PEMERINTAH INDONESIA telah menetapkan Laksamana Malahayati mendapat Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017
Menurut Cut Rizka Al Usrah dari Universitas Negeri Medan, “Berdasarkan hasil studi pustaka, diketahui bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan laksamana perempuan pertama di dunia modern yang juga menjabat sebagai Pemimpin 2.000 sampai dengan 3.000 lebih Armada Inong Bale (wanita Janda), Diplomat, Komandan Protokol Istana Darut Dunia, Kepala Badan Rahasia Kerajaan serta mendapatkan julukan sebagai Guardian of The Acheh Kingdom. Fakta sejarah menunjukkan bahwa negara-negara besar baik di Eropa maupun Amerika Serikat tidak memilikinya.”
Malahayati selain memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Latar Belakang Kepahlawanan Malahayati
Malahayati seorang perempuan dengan jiwa keprajuritan yang tinggi. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah merupakan keturunan dari pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah.
Nama aslinya adalah Keumala Hayati, putri dari Laksamana Muhammad Said Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar 1530-1539.
Karena merupakan keturunan laksamana angkatan laut pada waktu itu, maka jiwa dan semangat yang dimiliki ayah dan kakeknya pun menurun pada kepribadian Malahayati. Meskipun seorang wanita, ia ingin menjadi seorang pelaut atau laksamana yang gagah berani seperti layaknya ayah dan kakeknya.
Saat dewasa, Malahayati diberi kebebasan untuk sekolah. Ia pun memilih masuk akademi angkatan bersenjata milik kesultanan bernama Mahad Baitul Maqdis.
Perjuangan Malahayati dimulai saat terjadi perang di perairan Selat Malaka. Dimana Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang dibantu dua orang laksamana, salah satunya adalah Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang merupakan suami Malahayati.
Pertempuran yang berlangsung sengit tersebut dimenangkan oleh pasukan Kesultanan Aceh. Namun, suami Malahayati tewas dalam pertempuran tersebut.
Kisah Kepahlawanan Malahayati
Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan. Permintaan itu dikabulkan.
Ia diangkat sebagai pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat laksamana. Malahayati adalah perempuan Aceh pertama yang menyandang pangkat ini.
Laksamana Perempuan ini tidak hanya cakap di medan perang. Ia juga melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda.
Perundingan itu merupakan upaya Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Perdamaian itu terwujud. Frederick de Houtman dilepaskan namun Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.
Laksamana Malahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster, duta utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris.
Bersama pasukannya Malahayati sering terlibat dalam pertempuran, baik melawan Belanda atau Portugis. Tidak hanya di Selat Malaka, tapi juga di daerah pantai timur Sumatra dan Malaya.
Inong Balee juga membangun benteng dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Di mana tembok benteng menghadap ke laut lebar tiga meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk.
Selain memiliki benteng, juga memiliki pangkalan militer yang terletak di Teluk Lamreh Krueng Raya. Dalam buku Perempuan Keumala (2007) karya Endang Moerdopo, benteng yang dibangun itu dipakai Laksamana Malahayati untuk menyusun kekuatan Inong Balee. Ia begitu sangat gigih karena bangsa penjajah yang datang telah merugikan kerajaan.
Laksamana Malahayati dan pasukannya bertugas melindungi pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Pada suatu saat yaitu di tanggal 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya. Tentu saja itu tidak dapat diterima, mereka pun mengadakan perlawanan.
Saat pertempuran yang terjadi pada 1599, pasukan Inong Balee mampu mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Salah satu aksi heroik yang dilakukan Laksamana Malahayati saat pertempuran tersebut adalah membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal pada 11 September 1599.
Cornelis de Houtman tercatat merupakan orang pertama yang menjejakkan kaki di Nusantara. Ia datang bersama adiknya, Frederik. Semula kedatangan mereka datang dengan baik-baik, namun lama-lama berkhianat. Kemudian Sultan Aceh menugaskan Laksamana Malahayati untuk mengusir. Menurut catatan, Cornelis de Houtman tewas setelah kena tikam rencong Laksamana Malahayati.
Perjuangan Laksamana Malahayati yang gigih melawan penjajah bersama Inong Balee harus terhenti pada tahun 1606. Saat pertempuran Inong Balee melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Laksamana Malahayati tewas.
Jasad Laksamana Malahayati kemudian dimakamkan di di puncak bukit kecil di sebelah utara Desa Lamreh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 35 kilometer dari ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [S21]