UDANG merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berpotensi besar untuk dikembangkan. Saat ini komoditas udang bernilai ekonomi mencapai USD 250 miliar atau sekitar Rp 3,6 triliun setiap tahun. Indonesia sendiri menempati urutan ketiga terbesar sebagai negara pengekspor udang di pasar dunia setelah Thailand dan India. Jenis udang yang diekspor oleh Indonesia di antaranya adalah udang windu, udang vaname, dan jenis udang lainnya. 

Khususnya mengenai udang vaname (Litopenaeus vannamei), rata-rata jenis ini memiliki kontribusi volume ekspor mencapai 85%. Udang vaname memiliki karakteristik spesifik, seperti mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, mampu beradaptasi dengan lingkungan bersuhu rendah, memiliki tingkat keberlangsungan hidup yang tinggi, dan memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap penyakit sehingga cocok untuk dibudidayakan di tambak.

Sistem budidaya udang vaname sangat banyak, tidak hanya di tambak seperti yang sering kita lihat, untuk saat ini sudah banyak para pelaku budidaya khususnya udang vaname melakukan budidaya udang vaname di lingkungan rumah/tempat tinggal dengan media yang beragam salah satunya kolam terpal bundar. 

Budidaya udang vaname memiliki harganya yang stabil dan tinggi, udang vaname juga memiliki gizi yang tinggi untuk dikonsumsi, peminat dari udang ini sangat banyak mulai dari pasar, rumah tangga hingga pabrik pengolahan. 

Dinas kelautan dan perikanan provinsi Jawa Timur melalui Instalasi Budidaya Air Laut (IBAL) Boncong ketika beberapa waktu yang lalu melakukan kegiatan panen udang Vaname. Dari 5 kolam yang ditebar dengan padat tebar 165 ekor/m menghasilkan tonase sebanyak 5,6 ton (DOC 70) dengan size 80 sampai 100. Tentunya ini merupakan hal yang bagus di tengah pandemi yang kita alami. Semangat budidaya terus tinggi di tengah masalah kesehatan, pandemi Covid-19 yang menghantam. 

Di lapangan, mengelola vaname lebih rendah risikonya. Vaname lebih toleran pada kisaran salinitas yang lebih lebar. Dalam budi daya tambak intensif, dengan populasi yang padat, daya hidup (survival rate) udang vaname bisa mencapai 80-82 persen, sementara udang windu hanya 56-58 persen. Dengan begitu, biaya untuk pengadaan benur pada udang windu lebih tinggi. Udang vaname ini relatif mudah dibiakkan dan dipijahkan sehingga benurnya tidak terlalu mahal.

Yang paling diperhitungkan dalam usaha tentunya urusan pakan yang menelan biaya 70–75 persen dari modal kerja. Udang windu yang berkepala hijau, kulit abu-abu-kehitaman, dengan garis-garis coklat di punggungnya itu, menuntut pakan dengan protein tinggi. Beberapa data lapangan menunjukkan, feed conversion ratio (FCR), yakni perbandingan pakan yang diberikan dengan pertambahan berat udang 1,8 hingga 1,9. Artinya, perlu pakan 1,8–1,9 kg untuk setiap penambahan 1 kg udang windu. Pada vaname lebih ekonomis. FCR nya 1,35–1,40.

Tak heran bila kini sebagian besar dari tambak di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Maluku dan Papua, para petambaknya banyak yang memilih vaname. Alhasil, dari produk udang nasional yang mencapai 520 ribu ton pada 2019, vaname menyumbang 65 persen dan udang windu 20 persen. Selebihnya udang jerbung, udang kipas, udang palemon merah, dan udang galah (air tawar). Ada pula udang tangkapan dari laut atau sungai, namun jumlahnya tidak besar.

Seluruh jenis udang itu menyumbang 39 persen (USD1,6 miliar) dari ekspor hasil perikanan Indonesia 2019 yang secara total mencapai USD4,1 miliar. Permintaan udang secara global naik rata-rata 6–7 persen per tahun, yang kemudian ikut mendorong produksi nasional.

Meski ditimpa pandemi Covid-19, permintaan tak lantas menyusut. Tumbuh, tapi tidak besar, yang justru mengalami tekanan, ialah produk perikanan yang bernilai premium seperti lobster, ikan baronang, kerapu, serta ikan subtropis seperti ikan salmon. Karena produk perikanan mahal itu biasa disajikan di restoran papan atas yang harus mengurangi tamunya di masa pandemi. Sedangkan untuk jenis konsumsi rumahan tidak terlalu bermasalah.

Tak heran bila Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap menargetkan bahwa produksi udang tetap meningkat dan diharapkan menyentuh angka 600 ribu ton pada 2020. Investasi di tambak udang masih tumbuh. Pada kuartal satu 2020, perikanan tumbuh 3,6 persen (year on year), tapi ekspornya tumbuh 9,8 persen dengan motornya adalah udang. Pada kuartal kedua lalu diperkirakan sub sektor perikanan tumbuh sekitar 3 persen dan akan positif di kuartal ketiga.

Potensi Besar

Indonesia memiliki sekitar 400 ribu ha pantai yang sudah dioperasikan sebagai kawasan tambak. Dari jumlah itu, sekitar 240 ribu ha yang aktif berproduksi, dan hanya 60 ribu ha saja yang dimanfaatkan untuk tambak udang intensif. Hasilnya, umumnya 10–12 ton per ha untuk tambak rakyat, dan dapat berlipat dua kali untuk tambak yang diusahakan korporasi besar.

Budi daya tambak udang ini menyebar di seluruh Indonesia. Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara adalah penyumbang terbesar. Di daerah itu pula investasi ke budi daya tambak terus mengalir, dan udang vaname menjadi prioritasnya. Potensi untuk pengembangannya pun terbentang luas.

Udang vaname menjadi penyelamat ketika pada 2005-an, bisnis budidaya udang Indonesia susut drastis karena gangguan penyakit. Banyak petambak dan pengusaha beralih ke vaname dan berhasil. Sejak itu pula ekspor Indonesia kembali meningkat. Saat ini Indonesia menempati peringkat keempat eksportir udang terbesar di dunia, di bawah India, Ecuador, dan Vietnam.

Kesempatan masih terbuka. Permintaan udang di pasar internasional kuat dan di pasar domestik tetap ramai. Bila tren yang ada bisa dipertahankan, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia bisa menyalip Vietnam, sebagaimana beberapa tahun lalu ketika Indonesia dapat mengungguli Tiongkok dan Thailand. [S21]