Pertempuran Sekutu dan Jepang di Papua pada Perang Dunia II/Istimewa
Pertempuran Sekutu dan Jepang di Papua pada Perang Dunia II/Istimewa

DULU PAPUA pernah menyandang nama “Irian Jaya”. Yang kemudian diubah oleh Presiden Gus Dur menjadi Provinsi Papua. Sedang di bagian ” kepala” pulau tetap memakai nama Irian Jaya Barat sampai tahun 2007 namun kemudian juga diganti, menjadi Papua Barat.

Adalah seorang pria kelahiran Yogyakarta pada 23 Oktober 1923 bernama Soegoro Atmoprasodjo. Ia memegang peran sentral dalam membangun dan menanamkan nasionalisme Papua pro Indonesia.  

Soegoro adalah lulusan Pendidikan Taman Siswa bentukan Ki Hajar Dewantara dan aktivis Partai Indonesia (Partindo) yang dibuang ke Digoel, Tanah Merah pada 1935, atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan 1926/1927 di Jawa Tengah terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, dia dibawa Pemerintah Belanda ke Australia pada 1942, kemudian Soegoro sebagai bekas tahanan Digoel dipersiapkan Belanda untuk menghadapi Jepang. Kepercayaan yang diberikan oleh JPK van Eechoud kepada Soegoro sebagai direktur pertama Sekolah Pamong Praja di Hollandia, karena dianggap loyal kepada Belanda.

Tampaknya penilaian Belanda tersebut salah. Karena kelak di kemudian hari ternyata Soegoro memprakarsai pembentukan kelompok belajar di Sekolah Pamong Praja tersebut, dan mengajari para siswa untuk mulai memahami bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. 

Melalui kelompok belajar itu lah, para siswa mulai tumbuh kesadaran politiknya karena secara intensif selain mendalami berbagai materi terkait nasionalisme, juga menjadi wadah mendiskusikan berbagai masalah politik.

Pada kondisi ini sepertinya Soegoro dan JPK van Eechoud sebagai pendiri Sekolah Pamong Praja, mempunyai arah yang berbeda. Soegoro, cenderung menggunakan posisinya sebagai direktur Sekolah Pamong Praja untuk membangun nasionalisme Indonesia, sedangkan Eechoud lebih berupaya untuk membangun identitas kePapuaan.

Bahkan komitmen Soegoro untuk menanamkan nasionalisme Indonesia di Papua tidak terbatas di ruang kuliah dan forum diskusi saja. Bahkan kemudian dikembangkan menjadi sebuah pergerakan dan perjuangan.

Pemberontakan Soegoro Melawan Belanda

Setelah adanya proklamasi 17 Agustus 1945. Soegoro segera menyiapkan gerakan militer untuk membebaskan Papua dari cengkeraman Belanda. Dia mempopulerkan ” IRIAN” singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.

Gerakan pemberontakan pertama disiapkan untuk aksi tgl 31 Agustus 1945 bersama para veteran Heiho sejumlah 250 personel. Namun Belanda berhasil mengetahui rencana tersebut dan segera menangkap Soegoro serta memvonis 15 tahun penjara. Semula Soegoro dipenjarakan di di Hollandia/Jayapura lalu dipindah ke Merauke.

Bernarda Meteray, sejarawan Universitas Cendrawasih, mencatat Soegoro melancarkan aksi pada 15 dan 16 Desember 1945. Sementara dalan Biografi Pahlawan Nasional Marthen Indey dan Silas Papare yang disusun tim Kemdikbud menyebut rencana pemberontakan Soegoro akan dilaksanakan pada hari Natal 25 Desember. 

Malang bagi Soegoro rencana tersebut bocor, pemerintah Belanda mengadakan penangkapan besar-besaran di Hollandia. Soegoro bersama beberapa orang muridnya ditangkap.

Pada Juli 2946, pemberontakan kembali di rancang. Rencananya aksi ini akan membebaskan Soegoro dan tahanan lainnya dari penjara, kemudian mereka akan menyerbu dan membunuh semua orang Belanda yang ada di Hollandia.

Lagi-lagi Soegoro gagal bahkan kemudian divonis dengan hukuman mati. Namun karena lobi dari pihak Jakarta Soegoro mendapatkan keringanan hukuman menjadi 14 tahun penjara. Namun belum tuntas menjalani masa kurungan, Soegoro berhasil kabur ke Papua Nugini lalu menyeberang ke Australia.

Baru pada 1950, Soegoro kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri. Saat Belanda sudah menyerah mempertahankan Papua, Soegoro menjadi delegasi Indonesia dengan kedudukan sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi UNTEA (United Nations United Nations Temporary Executive Authority).

“Soegoro adalah orang Indonesia pertama yang berperan besar mempengaruhi orang Papua menentang Belanda sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” tulis Bernarda dalam disertasinya yang dibukukan Nasionalisme Ganda Orang Papua. [S21]