Koran Sulindo – Negeri Tiongkok sepertinya memiliki tempat tersendiri dalam kebijakan investasi pemerintahan Jokowi-JK. Sejumlah mega-proyek diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok. Yang paling mencolok tentu saja proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Dalam proyek keretaa cepat itu, Tiongkok dan Jepang sempat bersaing ketat, namun Presiden Joko Widodo akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Tiongkok. Kendati Jepang lebih berpengalaman di proyek kereta cepat, pemerintah lebih tertarik dengan Tiongkok karena dianggap lebih banyak memberikan keuntungan (benefit).
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, keuntungan tersebut menyangkut aspek ekonomi, seperti transfer teknologi kereta cepat yang merupakan hal baru bagi manusia Indonesia serta digunakannya komponen dalam negeri untuk kegiatan pembangunannya. Komitmen alih teknologi ini, diakui Darmin, merupakan bagian penting dari kesepakatan yang tertuang dalam joint venture agreement antara konsorsium Indonesia dan konsorsium Tiongkok dalam pembangunan kereta cepat.
Kehadiran Tiongkok dalam proyek kereta cepat itu semakin mengukuhkan hubungan bilateral kedua negara. Terlebih lagi, nilai investasi proyek itu terbesar dalam sejarah, yakni lebih dari Rp 70 triliun, melalui skema pinjaman berjangka 20 tahun, dengan bunga 2%.
Tiongkok sepertinya akan benar-benar menjadi andalan sumber investasi bagi Indonesia. Seperti diungkapkan Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara tujuan investasi dari Tiongkok. Peringkat pertama adalah Amerika Serikat, ketiga Rusia, dan keempat India.
Data BKPM mencatat, selama enam tahun terakhir, komitmen investasi Tiongkok di Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat. Pada periode Januari hingga Februari 2016, komitmen investasi Tiongkok di Indonesia mencapai US$ 3.202 miliar. Sebelumnya, sepanjang tahun 2015, total investasi mencapai US$ 22.678 miliar. Kemudian, pada bulan Maret 2016 lalu, BKPM melakukan kunjungan kerja ke tiga kota di Cina, yakni Beijing, Shanghai, dan Huzhou. Dari kunjungan tersebut terindikasi nilai investasi ke Indonesia mencapai US$ 10,8 miliar.
“Minat pengusaha Tiongkok untuk investasi di sini sangat besar. Kita berupaya agar modal investasi dari Tiongkok mengalir ke Indonesia,” ujar Franky Sibarani.
Untuk mengoptimalkan arus investasi masuk ke Indonesia, BKPM awal Mei 2016 lalu meluncurkan desk khusus investor Tiongkok sebagai fasilitator untuk membantu investor Tiongkok memperoleh penjelasan kebijakan investasi, bimbingan, dan konsultasi memperoleh izin penanaman modal di BKPM. Termasuk pula melayani konsultasi secara online melalui jejaring sosial email, WhatsApp, dan WeChat.
“Pengurusan izin investasi modal asing hanya butuh waktu tiga jam,” kata Franky.
Pembentukan Desk Tiongkok ini juga sebagai strategi “buser” atau “buru sergap” BKPM untuk menggaet 13 perusahaan asal Tiongkok dalam kunjungan kerja BKPM ke Negeri Tirai Bambu, pertengahan Maret 2016 lalu. BKPM harus bertindak cepat agar investasi dialirkan ke Indonesia, bukan ke negara asing.
Ke-13 investor tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pembangkit listrik energi terbarukan, furnitur, industri kimia, konsultasi konstruksi, jasa konstruksi, elevator, obat tradisional, industri tekstil, industri pupuk, garmen, industri mesin jahit, dan industri pengolahan kayu. Di sektor mineral juga sudah ada perusahaan Tiongkok yang siap berinvestasi. Mereka mengicar wilayah di Bantaeng- Sulawesi Selatan dan Morowali-Sulawesi Tengah.
Bidang kelistrikan pun diminati seperti di Seluma, Bengkulu. Juga pembangkit listrik biomassa di Papua. Ada pula perusahaan suku cadang kendaraan bermotor yang sudah masuk ke Indonesia pada Februari lalu.
