Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)

PADA 1998 Indonesia mengukir jejak untuk sejarah negeri ini.  Presiden Soeharto yang telah duduk di kursi kekuasaan selama 32 lamanya, dipaksa turun atas kehendak rakyat. Sang kepala negara akhirnya takluk oleh aksi people power. Bentrokan antar aparat keamanan dan massa terjadi. Jakarta chaos. Ibukota pun membara. Kerusuhan merebak di seluruh pelosok negeri. 

Banyak Nyawa Melayang 

Dalam kasus pelanggaran HAM, era orde baru di zaman Presiden Soeharto memang banyak disorot. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat beberapa dari puluhan peristiwa yang terjadi. Diantaranya adalah ‘petrus’ atau penembakan misterius terkait dengan aksi kriminal (1981-1984), DOM Papua (1969-1998), kasus Talangsari (1989), peristiwa Tanjung Priok (1984), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah Madura (1993). hingga korban penculikan aktivis dan kerusuhan pada Mei 1998 yang merubah wajah Indonesia di masa depan. 

Pelanggaran Hak Masyarakat

Saat rezim orde baru berkuasa, banyak hak rakyat yang ditindas dan diambil secara paksa. Dilansir dari cnnindonesia.com, peristiwa tersebut meliputi perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), pengambilan tanah rakyat atas nama PT Perkebunan Nusantara (PTPN), kasus pengambilalihan tanah masyarakat adat Dongi Sulawesi Selatan untuk perusahaan Nikel, penggusuran rumah warga Bulukumba oleh PT Lonsum, pencemaran dan kekerasan yang dilakukan oleh Indorayon di Porsea Sumatera Utara, peristiwa pembakaran rumah warga, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh PT Kelian Equal Mining di Kalimantan Timur.

Tapos yang dikuasai Soeharto dan keluarganya adalah tanah milik keluarga yang dirampas dengan paksa oleh Soeharto. Peternakan Tapos mulai dibangun tahun 1974 dengan merebut 750 hektar tanah petani. 

Di kawasan ini lalu dibangun berbagai proyek pertanian dan peternakan, yang sering menjadi tempat pertemuan informal Soeharto dengan orang-orang dekatnya. Karena pasokan pangan hewan yang dibutuhkan banyak, maka para petani sekitar dilarang menggarap kebun dan dipaksa menanam rumput gajah.

Haji Dodo adalah petani Tapos yang melawan dan tetap menanami kebunnya, ia pun harus berurusan dengan aparat yang memenggal pergelangan tangannya

Tahun 1996, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh Tommy mengusir penduduk desa dari tanah mereka di Bali untuk membangun sebuah resort seluas 650 hektar. Perusahaan itu memiliki izin hanya 130 hektar, yang diperluas secara ilegal, menurut Sonny Qodri, ketua Lembaga Bantuan Hukum Bali.

Warga yang menolak menandatangani perjanjian untuk menjual tanah mereka diintimidasi, dipukuli, dan disiksa. Tidak ada yang tersisa dari proyek tersebut saat ini,  karena resesi menghantam tepat ketika pembangunan baru akan dimulai. 

Hasan Basri Durin, ketua Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Urusan Tanah, mengatakan keluarga Soeharto biasanya membayar untuk properti sekitar 6 persen dari nilai pasar. Pemilik banyak yang enggan protes dan sering berubah pikiran setelah kunjungan dari preman atau tentara.

Orang hilang atau mati dengan tidak lazim atau pun dipenjara bertahun-tahun tanpa bukti kuat sudah bukan hal yang aneh di era rezim ini.

Korupsi yang Menguras Uang Negara

Tindak pidana pencurian uang negara telah dilakukan sejak rezim Orde baru berkuasa. Dilansir dari nasional.republika.co.id, Presiden Soeharto melakukan korupsi pada penggunaan Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Uang tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. 

Hasil temuan Transparency International pada 2004 silam memperkirakan, ada sekitar 15-25 miliar dolar AS yang telah dinikmati secara ilegal.

Soeharto mengakhiri monopoli telekomunikasi negara pada tahun 1993, dengan memberikan lisensi untuk operasi sambungan langsung internasional dan untuk jaringan telepon digital digital pertama di Indonesia ke PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) milik Bambang. 

