Mulai tahun depan, terdapat 271 daerah akan mengalami kekosongan kepemimpinan karena masa jabatan kepala daerah setempat telah habis pada 2022 atau 2023, sementara pilkada baru akan digelar serentak pada 2024. Posisi kepala daerah yang kosong itu nantinya diisi oleh penjabat kepala daerah hingga terpilihnya kepala daerah tetap hasil Pilkada Serentak 2024.
Opsi penunjukan perwira tinggi TNI dan Polri sebagai penjabat (Pj) kepala daerah menjelang Pilkada Serentak 2024 pun mengemuka. Pihak Kementerian Dalam Negeri mengaku akan mengambil opsi ini bila Undang-undang memperbolehkan. “Bagaimana diatur, baik oleh undang-undang, peraturan pemerintah, itu yang kita lakukan terlebih dahulu,”kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan ketika dihubungi wartawan, Senin (11/10).
Sebelumnya, kata dia, pemerintah beberapa kali menunjuk perwira TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Misalnya, pemerintah pernah menunjuk Mayjen TNI Soedarmo sebagai Pj. Gubernur Aceh, Irjen Carlo Tewu sebagai Pj. Gubernur Sulawesi Barat, dan Muhammad Iriawan dari Polri yang mengisi suatu jabatan di Jawa Barat.
Penunjukan itu diambil sesuai aturan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Orang-orang itu adalah pejabat pimpinan tinggi madya di Kemendagri dan Kemenko Polhukam. Bila mengacu pada UU itu, kata dia, kemungkinan seperti itu menjadi pertimbangan, dan melihat kondisi daerah yang memang memerlukan seperti itu.
Pihaknya memilih penjabat kepala daerah sesuai aturan perundang-undangan. Kemendagri juga akan mempertimbangkan kebutuhan setiap wilayah dalam penunjukan penjabat kepala daerah. “Segala pertimbangan sudah diperhatikan, terutama aturan main dan kondisi wilayah,”ujarnya.
Mulai 2022, pemerintah pusat akan menunjuk penjabat kepala daerah untuk memimpin 271 daerah. Hal itu dilakukan karena tidak ada pilkada hingga penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Sebanyak 24 provinsi akan dipimpin oleh ASN pejabat pimpinan tinggi madya. Penjabat gubernur akan diusulkan Mendagri dan ditetapkan oleh Presiden. Sementara itu, ada 241 kabupaten/kota yang dipimpin ASN pejabat pimpinan tinggi pratama. Penjabat bupati/walikota diusulkan Gubernur dan ditetapkan Mendagri.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan berpendapat, penjabat kepala daerah tak boleh berasal dari TNI dan Polri. Itu, akan berdampak pada asumsi. Karena, kata dia, penjabat gubernur, bupati dan walikota harus berasal dari kalangan ASN. “Nanti orang bisa berpikir ini ada Dwifungsi ABRI lagi,”ujarnya.
Dalam diskusi bulanan Sekolah Demokrasi LP3ES bertajuk “TNI/Polri Menjadi Penjabat Kepala Daerah: Kemunduran Demokrasi dan Reformasi Birokrasi?” yang disiarkan melalui kanal Youtube LP3ES Jakarta, Senin (11/10), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan dampak buruknya bila TNI-Polri menjadi kepala daerah. Salah satunya, itu akan mengancam demokrasi karena mencampuradukkan ranah militer, penegakan hukum dan politik. Kedua akan berdampak buruk bagi profesionalisme aktor keamanan. Kemudian, itu juga akan menghambat agenda reformasi militer.
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Diandra Mengko mensimulasikan apabila ada 50 pati yang ditunjuk sebagai Pj kepala daerah, kemudian setiap pati tersebut punya personel di satuan yang harus dibina sebanyak 100 orang, maka ada sekira 5.000 prajurit yang kehilangan pembinaan dalam satu atau dua tahun masa jabatan pati yang menjadi Pj tersebut. “Sementara di kita, di sini kok ya masih sibuk berpolitik. Itu kan mestinya fokus pembangunan profesionalisme TNI yang harus diarahkan ke sana,”kata dia.
Selanjutnya, pelibatan tentara dan polisi tidak menjamin penyelenggaraan Pemilu yang semakin baik. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya TNI-Polri juga akan terpapar dengan politik. Apabila wacana tersebut terus dipaksakan, kata dia, tentu merefleksikan inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan aturan hukum itu sendiri atau bermain-main dengan hukum.
Kemudian, bila terus dipaksakan, dia justru melihat pemerintah sama sekali tidak menghargai prinsip profesionalisme aktor keamanan. Padahal, selama ini banyak kalangan militer, kepolisian dan sipil yang mati-matian mendorong profesionalisme militer dan kepolisian. “Ngapain kita beli senjata mahal-mahal kalau ujung-ujungnya ditarik ke politik? Jadi perlulah itu dijaga semua sama kita,” kata dia.
Selanjutnya, apabila pertimbangan pemerintah adalah tingkat kerawanan, justru menurutnya karena hal tersebut rawan maka pemerintah jangan menunjuk TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah. “Kenapa? Karena semakin kita menunjuk TNI, kita semakin membawa mereka ke ranah politik,” jelas dia.
Ketika TNI-Polri dibawa ke ranah politik, maka semakin sulit mereka dianggap netral di publik dan akan semakin sulit juga mereka melaksanakan tugasnya dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Karena itu, penunjukan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah akan menimbulkan permasalahan baru.
Sebagai negara hukum, kata dia, seyogyanya pemerintah mengikuti aturan yang berlaku. Sebagai negara demokrasi, kata dia, pemerintah mestinya memegang teguh prinsip profesionalisme aktor keamanan dan menjaga aktor keamanan untuk tidak terlibat dalam ruang-ruang politik.
Dengan demikian alangkah bijak bila pemerintah mempertimbangkan kalangan sipil saja, di luar aktor keamanan, untuk dipilih menduduki jabatan PJ kepala daerah. “Dengan begitu ya mungkin tidak menyelesaikan masalah, tetapi tidak menimbulkan masalah baru,” kata dia. [Wis]