Pekerja tambang timah di Belitung pada era Kolonialisme Belanda - bhpbilliton
Pekerja tambang timah di Belitung pada era Kolonialisme Belanda - bhpbilliton

Belitung Timur adalah daerah bersejarah yang melegenda dengan hasil alamnya, terutama hasil tambang timah. Bahkan hasil olahan timahnya membanjiri pasar Eropa pada pertengahan Abad ke-19. Daerah ini semakin populer ketika diangkat dalam novel dan film Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata.

Belitung Timur menyimpan banyak sejarah berkaitan dengan penguasaan tambang, bahkan pengaruh tambang timah berpengaruh pada struktur sosial dan antropologi masyarakatnya. Salah satu hal yang menarik adalah masuknya sistem produksi kapitalisme melalui perusahaan tambang hingga mendominasi kehidupan sosial masyarakatnya.

Sejak 15 juni 2021, tim peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, yang diketuai M. Nofri Fahrozi, berupaya mengungkap jejak-jejak kapitalisme industri timah di tiga wilayah, yaitu Kecamatan Manggar, Kecamatan Gantung dan Kecamatan Kelapa Kampit.

Di Kelapa Kampit tim melakukan survei pada area Stoven, Eks Rumah Pekerja Timah di klaster kelas dua (blok B), bekas Poliklinik masa Gemeenschappelijk Billiton Maatschappij (GMB), Rumah Pribadi Kepala Gudang pada masa GMB, dan Rumah Taekong atau kepala parit/tambang.

Penelitian Belitung timur oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan didasari karena keberadaan tambang timah kolonial Belanda yang memiliki peran sejarah. Keberadaan tambang kolonial di Pulau Belitung tercatat selama seratus lima tahun, dari tahun 1852 hingga 1957.

Jejak tambang Billiton Maatschappij (1852-1924) hingga GMB (1924-1957)

Sejarah tambang kolonial di belitung timur dimulai oleh perusahaan partikelir (swasta) asal Belanda yaitu Billiton Maatschappij, yang kini sudah berubah menjadi BHPBilliton. Nama Billiton sendiri memiliki kesamaan makna dengan Belitung.

Awalnya pada tahun 1851, tim yang dipimpin John Francis Loudon dan didukung oleh, salah satunya, Pangeran Hendrik dari Kerajaan Belanda, menemukan timah di Belitung.

Setahun kemudian, kelompok itu memperoleh konsesi atau izin penambangan selama 40 tahun dari Pemerintahan Hindia Belanda. Berbeda dari Bangka yang tambang-tambang timahnya sejak awal dikelola oleh negara, perintis usaha sejenis di Belitung adalah swasta. Pada 1860, perusahaan Loudon dan rekan-rekannya menjelma jadi Billiton Maatschappij alias Maskapai Belitung.

Pada Tahun 1924, Billiton Maatschappij berubah namanya menjadi Gemeenschappelijk Billiton Maatschappij atau GMB. Maskapai itu mengendalikan tambang-tambang timah dan mendominasi sejarah Belitung lebih dari seabad lamanya hingga kemudian dibubarkan dan aset-asetnya diambil alih oleh Indonesia pada 1958.

Kantor administratur Billiton Maatschappij di Mangar, Belitung Timur – KITLV

Menurut Erwiza Erman dalam bukunya Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung (2009), Perusahaan Belanda tersebut ternyata tidak hanya berpengaruh dalam hal pertimahan (ekonomi) saja namun berimplikasi pada berbagai aspek kehidupan yang ada di Pulau ini (termasuk aspek sosio-kultural) dan bahkan hingga pembentukan permukiman di Belitung.

Keberadaan aktivitas industrial tersebut diduga kuat menyimpan bukti-bukti terkait dengan praktik kapitalisme yang terjadi. Industri dinilai menghadirkan struktur klas sosial yang jelas, eksploitasi (alam),dehumanisasi (eksploitasi manusia), segregasi, resistensi, atau bahkan konflik antar klas yang ada.

Segregasi, wujud Praktik Kapitalisme di Belitung Timur

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan menunjukkan adanya bentuk pemisahan masyarakat di daerah pemukiman Belitung timur. Di Kecamatan Manggar, Belitung Timur, terdapat beberapa klaster permukiman yang di dasarkan pada etnisnya.

Klaster permukiman tersebut yaitu Klaster Bukit samak, yang merupakan klaster Eropa, saat ini menyisakan tinggalan arkeologi berupa rumah-rumah megah, dengan berbagai fasilitas pendukungnya.

Daerah sekitar Pasar Lipat Kadjang yang merupakan klaster Tionghoa, saat ini daerah tersebut masih dihuni oleh keturunan etnis tersebut. Beberapa rumah lama dengan gaya Tionghoa juga terlihat di wilayah tersebut.

