Burung cendrawasih di hutan aslinya.
Burung cendrawasih di hutan aslinya/ist

Pagi-pagi buta pukul 05.00 WIT, Selasa 5 Oktober itu, kami berlima termasuk Alex Waisimon dan seorang pemandu, sudah masuk hutan. Alex mengelola hutan tepat di belakang pondok penginapan yang dikelolanya dalam satu komplek yang dinamai dengan Bird Watching Isyo Hills.

Alex adalah pelestari hutan adat di Papua yang kerap mendapatkan penghargaan, termasuk Kalpataru, karena kepeduliannya mengkonservasi hutan dan fauna Papua. Dia mengelola hutan adat di Rhepang Muaif, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, sekitar tiga jam ke arah barat kota Jayapura. Jika Anda datang ke tempat ini, Anda akan mengitari separuh Danau Sentani.

Tujuan kami berpagi buta masuk hutan adat kelolaan Alex adalah demi menyaksikan kemunculan burung khas Papua yang niscaya seluruh orang Indonesia mengenal namanya. Cenderawasih. Apalagi, ia menjadi salah satu hewan yang dijadikan maskot PON Papua 2021

Berbeda dari kebanyakan burung, cenderawasih amat memproteksi dirinya. Di habitat aslinya, detail burung nan indah ini terlalu sulit dilihat dengan mata telanjang. Selain selalu berada di ketinggian, burung ini amat peka terhadap suara dan gerakan, seolah tahu Anda hendak melihatnya. Mata dan telinganya tajam sekali, dari ketinggian puluhan meter sekalipun.

Sepanjang masuk hutan adat yang disulap oleh Alex Waisimon menjadi situs ekowisata itu, kami harus berbalas kata dengan berbisik, sambil mengendap-endap, persis seperti pemangsa yang tengah mengincar buruannya. “Jangan keras-keras,” kata Alex mengingatkan kami agar selalu pelan berbicara. “Jangan sentuh dahan,” sambung dia, sambil beberapa kali meminta kami berjongkok.

Kenapa tak boleh menyentuh dahan? Karena dahan bergoyang akan menggerakkan dedaunan dan ini membuat cenderawasih terusik serta mengetahui keberadaan manusia yang akibatnya bisa membuat mereka kabur dari tempat yang kita amati.

Selama hampir tiga jam kami mengendap-endap untuk bisa memergoki kehadiran cenderawasih. Anda perlu teropong untuk melihat dengan jelas burung ini, atau kamera berlensa tele yang wajib menempel pada alat jepret Anda agar detail si burung surgawi terlihat jelas.

Jangan pernah beranggapan bisa menyaksikan cenderawasih tanpa alat-alat bantu seperti itu. Apalagi, anggota keluarga besar unggas yang hanya ada di bumi Papua ini cuma muncul pagi dan sore.

Di luar kedua waktu itu, Anda hanya bisa mendengarkan suaranya keras mendominasi hutan, padahal tubuhnya bukanlah yang paling besar. Jangankan dibandingkan dengan elang, kakatua jambul kuning yang juga menghuni Isyo Hills ini masih terlalu besar untuk dibandingkan dengan cenderawasih. Tetapi suara cendrawasih sungguh menguasai hutan.

Misterius sekali

Anda juga tak akan pernah tahu di pohon mana cendrawasih berada, kecuali Anda sabar menantinya. Tak hanya kesabaran yang dibutuhkan, karena Anda juga memerlukan teropong atau kamera berlensa jarak jauh. Tak perlu super, walau semakin canggih semakin baik karena membuat pengalaman Anda dalam melihat dan mengabadikan cenderawasih semakin meyakinkan dan paripurna.

Jika Anda datang ke tempat ini untuk berselfie, lupakan saja niat itu, dan sebaiknya cari tempat lain yang lebih gampang untuk diambil sebagai objek atau latar belakang selfie Anda. Lagi pula, Alex tak pernah berharap didatangi orang-orang dengan tujuan berfoto ria belaka.

