MASA jabatan kepala daerah (eksekutif), di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bakal rampung sebelum Pemilu serentak 2024. Ada 101 kepala daerah yang terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati dan 18 walikota habis masa tugasnya di 2022. Ditambah pada 2023 ada 170 kepala daerah: 17 gubernur, 115 bupati dan 38 walikota. Total ada 271 kepala daerah akan habis masa jabatannya sebelum Pemilu serentak 2024.
Kekosongan kursi kepala daerah yang relatif lama merupakan hal baru, karena selama ini penjabat (Pj) hanya bertugas dalam hitungan bulan, dari awal pemilu hingga pelantikan kepala daerah definitif yang menang dalam pilkada.
Di jabatan legislatif (DPR/DPRD) tidak ada masalah karena mereka dipilih lewat pemilu tahun 2019, dan normal baru akan berakhir masa tugasnya pada 2024.
Regulasi teknis terkait pengisian kursi kosong kepala daerah harus segera diterbitka. Pasalnya, di pertengahan Mei 2022 saja tercatat 5 gubernur, 6 walikota, dan 37 bupati yang akan berakhir masa jabatannya. Di antaranya Gubernur Banten, Papua Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Siapa yang mengisi kekosongan
Berdasarkan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kekosongan kursi kepala daerah tersebut bakal diisi lewat pengangkatan Penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sampai dengan bergulir pemilu serentak 2024.
Merujuk UU Nomor 10 tahun 2016 pasal 201 ayat 10 dan ayat 11 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Penjabat diisi oleh pimpinan tinggi madya untuk gubernur. Penjabat bupati dan walikota diisi oleh pimpinan tinggi pratama.
Pada UU ASN Pasal 20, Beleid tersebut menyatakan jabatan ASN dapat diisi oleh prajurit TNI dan Polri. Dalam UU ASN pasal 109 juga mengatur, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya dapat diisi oleh non PNS juga prajurit TNI-Polri. Ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres).
Kemendagri membuka opsi penjabat diisi oleh perwira tinggi TNI dan Polri. Rujukannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 10 tahun 2016 Pilkada.
Namun, pandangan berbeda diungkap oleh Mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan. Menurut dia, tidak ada aturan yang memperbolehkanprajurit TNI dan Polri menjadi penjabat kepala daerah. Menurut dia, yang berhak hanyalah ASN.
Djohermansyah mengatakan, UU Pilkada mengatur apabila terjadi kekosongan karena tidak ada Pilkada maka Kepala daerah yang habis jabatannya diisi oleh ASN. ASN yang menyandang jabatan eselon 1 atau jabatan pimpinan tinggi madya untuk posisi Gubernur.
“Kalau dibaca di situ, maka kalau TNI dan Polri kan bukan jabatan ASN kan. TNI-Polri dia punya jabatan sendiri di lingkungan kepolisian dan militer,” jelas Djohermansyah.
Dalam UU ASN, yang dimaksud dengan ‘jabatan pimpinan tinggi madya’ meliputi; sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non struktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Sementara ‘jabatan pimpinan tinggi pratama’ meliputi; direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara.
“Boleh tidak tentara atau polisi menduduki jabatan sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan itu? Secara normatif, UU itu tegas jelas menyatakan tidak ada. Artinya yang bisa menjabat ASN,” kata Djohermansyah.
Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja pun menolak penjabat diisi oleh Polri dan TNI. Dia mendorong, agar sipil yang mengisi kekosongan kursi kepala daerah nantinya.
Senada dengan Djohermansyah, Rahmat menilai, Undang-Undang melarang TNI/Polri mengisi penjabat. Berbeda dengan pelaksana tugas (Plt) yang menurut dia, masih memperbolehkan diisi prajurit TNI dan Polri. “Undang-undang kan tidak bisa, undang-undangnya nggak bisa,” tutur dia.