Pada saat yang sama, PT Telkom mengalihkan basis pelanggannya ke Satelindo ketika meluncurkan satelitnya sendiri, satelit ketiga milik negara, dengan bantuan pinjaman sebesar US$120 juta dari Bank Ekspor-Impor AS. 

Berkat pemerintah, Bambang dapat mengendalikan perusahaan, yang pasarnya bernilai US$2,3 miliar pada 1995 ketika anak perusahaan Jerman Deutsche Telekom membayar US $586 juta untuk 25 persen saham.

Larangan Masyarakat Berorganisasi

Seperti yang kita tahu, keberadaan media dan organisasi kemasyarakatan diawasi ketat oleh rezim orde baru. Tak hanya geraknya dibatasi, media yang nekat melawan kehendak pemerintah bakal dibredel. 

Alhasil, munculah kebijakan seperti larangan berorganisasi penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan koordinasi Kemahasiswaan (1978), dan pemberangusan organisasi kemasyarakatan dengan UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan. 

Rezim Kejam Harus Berakhir

Penolakan masyarakat atas berlanjutnya kekuasaan Soeharto tak lepas dari rekam jejaknya selama puluhan tahun berkuasa dan rezimnya dianggap bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana korupsi.

Dalam salah satu siaran persnya Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) membagi pelanggaran tersebut dalam dua bagian: pelanggaran hak sipil dan politik serta pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pelanggaran hak sipil dan politik mencakup dari pembantaian massal terhadap orang yang diduga komunis (1965-1966) hingga kasus penembakan warga dalam pembangunan waduk Nipah Madura (1993), serta banyak contoh kasus lainnya. Sedangkan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya meliputi perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989) hingga korupsi menyangkut penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan yang diketahui milik Soeharto adalah sebagian contoh kasus di antara puluhan kasus lainnya.

TIME dan Soeharto

Hampir setahun setelah Soeharto lengser dari kursi presiden, Majalah Time Asia edisi 24 Mei 1999 memuat liputan khusus dengan tajuk “Soeharto Inc.: How Indonesia’s Long Time Boss Built a Family Fortune”.

Majalah TIME edisi Asia Volume 153 Nomor 20 tertanggal 24 Mei 1999 pada halaman 16-19 mengupas tentang kekayaan Soeharto dan keluarganya senilai US$ 9 miliar yang di transfer dari Swiss ke Austria.

TIME Asia melaporkan bahwa ada pergerakan transfer dana sebesar 9 miliar dolar AS dari Swiss ke Austria. Uang dalam jumlah besar tersebut, tulis TIME, diduga milik Soeharto dan ditransfer pada Juli 1998 atau kurang dari sebulan setelah mundur dari kursi kepresidenan.

Soeharto dan keluarga merasa dihina dan dicemarkan nama baiknya melalui liputan khusus itu. Maka, dikutip dari buku Wajah Pers Indonesia (2006), melalui Juan Felix Tampubolon dan O.C. Kaligis selaku kuasa hukum, Soeharto dan keluarganya menggugat TIME Asia (hlm. 80).

TIME membela diri dan bersiap melawan balik. Mereka bersikukuh bahwa liputan khusus itu merupakan hasil investigasi. Data dan fakta diperoleh secara langsung dan akurat melalui proses selama 4 bulan di 11 negara, termasuk data-data dari Indonesia yang didapat secara resmi.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya pada 9 November 1999 dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000 memenangkan majalah TIME. 

Pada akhir Agustus 2007, Mahkamah Agung (MA) memberikan keputusan berbeda. Harian Kompas 11 September 2007 menyebutkan, MA menghukum TIME edisi Asia bersama enam tergugat lainnya untuk membayar ganti rugi materiil senilai Rp1 triliun kepada mantan Presiden Soeharto.

Setelah putusan tersebut, kuasa hukum TIME, Todung Mulya Lubis mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Upaya ini membuahkan hasil. Pada pertengahan April 2009, MA memutuskan perkara peninjauan kembali (PK) yang diajukan pihak TIME.

MA dalam putusan dengan nomor 273/PK/PDT/2008 itu memenangkan Majalah TIME. Pertimbangan majelis memutuskan hal tersebut karena menilai berita yang dimuat majalah yang bermarkas di New York tersebut bukanlah perbuatan yang melawan. [S21]