Daerah Kampong Lalang, yang merupakan klaster melayu. Sampai saat ini wilayah tersebut masih dihuni oleh warga melayu. Selain itu terdapat juga kampung baru yang terdapat di dekat laut yang menjadi hunian masyarakat Bugis, masyarakat Juru, masyarakat Sawang dan Bawean Madura.

Klaster pemukiman terpisah, merupakan strategi dari praktik kapitalisme yang kala itu dilakukan oleh Perusahaan Billiton Mastchapijj sesuai dengan peran klas-klas yang diciptakan.

Refleksi perilaku konsumerisme : Dari perilaku konsumtif ke legitimasi Klas

Nofri dan tim dari peneliti Balai Arkeologi Sumatera Selatan, menemukan bukti perilaku konsumerisme di bangunan Societeit di Samak.

Tempat ini berperan sebagai tempat orang Eropa melakukan pesta, mulai dari pesta ulang tahun hingga pesta akhir pekan. Dari dokumentasi foto koleksi KITLV, didukung catatan dalam buku Gedenkboek, bangunan Societeit yang megah pernah berdiri di Bukit Samak. Bangunan ini bisa dikatakan menjadi ciri khas dari klaster eks permukiman Eropa.

Gedung Societeit di Belitung timur berdiri di atas lahan Bukit Samak kemudian mereka pilih sebagai tempat yang tepat untuk menunaikan hasrat konsumerisme akan minuman wine, whiskey, champagne dan liquor. Pada tahap lebih lanjut, perilaku ini kemudian menjadi gaya hidup dengan tujuan melegitimasi superioritas masyarakat klas atas, dengan gaya hidup mewahnya.

Societeit (Wisma Ria) Manggar - KITLV
Societeit (Wisma Ria) Manggar – KITLV

Saat ini bangunan Societeit menyisakan struktur lantai, struktur fondasi, urinoir sebagai sisa bagian kamar mandi, berasosiasi dengan berbagai jenis fragmen keramik yang berasal dari Tiongkok dan Eropa, pita seluloid film, hingga fragmen insulator serta temuan berbagai jenis botol dan gelas minuman keras.

Botol tersebut mulai dari yang berbahan kaca, utuh hingga fragmentaris sampai dengan botol yang berbahan stone ware. Botol berbahan kaca, merupakan wadah minuman keras jenis bir, wine hingga whiskey.

Ketimpangan tempat bermukim antara klas pekerja dan petinggi Billiton Mastchapijj

Catatan Cornelis De Groot pada buku Herinneringen aan Blitong, Historisch, Lithologisch, Mineralogisch, Geographisch, Geologisch en Mijnbouwkundig oleh H. L. Smith (1887), menyoroti ketidaklayakan tempat tinggal kelas pekerja sebagai indikasi praktik dehumanisasi pada buruh tambang.

Groot menyebutkan bangunan rumah-kongsi biasanya dibangun dengan kayu liar dan terletak dekat dengan kolong ataupun tambang timah tempat kerja kongsi yang bersangkutan. Rumah-kongsi biasanya dibangun di atas tanah lempung dengan kandungan 30-50% tanah lempung bercampur dengan 50-70% pasir kuarsa.

Buruh tambang timah saat berkerja di lokasi tambang di Belitung, 1930. Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT)
Buruh tambang timah saat berkerja di lokasi tambang di Belitung, 1930. Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT)

Komposisi demikian membuat tanah di sekitar rumah-kongsi tidak mudah menyerap air sehingga apabila hujan, muncullah genangan-genangan air.

Bangunan asrama penambang memiliki atap yang rendah, permukaan lantai hanya berjarak sekitar 1.25 meter dari atap. Di dalam gubuk beratap rendah ini para penambang, yang jumlahnya bisa mencapai 200 orang dalam satu kongsi, tidur ber himpitan satu sama lain dalam sebuah ruangan yang sempit.

Groot juga menyoroti timpangnya komposisi gender di rumah-kongsi. Sebagai akibat dari ketimpangan komposisi gender di rumah-kongsi, de Groot memaparkan deduksi kecurigaannya atas perilaku seksual menyimpang yang terjadi di rumah-kongsi.

Dalam tulisannya De Groot menguraikan secara implisit perilaku ini. Dalam Herinneringen de Groot menyatakan :“In de slaaplokalen der kongsi-huizen zal vermoedelijk bij dit totaal gebrek aan vrouwen veel bedreven worden, dat geen daglicht kan verdragen. Het is niet te verwonderen als daar onnatuurlijke ontuchtige bandelingen plaats hebben” Artinya: “Di asrama-asrama rumah-kongsi, kemungkinan besar karena kurangnya wanita, banyak hal yang terjadi yang tidak bisa dibicarakan terang-terangan (tabu -red.). Sebenarnya tidak mengherankan jika hal-hal cabul yang melawan hukum alam terjadi di sana”. [PTM]