Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)

AKSI DAMAI yang dilakukan para mahasiswa untuk menentang pemerintahan Soeharto di Kampus Universitas Trisakti berubah menjadi peristiwa berdarah dan brutal yang menelan banyak korban luka dan tragisnya empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia tertembak di dalam kampus saat aksi demonstrasi.

Kenapa Mahasiswa Melakukan Demo?

Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998. Para aktivis dan mahasiswa geram karena pemerintah dinilai telah melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), hingga menyeret negara ke dalam krisis moneter. 

Sebelum terjadi Tragedi Trisakti, sudah ada Tragedi Gejayan di Yogyakarta yang merupakan aksi memprotes kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Satu orang tewas dalam tragedi yang terjadi di Yogyakarta dan kemudian memicu aksi di beberapa daerah, termasuk Jakarta.

Korban Demonstrasi

Dokumentasi KontraS menulis, korban luka pada demonstrasi di Kampus Trisakti pada tanggal 12 Mei itu mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Seiring dengan kondisi tersebut sehari setelah kejadian, Harian Kompas menurunkan berita dengan judul Insiden di Universitas Trisakti: Enam Mahasiswa Tewas.

Nasib tragis keenam mahasiswa tersebut diumumkan Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Moedanton Moertedjo. Mereka tertembak sewaktu berada di dalam kampus oleh berondongan peluru yang diduga ditembakkan oleh aparat. Salah satunya disebut berasal dari jalan layang Grogol (Grogol fly over). Dalam jumpa pers yang dilakukan, pihak kampus menyatakan ada enam korban tewas. Namun beberapa hari kemudian dipastikan hanya empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban tewas.

Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.

Penyelidikan Peristiwa Trisakti

Pada saat demonstrasi di Trisakti satuan pengamanan yang berjaga di lokasi adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 202 dan 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Pasukan Anti Huru Hara Kodam, juga terdapat Pasukan Bermotor yang melengkapi diri dengan tameng, gas air mata, Steyr dan SS-1. 

Walaupun pihak aparat keamanan membantah penggunaan peluru tajam yang menjadi penyebab tragedi Trisakti, tetapi hasil otopsi terhadap korban menunjukkan bahwa peluru tajam adalah penyebab kematian mereka. Peluru kaliber 5,56 mm yang ditemukan di tubuh Heri Hertanto adalah peluru yang digunakan oleh senjata laras panjang berjenis Steyr atau SS-1. 

Senjata jenis ini konon yang biasa digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus. Begitu juga pernyataan hasil otopsi yang diungkap oleh Tim Pencari Fakta ABRI, dan uji balistik yang dilakukan di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.

Kapolri Jenderal Pol Dibyo Widodo yang menjabat pada peristiwa Trisakti saat itu membantah penggunaan peluru tajam. Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru karet dan peluru kosong, juga gas air mata. 

Walaupun kemudian ditetapkan enam terdakwa yang disidangkan beberapa tahun setelahnya, siapa penembak dan motifnya tetap tidak terungkap dengan jelas dan tuntas. Enam terdakwa tersebut hanya menerima tuduhan dan dakwaan mengenai sengaja tidak menaati perintah atasan.

Mahasiswa pada akhirnya berhasil menguasai kompleks gedung MPR/DPR pada 18 Mei 1998. Berujung pada mundurnya Soeharto pada  21 Mei 1998 yang kemudian menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden BJ. Habibie sebagai Presiden RI ketiga untuk memerintah.

Segala upaya untuk mengusut siapa dalang penembakan terhadap mahasiswa dalam sejarah peristiwa Trisakti belum menemui titik terang sampai sekarang. Segala upaya pengungkapan dan penyelidikan selalu menemui halangan walaupun pada kenyataannya peristiwa tersebut merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia. 

Tragedi Trisakti kemudian juga memancing berbagai situasi yang memburuk seperti terjadinya kerusuhan Mei 1998, peristiwa Semanggi I (November 1998) dan peristiwa Semanggi II (24 September 1999) yang juga menelan korban luka, tewas dan kerugian materil serta kerusakan mental yang tidak sedikit. [S21]