Penambang tradisional meniti jembatan bambu sambil mengangkat keranjang pasir di Sungai Brantas, Kel. Banda Lor, Kediri, Jawa Timur - ANTARA
Penambang tradisional meniti jembatan bambu sambil mengangkat keranjang pasir di Sungai Brantas, Kel. Banda Lor, Kediri, Jawa Timur - ANTARA

KONDISI Sungai Brantas saat ini ternyata memprihatinkan, meski diketahui dan diakui fungsinya sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Pada kenyataannya tingkat pencemaran sungai ini telah melewati ambang batas dan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan serta kesehatan penduduk yang memanfaatkan air sungai. Bahan pencemar berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, limbah taman rekreasi, limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah sakit, dan limbah industri.

Kondisi makin memprihatinkan karena bantaran DAS Brantas di Jawa Timur mengalami perubahan fungsi. Meski kawasan bantaran sungai telah ditetapkan sebagai kawasan hijau, sebagian besar bantaran sungai beralih fungsi, tidak sesuai peruntukannya.

Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota di sepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.

Titik Mula Sungai Brantas

Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas. Hulu Sungai Brantas ini berada di kaki Gunung Arjuno wilayah Kota Batu. Lokasi persisnya di Arboretum Sumber Brantas, Cangar, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang Raya, berasal dari simpanan air Gunung Arjuno.

Di kawasan konservasi yang berjarak 18 kilometer di sebelah utara Kota Batu, di lereng bukit sebelah timur Gunung Anjasmara itulah “Titik Nol” Sungai Brantas berada. Ada sebanyak 3.200 pohon dari 37 jenis berbeda hidup di sekitar mata air sumber Brantas itu. Beberapa jenis pohon di antaranya termasuk dilindungi.

Ada Kayu Manis, Cempaka, Damar, Pohon Kenanga, Sikat Botol (Kalistemon), Kayu Putih (Malalenca Kajuputi), Pinus Parana, sampai Pohon Kukrup (Engelhardia Spicata). Karena inilah kawasan seluas 12 hektar itu disebut arboretum.

Air dari sumber tersebut kemudian mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua menjadi Kali Mas (bermuara di wilayah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Sungai Brantas mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. 

Sejarah Sungai Brantas

Sejak abad ke-8, di DAS Brantas telah berdiri sebuah kerajaan agraris, yaitu Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). 

Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang penting. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare yang berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak Sungai Konto, yakni Sungai Harinjing (Lombard, 2000).

Sungai Brantas di Jawa Timur memiliki panjang sungai utama 320 km.

Dikutip dari Sungai sebagai pusat peradaban: prosiding seminar perubahan DAS Brantas dalam perspektif sejarah, ditemukan kehidupan Homo Wajakensis wilayah Wajak, suatu lembah di Brantas Hulu yang sangat subur yang letaknya di dekat Tulungagung. Hal itu menunjukkan bahwa Sungai Brantas memiliki sejarah yang sangat panjang baik secara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan militer. Bahkan Sungai Brantas menjadi saksi era kerajaan yang muncul silih berganti, mulai dari Kerajaan Mataram Mpu Sindok (akhir abad ke-9 Masehi) hingga masa akhir Kerajaan Majapahit di abad ke-16 Masehi. Di masa Kerajaan Majapahit, Sang Raja Hayam Wuruk mengeluarkan Prasasti Canggu (1358 Masehi). Prasasti tersebut menyebutkan hak-hak istimewa pada penjaga tempat penyeberangan di Sungai Brantas. Canggu berada di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang terletak di sepanjang aliran Sungai Kali Mas (cabang dari Sungai Brantas). 

Di masa lalu, desa-desa di pinggir sungai (nitipradesa) yang menjadi lokasi panambangan adalah daerah perdikan sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma. Dalam prasasti tersebut tercatat ada 34 desa panambangan di Sungai Brantas dan 44 desa panambangan di Bengawan Solo.

Legenda Sungai Brantas

Bagi masyarakat Jawa Timur, Sungai Brantas adalah berkah. Dari kaki Gunung Arjuno di Malang, sungai besar (bengawan) Brantas bersama 39 anak sungainya melewati 15 kabupaten di Jawa Timur. Legenda Sungai Brantas tak bisa dilepaskan dari Kediri. Dikutip dari Kompas.com, diceritakan di masa lalu, kawasan Kediri adalah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Medang yang saat itu dipimpin oleh Prabu Airlangga.

Prabu Airlangga dikenal sebagai sosok yang religius. Saat usianya sudah senja, ia memilih menjadi seorang pertapa. Ia pun menyerahkan tahta kerajaan kepada putri permaisuri yang bernama Dyah Sanggramawijaya. Namun Dyah menolak karena juga memilih menjadi pertapa seperti ayahnya. 

Prabu Airlangga akhirnya memberikan tahta kepada putra dari selirnya. Dari selirnya, ia memiliki dua putra yaitu Raden Jayanegara dan Raden Jayengrana. Prabu merasa bingung dan agar adil, ia meminta bantuan Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Medang menjadi dua bagian untuk kedua putranya. Dengan kesaktiannya Empu Bharada pun terbang dengan membawa kendi yang berisi air. Ia kemudian menumpahkan air kendi itu dari angkasa persis di tengah-tengah Kerajaan Medang. Ajaibnya, tanah yang terkena air dari kendi tersebut berubah menjadi sungai yang kini dikenal dengan Sungai Brantas. 

Brantas Kini

Brantas juga menjadi sumber energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang turut menyuplai pasokan listrik pada sistem pembangkitan Jawa-Bali. Ada belasan PLTA dan PLTMH di sepanjang daerah aliran, antara lain PLTA Lodoyo, PLTA Karangkates, PLTA Kesamben, dan PLTA Jatimlerek. Sedangkan di wilayah hilir, sejak dulu Brantas diandalkan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat baik yang dikelola oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) maupun secara swakelola. Di daerah hilir, penggunanya antara lain PDAM Surya Sembada Surabaya, PDAM Delta Tirta Sidoarjo, PDAM Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, dan Gresik. Daerah-daerah tersebut memang tidak memiliki sumber air pegunungan untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga dan dunia usaha termasuk industri.

Peristiwa banjir bandang di wilayah Batu pada akhir tahun 2021 dapat dijadikan petunjuk bahwa telah terjadi gangguan ekosistem di wilayah tersebut. [S21]