INDONESIA merupakan negara multikultural, pastinya negara ini kaya akan keberagaman budaya. Jika dihitung dari Sabang hingga Merauke mungkin ada ratusan kebudayaan, dengan beragam modelnya. Namun diatas segala itu ada satu budaya murni yang hampir pasti ada setiap budaya-budaya tersebut, yaitu budaya musyawarah dan semangat gotong royong.
Menyelesaikan masalah di masyarakat dengan jalan musyawarah termasuk juga menghormati pendapat orang lain yang ada dalam musyawarah adalah pengamalan sila keempat dari Pancasila.
Bunyi sila keempat adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Makna musyawarah
Dalam dunia politik, musyawarah diartikan sebagai proses untuk mencurahkan segala potensi dan akal supaya dapat dipilih satu pikiran yang paling benar. Pilihan atau keputusan dalam proses musyawarah harus diterima dan menjadi tanggung jawab setiap peserta musyawarah.
Sementara itu, dalam buku Manajemen Bahasa menjelaskan musyawarah adalah rapat yang sifatnya mencari mufakat atau sepakat. Dalam definisi ini, lebih menekankan adanya unsur perundingan untuk menghasilkan keputusan dengan suara bulat.
Menurut Rifa’i (2015), kata musyawarah diambil dari bahasa Arab yakni syūra yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia hingga memiliki arti berunding dan berembuk.
Menurut Mahmud Al-Khalidi, kata syūra memiliki makna berkumpulnya manusia untuk menyimpulkan hal yang benar dengan mengungkapkan berbagai perkara dalam satu permasalahan untuk memperoleh petunjuk dalam mengambil keputusan.
Sedangkan menurut Suprianto (2010), kata syūra menurut istilah berarti menyatukan pendapat yang berbeda-beda berkenaan dengan masalah tertentu dengan cara mengujinya dari berbagai pendapat hingga sampai kepada pendapat yang paling benar dan baik.
Syūra bukan berarti seseorang meminta nasihat kepada orang lain, melainkan nasihat secara timbal-balik yang disampaikan melalui diskusi.
Kian memudar
Belakangan nilai-nilai budaya musyawarah mulai memudar dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut memang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya ketidak pedulian terhadap nilai budaya kita.
Semua itu bisa dicermati dari rendahnya kesadaran generasi muda akan pentingnya nilai-nilai budaya tersebut. Memudarnya nilai yang amat luhur ini bisa jadi karena kurang ditanamkan kepada generasi muda tentang kebersamaan, musyawarah mufakat dan gotong royong yang seharusnya menjadi kegelisahan kita sebagai anak bangsa. Karena sejatinya ketika kita sudah tidak peduli berarti sama dengan kita telah mulai meninggalkan budaya yang diwarisi dari nenek moyang.
Ketika musyawarah tidak lagi dianggap penting dalam pengambilan keputusan, maka eskalasi konflik sangat berpotensi terjadi dalam masyarakat.
Seharusnya disadari bahwa musyawarah bisa dipakai sebagai sarana pemecah kebuntuan ketika masyarakat menghadapi masalah, karena dengan musyawarah maka banyaknya pemikiran dapat dipersatukan dan kemudian dapat menjadi tanggung jawab bersama setelah keputusan diambil.
Musyawarah juga tentunya akan menghasilkan solusi yang solutif, keputusan akan menjadi solusi bersama dan akan bisa diterima oleh semua pihak, hal ini didasari karena keputusan diambil secara bersama. Selain pemecah kebuntuan, musyawarah juga menghasilkan perdamaian dan pengurai konflik.
Musyawarah untuk mencapai mufakat harus juga diliputi semangat kekeluargaan. Menerima dengan lapang dada jika pendapat kita tidak disetujui serta bertanggung jawab melaksanakan keputusan hasil musyawarah.
Penting bagi kita untuk tetap menghargai sistem kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan yang ada di sekitar rumah dan lingkungan kita. Karena didalam sistem kebersamaan dan kekeluargaan tadi adanya musyawarah yang menjadi dasar budaya masyarakat.
Rasa kebersamaan mendorong rasa ikhlas dalam menjalani musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan mufakat yang sangat khas Indonesia. [S21]