CANTIK merupakan kata yang berasal dari bahasa latin bellus yang mempunyai arti sama dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu elok, molek, indah dan selalu merujuk kepada perempuan.
Sebenarnya tidak ada definisi yang jelas tentang arti cantik itu sendiri, namun jika kita melihat sejarah atau cerita-cerita dongeng masyarakat, kecantikan selalu mengacu pada perempuan yang putih, rambut panjang atau pinggang kecil. Hal tersebut menempatkan perempuan dalam kubangan diskriminatif oleh definisi standar kecantikan.
Akhirnya konsepsi kecantikan yang dibangun oleh sosial selalu akan berkaitan dengan fisik seseorang. Jika itu diluar dari deskripsi standar maka perempuan harus mengasingkan diri. Akhirnya sampai sekarang banyak perempuan-perempuan yang bahkan sedari kecil sudah belajar bersaing terhadap sesamanya untuk sekadar mendapatkan pujian bahwa dirinya cantik.
Standar kecantikan yang diskriminatif ini sebenarnya dibangun oleh sejarah panjang sistem patriarki. Tubuh perempuan sering kali dianggap sebagai objek yang memuaskan para mata lelaki. Mereka merasa bahwa perempuan sejatinya harus sesuai dengan standar kecantikan yang mereka inginkan. Ujung-ujungnya perempuan tidak lagi bisa mencintai diri mereka sendiri akibat standar yang diciptakan oleh sosial.
Lingkungan sosial patriarki sejak dulu memang selalu menanamkan nilai di mana perempuan hanya akan bergantung pada kecantikan. Jika ingin mudah mencari kerja atau mencari pasangan harus wajib cantik. Pada akhirnya muncullah pemikiran bahwa hanya orang-orang yang memenuhi standar kecantikan sosial akan mendapatkan kemudahan dalam segala hal di dunia ini.
Rambut keriting, kulit kecoklatan, bertubuh plus size bahkan hal yang normal seperti tumbuhnya bulu di bagian tertentu kerap sekali menjadi masalah. Lalu siapa yang mengambil keuntungan dari semua ini? Tentu saja salah satunya adalah perusahan besar khususnya yang menggeluti produk-produk kecantikan.
Buka TV dan lihat iklan produk kecantikan, kurang diskriminatif apa lagi? Model iklan mayoritas memiliki rambut lurus panjang berkilau, wajah mulus tanpa jerawat, kulit putih bersinar, tubuh langsing semampai selalu menghiasi gambaran umum iklan produk kecantikan. Hal itu semakin meneguhkan pemikiran bahwa standar kecantikan adalah sebuah diskriminatif. Lalu bagaimana dengan orang-orang diluar deskripsi diatas? Mereka akan terobsesi membeli produk kecantikan dengan ekspektasi akan sama dengan bintang iklan yang tampil di layar kaca.
Sebuah studi menunjukan karena standar kecantikan yang diskriminatif tersebut memberikan kontribusi terjadinya masalah psikologis di kalangan remaja putri. Standar kecantikan inilah yang membuat cara pandang seseorang terhadap dirinya berubah menjadi negatif. Perempuan yang terobsesi dengan standar ini akan berusaha mati-matian merubah tampilan fisiknya secara instan, dari pil pelangsing hingga suntik putih abal-abal.
Standar kecantikan di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah kolonialisme. Dijajah selama 350 tahun tampaknya tetap melahirkan pemikiran khas kolonial pula. Padahal menurut sejarah, kelompok manusia pertama yang bermigrasi panjang ke Indonesia yang saat itu masih berupa daratan luas adalah bangsa Afrika yang bercirikan kulit hitam dan rambut keriting. Lalu gelombang migrasi pun semakin meluas, dari bangsa cina hingga arab. Akhirnya orang-orang Indonesia memiliki tampilan fisik yang beragam.
Kemudian datanglah penjajah yang membagi kependudukan dengan strata sosial, kasta paling tinggi adalah orang-orang berkulit putih, rambut pirang dengan pendidikan tinggi. Di nomor 2 adalah orang-orang Asia Timur dan Arab sebagai pedagang dan yang terakhir atau paling rendah, yaitu pribumi yang diperlihatkan berkulit coklat, rambut bermacam-macam dan lusuh. Hal itu tergambar jelas dalam dokumen-dokumen sejarah bangsa Indonesia. Hal tersebut tidak secara langsung melahirkan pemikiran bahwa standar kecantikan harus seperti bangsa kulit putih dan itu lahir turun temurun hingga kini. Perempuan hingga kini masih terbelenggu oleh standar kecantikan kuno tersebut.
Penerapan standar kecantikan masa kini berangkat dari sebuah budaya terbelakang. Akhirnya banyak yang membuka mata bahwa sepantasnya tidak ada satupun manusia layak dinilai dengan standar kecantikan yang diskriminatif.
Standar diskriminatif itu sudah saatnya harus kita singkirkan. Kaum perempuan bisa menjadi apapun yang ia inginkan tanpa batas perspektif sosial. Tidak terikat dari bentuk badan, warna kulit hingga gaya rambut. Menjadi berdaya, menggapai impian, mendapatkan hak yang sama adalah sebuah tujuan yang mulia. [NS]