Rahmat mendorong agar penjabat diisi oleh orang-orang kementerian. Dia yakin, pemerintah memiliki 271 ASN yang kompeten untuk mengisi penjabat kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim menilai, bukan perkara mudah mencari 271 penjabat untuk mengisi kekosongan kepala daerah. Menurut dia, sampai saat ini belum ada pembahasan antara DPR dan pemerintah tentang mekanisme pengisian penjabat tersebut.
Luqman menambahkan, UU Pilkada tidak mengatur secara spesifik harus ASN yang mengisi penjabat. Jadi, jika pertanyaannya harus perwira bintang berapa, maka kembali pada aturan, apa saja syarat-syarat yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya/Pratama.
Kewenangan penjabat
Di beberapa daerah akan terjadi kekosongan posisi kepala daerah definitif dalam waktu cukup lama, bahkan ada yang lebih dari dua tahun.
Kekosongan kepala daerah definitif dalam waktu lama merupakan anomali praktik tata kelola pemerintahan. Sangat beralasan ketika sejumlah pihak kemudian menguji ketentuan itu di Mahkamah Konstitusi (MK). Per Maret 2022, sudah ada tiga permohonan yang menguji ketentuan Pasal 201 UU Pilkada.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik pernah menjelaskan, penjabat memiliki kewenangan penuh seperti kepala daerah. “Kami ingin katakan di dalam Pasal 201, PJ itu kewenangannya full,” kata Akmal pada 17 Februari 2021 lalu.
Akmal mengatakan, ada empat jenis pengganti kepala daerah yang bisa digunakan untuk mengisi kekosongan jabatan. Adapun empat jenis pengganti itu adalah pelaksana harian (Plh), kemudian pejabat sementara (Pjs), pelaksana tugas (Plt) dan PJ.
Terkait Plh dan Pjs, kata Akmal memang memiliki kewenangan yang terbatas tidak penuh seperti kepala daerah. Sementara PJ dan Plt memiliki kewenangan yang penuh dan sama seperti kepala daerah.
Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan daerah akan bisa berjalan sama seperti masih ada kepala daerah. “Jadi untuk PJ dan Plt ini full kewenangannya. Sementara untuk Pjs dan Plh memang terbatas kewenangannya. Jadi tidak bisa disamakan,” ucap Akmal.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Sutan Riska Tuanku Kerajaan yang juga Bupati Dharmasraya berpendapat, “Pengisian kursi kepala daerah harus mendapat perhatian khususnya menyangkut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan gambaran visi dan misi para kepala daerah terpilih. Banyak anggota Apkasi yang mempertanyakan batas kewenangan pejabat kepala daerah, seperti perubahan Organisasi Perangkat atau mutasi pejabat,” kata Sutan Riska, Selasa (15/3).
“Kekhawatiran lainnya adalah keberlangsungan pembangunan di daerah mengingat pejabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi pilihan rakyat secara langsung, juga adanya anggapan akan tersendatnya komunikasi dengan DPRD terkait membahas program prioritas dan pengelolaan anggaran,” ucap Ketua Umum Apkasi tersebut.
Sekretaris Eksekutif Rapat Koordinasi Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPBRN), Eko Prasojo mengusulkan agar pemilihan penjabat kepala daerah dapat melibatkan DPRD.
“Untuk memperkuat legitimasi, representasi sebaiknya proses pemilihan pejabat kepala daerah itu melibatkan DPRD. Nah itu bisa calon diusulkan oleh DPRD ke pemerintah pusat, atau penjabat dengan persetujuan DPRD atau pembahasan bersama antara pusat dan DPRD,” ujar Eko.
Eko mengatakan, selama ini penjabat kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat yang itu berkonsekuensi pada rendahnya legitimasi rakyat di daerah yang mereka pimpin.
“Biasanya kan di-drop, ditunjuk langsung diangkat oleh pemerintah langsung ditempatkan. Karena ini cukup lama waktunya, dua tahun lebih, sehingga ini beda dengan Plt (pelaksana tugas) enggak bisa langsung di-drop saja,” urainya. [KS-07]