Helikopter TNI AD (ilustrasi)

Pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI pada 17 November lalu diharap membawa angin segar bagi penyelesaian konflik di Papua. Pasalnya, sejak dicalonkan Andika telah menyampaikan strategi dan pendekatan baru yang lebih humanis untuk Papua.

Dalam fit and proper test di gedung DPR (6/11) Andika menyampaikan akan melakukan pendekatan sosial, kesejahteraan dan menangani konflik tanpa perang. Beliau juga ingin memenangkan hati dan pikiran masyarakat Papua melalui strategi “win the heart and mind”.

Setelah di lantik menjadi Panglima TNI, ia juga menyampaikan hal serupa. Di antaranya ketika bertemu dengan Kapolri Jenderal Listyo S Prabowo. Dalam pertemuan dengan rekannya itu turut dibahas tentang upaya penumpasan kelompok bersenjata tanpa menggunakan pendekatan perang. Andika lebih memilih cara diplomasi militer dan pendekatan humanis.

Harapan untuk perubahan situasi Papua juga disampaikan oleh Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin, “Iya, tentu. Lebih humanis tapi tidak kehilangan semangat untuk perlindungan. Humanis, tetapi perlindungan dan penegakan HAM harus tetap dijaga,” ujarnya.

Komnas HAM melalui Komisionernya Amiruddin Al Rahab mengatakan bahwa Panglima TNI yang baru juga perlu menunjukkan dukungan untuk upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan peristiwa-peristiwa yang diduga melanggar HAM yang berat.

Penuntasan pelanggaran HAM di Papua

Selain penyelesaian konflik tanpa perang Panglima TNI juga menyatakan dukungan atas upaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua. Dalam kunjungannya ke Jayapura, Andika menyatakan akan mengawal kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. “Saya akan mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM termasuk yang terjadi di Papua,” tegasnya.

Hingga kini setidaknya ada 14 kasus HAM di Papua, enam di antaranya sudah disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat. Enam kasus itu adalah kasus Biak Berdarah Juli 1998, kasus Wasior tahun 2001, kasus Wamena April 2003, Kasus Universitas Cendrawasih tahun 2006, kasus Paniai Desember 2014 dan kasus Deiyai 1 Agustus 2017.

Pemerintah melalui Kejaksaan Agung juga menyatakan akan menindak lanjuti kasus pelanggaran HAM di Papua secara hukum. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pun telah membentuk tim penyidik yang beranggotakan 22 orang jaksa untuk menangani dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Provinsi Papua pada 2014.

Dukungan Panglima TNI untuk penuntasan kasus HAM tentu akan sangat membantu dalam proses penyidikan dan penindakan hukum. Selain itu proses penuntasan kasus akan membangun kepercayaan masyarakat Papua akan adanya keadilan bagi masyarakat.

Pendekatan teritorial dan sosial

Meski belum genap sebulan menjabat sebagai Panglima TNI, Jenderal Andika perkasa mengambil langkah cepat di antaranya melakukan kunjungan ke beberapa pimpinan lembaga tinggi negara, Kapolri dan juga Wakil presiden. Kunjungan tersebut tak lupa membahas soal Papua serta komitmen TNI.

Panglima juga melakukan kunjungan langsung ke Papua untuk meninjau situasi dan melakukan koordinasi. Dalam kunjungan tersebut Panglima TNI menyampaikan bahwa pendekatan teritorial dan sosial akan di utamakan.

Pendekatan teritorial tersebut akan di wujudkan Panglima TNI dengan menambah jumlah Komando Distrik Militer (Kodim) menjadi delapan untuk setiap Komando Resort Militer. Selain itu satgas yang digelar akan menjadi kodim dan koramil yang tugas dan fungsinya termasuk teritorial. Demikian pula dengan satgas TNI-AL yang akan menjadi bagian dari pangkalan TNI-AL dan pangkalan TNI-AU bagi satuan dari TNI-AU.

Menanti realisasi

Penambahan jumlah komando teritorial dapat menjadi dilema tersendiri bagi pendekatan humanis Panglima TNI. Bagi masyarakat Papua, penambahan komando teritorial dapat diterjemahkan sebagai upaya pendekatan TNI pada masyarakat, akan tetapi dapat juga menimbulkan kekhawatiran akan ada penambahan personil TNI lebih banyak lagi di Papua.

Saat ini jumlah pasukan TNI di Papua sudah lebih dari 50 ribu personel yang bekerja secara teritorial, belum termasuk anggota Satgas.  Jumlah ini termasuk salah satu yang terbesar untuk wilayah di Indonesia. Selain TNI, mobilisasi aparat Kepolisian juga sudah sangat besar lebih dari 15 ribu personel. Jumlah pasukan ini terus bertambah dengan pengiriman ribuan pasukan secara bergelombang di tahun 2021 ini.

Agak sulit membayangkan pendekatan humanis yang disampaikan Panglima TNI jika melihat besarnya komposisi dan jumlah aparat bersenjata di Papua. Alih-alih melindungi dan memenangkan hati masyarakat, kehadiran lebih banyak pasukan dikhawatirkan malah menebar ketakutan akan meningkatnya kekerasan.

Selain meresahkan, besarnya jumlah pasukan di lapangan juga dapat meningkatkan gesekan antara TNI dan Polri. Kejadian terbaru adalah kontak senjata antara prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Nanggala dengan personel Brimob Polri yang tergabung dalam Satgas Amole di Timika, Papua, Sabtu (27/11).

Terkait penuntasan masalah HAM di Papua juga masih muncul keraguan, apakah Panglima TNI mau mengungkapkan secara terbuka kasus yang melibatkan aparatnya.

Upaya itu semakin rumit dengan keluarnya surat telegram Panglima TNI Nomor 1221/2021 tentang Prosedur Pemanggilan Prajurit TNI oleh Aparat Penegak Hukum. Surat ini mendapat kritik karena penegak hukum tidak bisa langsung memeriksa prajurit tanpa mendapat izin pimpinan atau kepala satuan.

Akan tetapi strategi pendekatan humanis Panglima TNI patut di nantikan, mengingat masa jabatan yang baru satu bulan. Tentu butuh waktu agar komitmen damai untuk Papua itu dapat benar-benar terwujud. [*]