Sagu Sep makanan khas dari Merauke
Sagu Sep makanan khas dari Merauke (sumber: budaya-indoneisa.org)

Awan mendung menghiasi langit Merauke pada sore hari ketika Margareta Mahose sedang sibuk menghitung pemasukan di stan tempatnya berjualan. Lembar demi lembar rupiah ia hitung dengan cermat sambil menunggu pembeli.

Senyum ramah seketika terpancar dari bibir merahnya yang tengah mengunyah pinang. Dia pun menyambut, dengan kehangatan, pembeli yang datang. “Silakan kaka, Sagu Sep, makanan asli dari Merauke,” kata Margareta mempromosikan barang dagangannya.

Suasana di Jl. Brawijaya, Merauke, saat itu, berbeda dibanding hari biasanya. Tidak ada hilir mudik kendaraan bermotor yang biasa melintas di jalan yang terletak di depan Kantor Bupati Merauke tersebut.

Ruas jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer membentang tak jauh dari Monumen Kapsul Waktu. Ruas jalan itu disulap menjadi tempat pameran produk dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam rangka menyambut ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.

Margareta Mahose merupakan salah satu peserta yang mengikuti kegiatan pameran produk UMKM yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Merauke. Dia menjual kuliner khas Suku Marind yang merupakan salah satu dari lima suku asli di daerah paling timur di Indonesia itu

 Panganan Suku Marind

Sagu Sep merupakan penganan yang dibuat oleh Suku Marind secara turun temurun. Suku Marind mendiami Papua di bagian selatan, mulai dari Selat Muli hingga di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini.

Suku tersebut banyak mendiami wilayah yang berada di aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe, Maro. Wilayah ini secara administrasi masuk zona Distrik Okaba, Merauke, Kimam, dan Muting. Suku Marind hidup dengan mengandalkan hasil ladang seperti ubi kayu, kava, sagu hingga aktivitas berburu dan menangkap ikan.

Margareta Mahose menceritakan bahwa membuat Sagu Sep sudah menjadi keahlian yang dimiliki oleh penduduk Suku Marind sejak mereka anak-anak. “Ini tradisi makanan kita setiap hari,” katanya.

 

Di kampung itu dulu penduduk tidak makan nasi. Mereka memakan sagu saja. “Kita makan campur kelapa. Siang kita bikin Sep semacam begini, tapi makanan sehari-hari tidak pakai daging,” ujar Margareta.

Di stannya tersebut, Margareta menyediakan dua varian Sagu Sep. Sagu Sep pertama berisi daging ayam, dan yang kedua berisi daging babi, yang masing-masing dijual dengan harga Rp 20.000 per bungkus.

Dia mengatakan pembuatan makanan tersebut dibuat dari sagu yang telah dibersihkan. Kemudian, sagu ini dicampur dengan daging kelapa muda dengan isian daging atau ikan sesuai dengan selera.

Dalam proses pembuatannya, Sagu Sep dimasak dengan cara diletakkan di atas bara batu atau bakar batu yang ditutupi dengan dedaunan dan kulit kayu bus. Uap panas yang tertutup dedaunan dan kulit kayu bus tersebut menyebabkan makanan menjadi masak.

 “Jadi dia dimasak oleh uap,” ujar wanita yang juga merupakan Ketua Organisasi Perempuan Marind. “Kalau batunya merah sekali, tidak lama buatnya. Tidak pakai minyak. Satu jam saja kita bisa buka. Nanti kalau kita buka, dia semacam dikukus tapi ada aroma khasnya.”

Mama Margareta, begitu biasa ia disapa, menambahkan bahwa dirinya juga memasukkan aneka bumbu seperti jahe, bawang bombay, dan bawang putih. Bumbu ini memiliki beragam khasiat seperti mengurangi kolesterol.

Margareta mengaku dirinya telah sukses menyekolahkan anaknya dari hasil berjualan Sagu Sep. Usaha telah dirintisnya sejak tahun 2007 dengan keuntungan per harinya berkisar Rp 200 ribu.

Sebagai penduduk asli Merauke, Margareta berharap kuliner Sagu Sep bisa terus bertahan di tengah kemajuan zaman. Untuk dapat mewujudkan itu, dia juga telah berupaya mengajak rekan-rekannya untuk mempromosikan Sagu Sep.

 “Sampai saya bilang ke teman-teman, bahwa dulu bikinya memang pakai acara adat,” tuturnya. “Sagu Sep tidak bisa dibikin sembarangan. Tapi dengan adanya era yang sudah maju ini, kita harus buat bahwa barang sagu ini berharga.”

Namun di lain pihak, dia juga menyimpan harapan untuk pemerintah daerah agar ikut melestarikan budaya asli Merauke itu. Caranya, dengan membuka banyak perkebunan sagu yang digunakan sebagai bahan pembuatan Sagu Sep.

“Kita buat begini, supaya mungkin pemerintah bisa buat perkebunan sagu. Dari dulu, itu harapan saya. Jangan padi saja. Kebun sagu itu harus. Pemerintah harus memasukkannya dalam proyek kebun sagu, karena sagu dia tidak akan punah,” kata Margareta.

Ajang promosi

Penyelenggaraan pameran UMKM Merauke dilangsungkan dalam rangka meriahkan perhelatan PON XX Papua. Itu diharapkan dapat mempromosikan lebih jauh produk kerajinan dari Bumi Animha kepada kontingen dari seluruh provinsi di Indonesia.

Plt. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Perindagkop) dan UMKM Kabupaten Merauke, Eric Rumlus, mengatakan total ada 121 pelaku UMKM Orang Asli Papua (OAP) yang dilibatkan dalam kegiatan itu. Promosi tersebut diselenggarakan pada tanggal 5 – 17 Oktober 2021.

Dia menambahkan, aneka produk yang dipamerkan di antaranya suvenir khas Papua, kuliner, hingga kerajinan tangan. Tujuannya, untuk memperkenalkan hasil karya UMKM ini ke para peserta PON.

Kebetulan Merauke menjadi kluster tuan rumah dari beberapa cabang olahraga. “Kita ingin memperkenalkan bahwa di Merauke paling ujung timur Indonesia juga ada loh, sekaligus juga mendukung kegiatan PON XX Papua,” ujar Eric Rumlus.

Mengutip laman Infopublik.id, Pemerintah Kabupaten Merauke juga memberikan bantuan kepada para pelaku UMKM sebesar Rp10.500.000 untuk 100 kelompok UMKM. Dana tersebut diberikan sebagai stimulus agar pelaku UMKM bisa mengembangkan produk-produknya.

Sudah sepatutnya kuliner tradisional dilestarikan agar kelezatannya tidak punah sehingga dapat dinikmati oleh generasi penerus. Kita pun juga dapat berkontribusi mendukung kuliner lokal dengan cara sederhana yaitu dengan terus menyantapnya. (Yogi Rachman/Antara)