Sejumlah perusahaan domestik yang telah menjalin kerja sama investasi antara lain Maspion Group dengan Shining Resources Co Ltd untuk membangun pabrik pelat tembaga di Gresik, Jawa Timur, senilai US$ 120 juta. Kemudian, PT Indomobil Sukses Internasional Tbk bekerja sama membangun industri otomotif. Produk otomotif Tiongkok yang masuk pasar Indonesia antara lain Geely, Chery, Foton, dan FAW. Untuk alat berat ada merek Sunny Robby Sani.
Di bisnis properti, perusahaan China Sonangol berkongsi dengan Grup Sampoerna dan memiliki saham Sampoerna Strategic Square Jakarta. Di Bali, China Sonangol masuk ke Intercontinental Bali Resort, hasil kongsi dengan Grup Media milik Surya Paloh.
Di bisnis energi, perusahaan pwlat merah asal Tiongkok, China Huadian, akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang Sumatera Selatan 8. Nilai investasi PLTU berkapasitas 2 x 600 Megawatt (MW) ini sekitar US$ 1,5 miliar. China Huadian menggandeng PT Bukit Asam Tbk di proyek ini.
Tiongkok juga dikabarkan ingin berinvestasi di sektor mineral, yakni di pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua, yang belum semuanya dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia. Di pegunungan ini masih terkandung biji tembaga, uranium, dan emas.
Menghidupkan Poros Jakarta-Beijing?
Franky mengatakan, pencapaian ini menunjukan kinerja investasi sudah sesuai dengan target Rp 3.500 triliun selama lima tahun. Begitu pula dengan realiasi investasi, dia optimistis akan terdongkrak. “Kalau tahun lalu rasio realisasi investasi Tiongkok hanya 7%, tahun ini rasionya kami targetkan jadi 50%. Target ini didasarkan atas rata-rata rasio investasi semua negara,” paparnya. Sebagai gambaran, rasio realisasi investasi Tiongkok pada triwulan I 2016 naik sekitar 18% dibandingkan periode sama tahun 2015.
Selain investasi, sektor perdagangan antara kedua negara juga mengalami pertumbuhan. Keterbukaan pasar membuat produk asal Tiongkok makin mendominasi pasar barang konsumsi maupun barang modal di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang Januari-April 2016, seperempat impor Indonesia berasal dari Tiongkok, meliputi mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, besi dan baja, bahan kimia organik/anorganik, plastik dan barang dari plastik, filament buatan, pupuk, serta onderdil kendaraan.
“Impor terbesar (Januari-April 2016) dari Tiongkok, yakni senilai US$ 9,65 miliar atau 25,76% dari total impor non migas yang sebesar US$ 37,47 miliar,” ungkap Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo.
Alhasil, hubungan mesra RI-Tiongkok menimbulkan rasa “cemburu” Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan bukan tidak mungkin, relasi RI dengan Paman Sam dan Samurai Biru sedang di persimpangan jalan. Hal ini ditenggarai dengan sikap Jepang yang mulai menarik perusahaannya untuk hengkang dari Indonesia, paska kekalahan tender proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sementara Amerika Serikat melalui Uni Eropa menghentikan hibah kepada Indonesia dan mengalihkan ke negara lain.
Era kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla menggeser dominasi Amerika Serikat dan Jepang dalam konfigurasi ekonomi politik global Indonesia. Jokowi punya opsi untuk menjalin hubungan ekonomi lebih intens dengan Tiongkok. Tak pelak, banyak kalangan menilai kebijakan Jokowi “bermesraan” dengan Tiongkok seolah-olah menghidupkan kembali poros “Jakarta-Pyongyang-Hanoi-Peking” yang dicanangkan Presiden Soekarno di tahun 1964.
Seperti disampaikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di acara “Mandiri Investment Forum (MIF) 2016, Optimizing Private Sector and Local Goverment Contribution,” yang digelar di Jakarta, awal 2016 lalu. “Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Bahkan, sepertinya ke depan harus bisa lebih erat dan mesra, terutama bila Indonesia masih ingin berjuang menjadi negara maju di dunia,” ujarnya.
Selain perdagangan, peluang lainnya adalah investasi. Tiongkok, katanya, memiliki dana yang besar dan sudah menawarkan investasi mereka. Indonesia berpeluang menarik dana tersebut dalam hal investasi. Strategi kita harus bergeser dari trading ke investasi. “Jadi sekarang, merupakan tantangan kita untuk menarik investasi potensi dari Tiongkok untuk ditanam ke Indonesia. Bagaimana kita bisa membuat komitmen investasi dari Tiongkok menjadi realisasi,” kata Bambang. [ARS]