Baroe dari Masa ke Masa
Bercampurnya banyak kultur di Pasar Baru Jakarta, tidak terlepas dengan sejarah berdirinya lokasi ini dan untuk menarik benang merahnya, kita perlu menengok ke abad 19. Kala itu, Gubernur Jenderal Daendels tengah melakukan pengembangan terhadap lokasi Batavia di area Kota ke arah selatan di kawasan Weltevreden. Pengembangan ini ditujukan untuk perancangan pusat pemerintahan yang baru.
Tahun 1898-1900
Ada kisah menggelitik dalam buku bertajuk “Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen“, yang ditulis oleh Justus van Maurik. Yang menceritakan seorang tukang sepatu bernama Sapie Ie di daerah “Passer Baroe” sekitar tahun 1898-1900 an.
Justus menceritakan bagaimana terhubung dengan Sapie Ie karena harus membuat sepatu baru untuk memenuhi undangan sebuah pesta dansa di Gedung Harmonie. Dalam undangan yang disampaikan langsung Gubernur Jenderal van der Wijck tersebut disebutkan bahwa pesta dansa dilakukan pada Minggu, 2 Agustus tepat pukul 21.00 malam. Justus pun bersiap diri.
Karena hanya memiliki sepatu butut maka atas desakan salah seorang temannya yang sudah lebih dulu menetap di Kota Batavia, Justus disarankan untuk memesan sepatu ke tukang sepatu Sapie Ie di “Passer Baroe”. Sapie Ie dengan senang hati menerima pesanan sepatu khusus Justus untuk dansa. Karena kakinya agak besar maka Sapie Ie meminta tambahan ongkos sebesar 50 sen.
Uniknya, memesan sepatu dari Sapie Ie saat itu bisa ditunggu. Sambil menunggu sepatu pesanannya selesai, Justus van Maurik jalan-jalan mengitari daerah Rijswijk. Dalam beberapa jam akhirnya sepatu pesanan selesai. Sayang, ketika dicoba ternyata agak sempit. Tapi kereta jemputan untuk mengikuti pesta sudah menunggu, maka Justus van Maurik pun melupakan rasa sakit kakinya.
Selesai pesta Justus melepaskan sepatunya yang terasa sempit dan menyakitkan. Begitu dibuka ternyata di ujung sepatu kiri ada bon tagihan yang dilipat rapi. Mungkin karena Sapie Ie sang tukang sepatu sungkan menagih kekurangan pembayaran sepatu sehingga ia menaruh bon tagihan di dalam sepatu yang mengakibatkan kaki Justus kesakitan sepanjang pesta.
Tahun 1901-1910
Sungai Ciliwung yang melintas di “Passer Baroe” sering digunakan untuk lomba perahu. Orang menyebutnya Kali Passer Baroe waktu itu yang menjadi tempat digelarnya lomba perahu untuk memperebutkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan, cita/kain dan bahkan sebungkus kecil candu seharga 32 sen.
Lomba perahu di Ciliwung dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Memang semasa Batavia dulu daerah Passer Baroe dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar. Di sana banyak bermukim orang-orang Cina yang pindah menetap dari daerah Pecinan Glodok. Sebagian dari mereka memilih membuka toko di “Passer Baroe” ini.
Tradisi pesta Peh Cun digelar tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, para pedagang di pasar itu melupakan bisnisnya sesaat dengan berbondong-bondong berkumpul di sepanjang Ciliwung untuk menyaksikan penyelenggaraan Peh Cun. Puluhan perahu yang dihias, ada di antaranya yang dihias dengan topeng kepala naga berlaga dan sebagainya. Banyak orang berkumpul di sana dan tidak cuma etnis Cina tapi juga penduduk di sekitar kali itu. Sorak-sorai bergema dan suasana riuh rendah di saat perahu-perahu berlomba untuk mendapatkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan. Yang bahkan ditaruh sebungkus kecil candu seharga 32 sen. Etnis Cina memang dikenal gemar candu. Terkait itu tak heran jika di Kota Batavia dulu pemerintah Kompeni Belanda mematok pajak candu bagi rumah-rumah candu.
Sisa-sisa Yang Masih Ada Sampai Sekarang
“Pasar Baru yang dibangun pada abad 19, merupakan kawasan belanja outdoor dan shopping street. Sedangkan Sarinah yang dibangun pada abad 20 sebagai pusat perbelanjaan indoor sekaligus shopping center,” jelas arsitektur Aditya Wirawan Fitrianto kepada Kompas.com, Senin (1/7/2022).
Sisa kejayaan masa lalu yang masih kokoh berdiri hingga hari ini, dan masih bisa dinikmati bila bertandang ke kawasan Pasar Baru. Beberapa diantaranya Kantor Pos Filateli (namanya sekarang jadi pos bloc), Stadsschouwburg (sekarang dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta), Ursuline Zuster School (Santa Ursula), Gedung Antara, Toko Kompak dan lain-lain.
Di antara toko-toko lama yang masih ada hingga kini adalah Apotek Kimia Farma, toko Lee Ie Seng, toko perabot rumah tangga Melati, toko jam Tjung-Tjung, dan toko kacamata Seis (Tjun Lie). Penjahit jas yang sudah ada sejak dulu adalah Isardas, Hariom, dan Gehimal, dan wanita berbelanja di toko kain Bombay dan Lilaram. Toko-toko besar yang dulunya pernah ada di antaranya Toko Europa dan Toko de Zon. Bahkan pengusaha ritel Matahari Putra Prima mendirikan bisnisnya di Pasar Baru pada tahun 1958.
Di ujung utara Jalan Pasar Baru dulunya merupakan pusat pedagang komik. Bioskop yang pernah ada di kawasan Pasar Baru adalah Bioskop Globe, Bioskop Capitol, dan Bioskop Astoria (Bioskop Satria) di Pintu Air. Pasar Baru juga merupakan tempat kelahiran rumah makan Bakmi Gang Kelinci. Usaha rumah makan ini dimulai pada tahun 1957 sebagai pedagang mie gerobak di Jalan Pintu Besi, depan Bioskop Globe yang bahkan masih eksis hingga saat ini. [S21]