DESAKAN untuk mencabut kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) ditolak mentah-mentah oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan. Sehingga produsen minyak sawit tetap harus mengutamakan pasokan dalam negeri sebelum diperbolehkan mengekspor.
Mendag mengatakan, pihaknya tidak akan mencabut kebijakan DMO kelapa sawit sebagai upaya mengendalikan pasokan dan harga. “Enggak bisa, nanti kalau minyak ngamuk emang di sana tanggung jawab?,” kata Zulkifli Hasan atau Zulhas, Minggu (25/9).
Ia memenyebut, kebijakan DMO kelapa sawit harus tetap diberlakukan sebagai instrumen pemerintah dalam mengendalikan pasokan dan harga. Jika tak dikendalikan, menurut Zulhas, gejolak minyak goreng akan terjadi lagi sehingga, besaran DMO masih akan berlaku seperti semula.
Sebelumnya ada berbagai pihak yang mendesak dicabutnya kebijakan DMO. Ombudsman RI secara terbuka meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk segera mencabut kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) kelapa sawit.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika menilai kebijakan ini bukan menjadi obat dalam hal menjaga ketersediaan stok dan kestabilan harga minyak goreng di Indonesia.
“Cabut DMO, itu jelas itu. Kalau sekarang kan ombudsman meminta itu. Jadi mereka harus melaksanakan. Jadi Kemendag harus segera mencabut DMO,” ujarnya di Jakarta, Selasa (13/9).
DMO dan harga TBS petani
Dalam sebuah penelitian yang diselenggarakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, ditemukan ada kaitan erat antara kebijakan DMO dengan harga jual TBS petani.
Ketua Tim Peneliti, Eugenia Mardanugraha mengatakan melalui estimasi ekonometrika dalam studinya bertajuk Analisis Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya, pihaknya melakukan sejumlah simulasi untuk mengetahui seberapa besar peningkatan ekspor yang perlu dilakukan, agar tangki penyimpanan dapat segera kosong, kemudian harga tandan buah segar (TBS) petani kembali pulih.
Satu di antaranya menunjukkan besarnya ekspor yang diperlukan untuk meningkatkan harga TBS dari Rp 861 (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli) menjadi setara harga pokok penjualan senilai Rp 2.250 per kilogram, butuh peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen.
Sementara kajian lembaga itu menyebut para petani swadaya di Riau dan Kalimantan Barat mendapati jika harga pokok penjualan ideal TBS adalah Rp 2.000 per kilogram. Untuk mencapai harga tersebut, diperlukan peningkatan ekspor minimal 200 persen dari tingkat ekspor saat ini (per April 2022).
Dia menilai kemampuan Indonesia meningkatkan ekspor sangat terbuka, karena berdasarkan besaran ekspor bulanan sejak Januari 2014 hingga April tahun ini, diketahui ekspor sawit berada pada interval 1 juta sampai 4,3 juta ton per bulan. Oleh sebab itu, agar ekspor melaju lancar, dia menyarankan pemerintah mengurai hambatan ekspor.
Sayangnya penelitian itu tidak mendalami mengenai faktor-faktor penyebab rendahnya harga TBS petani di luar persoalan volume ekspor.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) pada bulan Juli lalu mengatakan akan mencabut kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) sawit, jika pengusaha industri minyak goreng mau berkomitmen memastikan ketersediaan minyak goreng ada dengan harga terjangkau.
“Asal pengusaha komitmen untuk memenuhi dalam negeri minyak curah itu minyak kemasan. Asal ada komitmen dan pasti tidak melanggar untuk kepentingan bersama saya pertimbangkan DMO-DPO dicabut, kalau tidak kan nanti susah lagi,” ujarnya saat pelepasan ekspor produk baja di Jakarta, Selasa (26/7). [DES]