Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru untuk menekan naiknya harga minyak goreng dan mengatasi kelangkaan. Kebijakan baru itu berupa penetapan harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng curah 14 ribu rupiah dengan memberi dana subsidi pada produsen minyak goreng.
Ketetapan HET tersebut di atur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 11/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah per 16 Maret 2022.
Dalam beleid itu, subsidi akan diberikan jika ada selisih Harga Acuan Keekonomian (HAK) dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Dana subsidi nantinya akan dikucurkan oleh badan layanan umum Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) yang selama ini menghimpun pungutan ekspor CPO.
Berdasar keterangan pemerintah, jumlah minyak goreng yang diberikan subsidi sekitar 202 juta liter per bulan selama 6 bulan, atau jika di total sejumlah 1,01 milyar liter. Lebih lanjut Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan jika selisih harga keekonomian MGS Curah dengan HET yang dihitung saat ini sekitar Rp6.398,00/liter maka total alokasi dana sekitar Rp7,28 triliun.
“Selisih harga keekonomian MGS Curah dengan HET yang dihitung sekitar Rp6.398,00/liter dan dengan total alokasi dana sekitar Rp7,28 triliun tersebut akan menggunakan dana yang berasal BPDPKS,” kata Airlangga dalam keterangan resminya, Senin (21/3).
Subsidi biodiesel
Sekilas, pola subsidi minyak goreng curah hampir sama dengan penerapan subsidi biodiesel untuk produksi bio solar (program B30 pemerintah). Hanya saja jumlah subsidi yang di berikan lebih besar dan jumlah liter biodiesel yang di beri subsidi jauh lebih banyak.
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati untuk mesin diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani. Untuk saat ini, bahan baku biodiesel yang digunakan di Indonesia sebagian besar berasal dari CPO. Program Mandatori B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar) adalah program pemerintah untuk mengurangi impor solar. Biodiesel mendapat subsidi agar harga jualnya bisa lebih murah.
Pada tahun 2022 pemerintah menargetkan penyaluran biodiesel tersubsidi sebanyak 10,15 juta kilo liter, atau setara dengan 10,15 milyar liter. Cara pemberian subsidinya pun hampir serupa, yaitu BPDPKS akan membayar selisih antara harga indeks pasar (HIP) biodiesel dengan HIP solar.
Saat ini HIP biodiesel yang ditentukan kementerian ESDM pada Februari 2022 sebesar Rp. 13.600,- per liter. Sedangkan HIP solar bersubsidi sebesar Rp.5.150,- per liternya. Maka terdapat selisih harga sebesar Rp.8.450,- untuk setiap liter biodiesel. Selisih harga itu akan disubsidi melalui dana di BPDPKS.
Dapat dibayangkan, jika harga HIP biodiesel bertahan seperti harga di atas, maka jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mensubsidi 10 milyar liter biodiesel sepanjang tahun 2022 ini akan lebih dari 80 triliun rupiah.
Angka tersebut luar biasa besar jika dibandingkan dengan subsidi minyak goreng curah yang hanya 7,28 triliun. Selain itu jumlah minyak goreng bersubsidi pun lebih kecil hanya sekitar 1 milyar liter.
Pilih mana?
Besarnya jumlah subsidi biodiesel sangat tidak sebanding dengan program subsidi minyak goreng. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2019, Bappenas memproyeksikan pada tahun 2021 konsumsi minyak goreng kebutuhan rumah tangga mencapai 3,2 milyar liter dan akan meningkat di tahun 2022 ini menjadi 5 milyar liter.
Artinya, subsidi yang diberikan pemerintah hanya mencakup seperlima jumlah kebutuhan masyarakat. Maka dapat dipastikan harga minyak goreng secara umum tetap akan mahal melebihi 20 ribu rupiah setiap liter. Selain itu, sangat mungkin akan terjadi kelangkaan minyak goreng curah, karena masyarakat akan berebut. Bahkan dapat terjadi penyelewengan minyak goreng curah untuk kemudian dijual dengan harga non subsidi.
Jika membandingkan angka subsidi biodiesel dan minyak goreng yang timpang maka pertanyaannya lebih penting mana antara biodiesel atau minyak goreng?
Bagi masyarakat Indonesia minyak goreng memiliki peran penting dalam pengolahan pangan rumah tangga sehari-hari. Hampir setiap rumah tangga menggunakan minyak goreng untuk memasak. Tentunya berbeda dengan biodiesel yang hanya digunakan oleh pemilik kendaraan, yang tidak semua rumah tangga memilikinya. Selain itu kendaraan masyarakat pun jarang yang menggunakan bio solar.
Semestinya pemenuhan minyak goreng murah tetap menjadi prioritas pemerintah melalui subsidi baik dari APBN atau dana pungutan ekspor CPO.
Selama ini pemerintah mengenakan bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) yang tinggi pada produk CPO. Pada Maret 2022 ini saja pemerintah memungut (BK dan PE) 575 dolar AS dari setiap ton CPO ketika harga dunia di atas 1500 dolar AS. Dengan kata lain pemerintah memotong lebih dari 37 persen hasil produk sawit yang di ekspor.
Sumber dana subsidi
Dana subsidi pemerintah untuk biodiesel dan minyak goreng, jika dilihat secara seksama, berasal dari potongan harga jual Tandan Buah Sawit (TBS) termasuk milik petani. Dana itu dihimpun melalui pungutan ekspor CPO dan di kelola oleh BPDPKS kemudian disalurkan untuk biodiesel, peremajaan kebun, program lain dan mulai Maret 2022 juga dipakai untuk subsidi minyak goreng curah.
Meski sebagian dana pungutan itu memotong harga TBS petani, tetapi penggunaan terbesar dana BPDPKS justru untuk membayar subsidi kepada perusahaan produsen biodiesel, yang notabene adalah pemilik perkebunan besar, produsen CPO sekaligus produsen besar minyak goreng.
Pada tahun 2021 saja BPDPKS menyalurkan dana 51,86 triliun rupiah untuk mendanai 9,18 milyar liter biodiesel seiring dengan program B30 pemerintah. Sedangkan pendanaan untuk peremajaan kebun sawit petani tidak sampai sepuluh persennya.
Jika subsidi diberikan kepada seluruh produk minyak goreng kebutuhan masyarakat (5 milyar liter), dana yang dikeluarkan masih sekitar 30 triliun rupiah. Angka itu masih jauh lebih kecil dibandingkan dana subsidi biodiesel yang hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat.
Mengingat pentingnya minyak goreng bagi masyarakat dan industri kecil, maka sudah sepatutnya pemerintah untuk lebih serius mempertimbangkan prioritas sasaran subsidi yang di berikan. Setidaknya pemerintah memastikan besaran subsidi bisa menjamin ketersediaan minyak goreng murah secara menyeluruh kepada masyarakat. [PTM]