JALUR SUTERA, menjadi nama jalur perdagangan yang amat ramai pada masa lalu. Jalur yang menghubungkan Timur dan Barat dunia ini baru disebut “Jalur Sutra” (The Silk Road) setelah seorang Jerman bernama Von Richthofen menyebutnya pada abad ke-18 Masehi.
Rute Jalur Sutra terbentang sepanjang 6.437 kilometer, melewati berbagai daerah di Asia, Afrika, dan Eropa baik melalui darat maupun laut.
Selain jalan Sutra di darat, terdapat pula jalan Sutra via laut. Jalur laut tersebut, yakni dari Guangzhou, Tiongkok Selatan, ke Selat Malaka, dan terus sampai ke Sri Lanka, India, dan pantai timur Afrika. Jalur di atas laut itu disebut sebagai Jalan Sutra Laut. Menurut benda-benda budaya yang tergali di Somalia, Afrika Timur, dapat diketahui bahwa jalan Sutra Laut itu kira-kira terjadi pada masa Dinasti Song Tiongkok.
Merunut pada website Kemendikbud; Oleh banyaknya pedagang Eropa yang berlayar menuju ke Timur melalui Tanjung Harapan, menyusuri Jazirah Arab, terus ke pesisir anak benua India, Asia Tenggara, untuk kemudian menuju daratan Cina melalui Selat Malaka maka jalur yang dikenal dengan nama jalur Sutra Laut ini lebih disukai para pedagang ketimbang jalur Sutra Darat yang terlalu beresiko dan kurang efisien.
Dalam Jalur Sutra Laut, Selat Malaka otomatis menjadi selat yang paling ramai dan sibuk. Di sepanjang Selat Malaka akhirnya tumbuh pelabuhan-pelabuhan. Pelabuhan berkembang menjadi kota-kota bandar. Kekuatan-kekuatan politik pun bermunculan dengan kepentingannya masing-masing terhadap selat tersebut.
Jalur Sutra
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia IV: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19, pada dasarnya di Asia dan Timur Tengah, sebelum masa modern awal, terdapat dua jalur perdagangan utama, yaitu jalur darat dan jalur laut. Pelayaran niaga melalui darat pada umumnya, terutama digunakan oleh para pedagang Cina dan dikenal dengan nama Jalur Sutra karena banyak menyalurkan sutra dari Cina.
Jalur dagang itu, kata Marwati dan Nugroho, berawal di Chang An atau Xian yang menjadi ibu kota Cina antara abad ke-7 hingga abad ke-13, kemudian melintasi stepa-stepa dan gurun-gurun di Asia Tengah dan Laut Kaspia yang pada suatu ketika dikendalikan oleh bangsa Mongol, lalu ke Mesopotamia dan Parsi. Jalur dagang yang melintasi pedalaman Asia itu juga bercabang-cabang ke wilayah pantai, seperti India, Arab, dan lainnya.
Frances Wood dalam The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia menyebutkan, ujung Jalur Sutra ada di Chang An atau Xian, yang kala itu menjadi ibu kota kerajaan. Sutra memang menjadi komoditas utama jalur perdagangan tersebut. Meski barang yang didagangkan tak hanya Sutra, terdapat pula rempah-rempah, wewangian, dan komoditas berharga lain.
Jalan Sutra yang lazim disebut orang, kata Wood, merupakan jalur darat dari ibu kota Dinasti Tang Tiongkok di timur ke Roma, ibu kota Italia di barat. Jalur tersebut dibuka oleh seorang jenderal bernama Zhang Qian dari Dinasti Han. Menelusuri jalan itu akan melewati Afghanistan, Uzbekistan, Iran, dan sampai Alexandria Mesir. Terdapat pula cabang lain yang akan melewati Pakistan; Kabul, Afghanistan; hingga Teluk Persia.
Adapun trek Jalur Sutra, menurut Wood, memiliki banyak cabang. Secara garis besar, ada tiga cabang, yakni utara, tengah, dan selatan. Jalur Utara menghubungkan Cina dengan Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini melalui Urumqi dan Lembah Fergana. Adapun jalur Tengah menghubungkan Cina dengan Eropa hingga tepian Laut Mediterania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia. Sedangkan, jalur Selatan menghubungkan Cina dengan Afghanistan, Iran dan India, melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir.
Jalur Sutra Laut
Jalur sutra laut (maritime silk road) merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan para pemimpin Tiongkok beberapa tahun belakangan. Konsep ini dikembangkan bersamaan dengan visi jalur sutra baru yang merupakan sebuah jalur ekonomi yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tengah, Asia Barat, bahkan dengan negara-negara Eropa melalui jalan darat.
Sebaliknya, jalur sutra laut menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara, negara-negara di pesisir Samudra Hindia, negara-negara di sekitar Laut Merah, hingga akhirnya sampai ke Eropa.
Gagasan membangun jalur sutra Laut ini diungkapkan Presiden Xi Jinping dalam kunjungannya ke Indonesia, awal Oktober 2013. Belakangan, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN plus Tiongkok ke-16 di Brunei Darussalam pada bulan yang sama, Perdana Menteri Li Keqiang melontarkan ide tersebut.
Seperti juga yang dinyatakan oleh Justyna Szczudlik-Tatar, seorang pengamat Tiongkok dari Polandia, bahwa gagasan jalur sutra laut memberikan penekanan utama ke hubungan ekonomi yang lebih kuat, termasuk masalah-masalah finansial, kerja sama yang kuat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur (seperti pembangunan jalan dan rel), dan peningkatan kerja sama keamanan.
Dalam konteks hubungan Tiongkok dengan Indonesia, aspek-aspek di atas sebenarnya telah diimplementasikan, setidaknya sejak satu dasawarsa lalu. Sebagai contoh, kerja sama dalam proyek infrastruktur telah dilakukan, seperti dalam pembangunan Jembatan Surabaya-Madura, Waduk Jatigede, dan beberapa proyek lain. Dengan demikian, gagasan jalur sutra laut hanyalah pendalaman dan peningkatan dari berbagai kerja sama yang selama ini sudah ada.
Namun, peningkatan diprediksi terjadi dalam skala besar. Ini mengingat komitmen yang cukup serius yang ditunjukkan oleh Tiongkok. Komitmen ini terlihat dari kesiapan Tiongkok memberi dukungan dana US$ 40 miliar untuk proyek-proyek terkait gagasan jalur sutra ini.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Economic Times, dana itu akan digunakan untuk investasi dan bantuan keuangan bagi proyek-proyek infrastruktur, sumber daya, kerja sama ekonomi, dan proyek-proyek lain terkait keterhubungan (connectivity) antarnegara-negara yang termasuk dalam jalur tersebut.
Pada akhirnya diakui bahwa Jalur Sutera baik darat maupun laut tidak hanya dikenal sebagai jalur perdagangan, melainkan juga dalam pertukaran budaya, agama, dan ilmu pengetahuan. [S21]