Papeda, salah satu makanan khas masyarakat Papua - Media9
Papeda, salah satu makanan khas masyarakat Papua - Media9

MENURUT Heidbüchel  dalam bukunya, Esther Heidbüchel, “The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches” (2007), pemerintah Orde baru secara sepihak menetapkan standar hidup di Papua berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa.

Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal.

Makanan Pokok Papua: Sagu dan Ubi

Menurut Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, makanan pokok masyarakat Papua antara lain papeda dan ubi jalar ungu. “Berdasarkan data arkeologi, diketahui ubi jalar mulai dibudidayakan di pegunungan tengah Papua sekitar 500 tahun yang lalu,” kata Hari Suroto (Tempo, 10 Oktober 2020).

Bagi masyarakat pesisir Papua bahan makanan pokok mereka adalah sagu. Sagu ini diolah menjadi papeda yang sepintas bentuknya mirip bubur. Dalam membuat papeda, pati sagu ditaruh dalam wadah gerabah, kemudian disiram dengan air panas. “Jadilah papeda yang siap disantap,” katanya.

Sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentani, biasanya menggunakan ikan gabus sentani atau ikan mujair sebagai hidangan pelengkap papeda. Bumbu kuah kuning Danau Sentani lebih sederhana, yaitu garam dan kunyit. Bumbu ini dimasak bersama ikan. Cara memasaknya dengan direbus, bukan ditumis sehingga tidak menggunakan minyak karena ikan yang dimasak sudah berlemak.

Sementara masyarakat yang tinggal di pegunungan Papua memiliki bahan makanan pokok berupa ubi jalar. Suku Dani yang tinggal di pegunungan tengah Papua selalu menyertakan ubi jalar ungu dalam setiap acara adat. “Saat ini ubi jalar ungu Papua seolah terpinggirkan dengan adanya beras,” kata Hari Suroto. “Padahal dengan membeli dan mengkonsumsi ubi jalar ungu, maka turut mengangkat kesejahteraan mama-mama Papua petani ubi ungu.”

Panganan Asli yang Harus Dilestarikan

Salah satu hasil dari hutan dan rawa Papua adalah sagu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan papeda, yang sejak dulu kala menjadi makanan pokok mereka. Pangan lokal seperti inilah yang harus dipertahankan.  Hingga saat ini, hutan sagu di Papua masih sangat terjaga. “Masyarakat Papua menebang pohon sagu secukupnya saja.

Selain menyimpan untuk dikonsumsi, mereka menjual sebagian sagu untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti sekolah anak,” jelas pendiri dan CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar. Bustar menegaskan, pengelolaan sagu oleh masyarakat Papua sudah sustainable, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang perlu dikhawatirkan adalah jika lahan sagu beralih fungsi, misalnya menjadi lahan properti komersial atau kawasan industri berskala besar. Jika hutan Papua tidak diproteksi sejak sekarang, lahan sagu bisa menyusut secara signifikan.

Sayangnya papeda makin lama makin tergeser oleh nasi. Perubahan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Ketika ada kebijakan pemerintah membuka lahan persawahan di Papua. “Dulu ada stigma bahwa makan nasi itu modern, bahwa nasi itu untuk masyarakat yang mampu, bahwa kelas nasi lebih tinggi daripada papeda. Informasi semacam ini membuat orang dari kampung merasa bahwa makan papeda dan ikan itu kualitasnya lebih rendah, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong mencari nasi,” kata Chef Chato. 

Melihat fakta ini, Chef Chato selalu gencar menyampaikan pesan bahwa apa yang mereka miliki di kampung sebetulnya lebih baik, dan itulah yang dibutuhkan masyarakat kota sekarang. Ia berharap, masyarakat Papua paham bahwa menjaga pangan lokal merupakan hal penting, yaitu menjaga sagu yang manfaatnya lebih baik daripada beras yang memiliki kadar gula yang tinggi. 

Lahan sagu di Papua tidak perlu diganti jadi lahan sawah padi. Sebab, orang Papua tidak terbiasa mengolah padi dan makan nasi bukan budaya asli Papua,” demikian pernyataan Bustar Maitar selaku pendiri dan CEO Yayasan EcoNusa. [*]