Dia cuma berharap didatangi orang-orang yang mencintai burung dan lingkungan, yang mempedulikan konservasi alam serta ingin tahu bagaimana cenderawasih hidup di alam aslinya, bukan di sangkar-sangkar yang kejam memenjarakan satwa teramat indah ini.

Tapi tak ada yang tahu di mana cenderawasih bersarang. Burung ini amat misterius, bahkan warga suku asli Papua mana pun tak mengetahui sarangnya. “Sampai sekarang kami tidak tahu seperti apa sarangnya dan di mana cenderawasih bersarang,” kata Daud Wouw.

Padahal pemuda berusia 20 tahun dan salah satu pemandu terpercaya Alex ini lahir dan besar di daerah di mana cenderawasih berada. Alex menyambung kalimat Daud, “Pernah ada yang mengaku melihat sarang cenderawasih. Saya tak percaya. Saya tanya dia, “mana buktinya? mana fotonya? Orang itu ternyata tak bisa membuktikannya.”

Menurut Alex, jangankan cenderawasih, merpati hutan yang juga ada di hutan ekowisatanya tak akan pernah bersarang lagi di tempat di mana manusia pernah memergoki sarangnya.

Alex bilang, “merpati hutan itu begitu tahu sarangnya sudah dilihat manusia, telur-telurnya mereka jatuhkan, sarangnya mereka tinggalkan, dan tak pernah lagi bersarang di tempat manusia melihatnya.”

“Apalagi cenderawasih,” sambung Alex, tentang sarang burung dengan jumlah spesies 43 itu. Meskipun bisa pula ditemukan di Papua Nugini hingga Australia, sekitar 30 dari total 43 spesies cenderawasih itu ada di Indonesia. Dan 28 dari 30 spesies itu berada di Papua.

Di Isyo Hills sendiri, yang berluas 200 hektar, ada empat jenis cenderawasih, dengan jumlah sekitar 50-an ekor. Sebagian merupakan cenderawasih hasil pelepasan ke alam liar setelah dipelihara atau disita dari praktik-praktik perdagangan satwa ilegal.

Keempat jenis cenderawasih di Isyo Hills itu adalah cenderawasih mati kawat, cenderawasih opada, cendrawasih raja dan cendrawasih paruh sabit. Masih ada beberapa jenis burung lainnya. Di antaranya yang bisa disebut adalah victoria crowned pigeon, yellow bird kingfisher, papuan babbler, lesser bird of paradise, nuri, kakatua putih, merpati hutan, mambruk, rangkung, maleo, kasuari, kanguru tanah, dan burung hantu.

Pohon besi

Isyo Hills juga mengelola flora khas Papua, termasuk ratusan jenis pohon, selain juga bunga-bungaan khas provinsi tertimur Indonesia itu. Namun cenderawasihlah yang senantiasa menjadi tujuan utama orang datang ke Isyo Hills yang kebanyakan dari luar negeri. Kami berhasil melihat cenderawasih dari dekat di habitat aslinya, sekalipun perlu waktu hampir tiga jam untuk bisa puas menyaksikannya, dari sekitar empat titik pengintaian.

Burung ini memang indah sekali, terutama manakala tengah bertengger atau terbang dari pohon ke pohon. Kepak sayapnya memamerkan warna-warni indah, terutama jantannya yang lebih indah lagi.

Cenderawasih memiliki ritual saling memanggil setiap pagi dan sore. Jantannya amat pemalu, kecuali tatkala bernyanyi dan menari memamerkan keelokan bulunya pada cabang mati di atas kanopi hutan. “Yang jantan yang memanggil, setelah itu si betina datang,“ kata Alex.

Tapi, sambung Alex, “si jantan tak akan percaya diri memanggil si betina jika bulunya sedang rontok“. Ini karena si jantan merasa tidak terlihat menarik di mata si betina. Mereka selalu muncul setiap pagi dan sore, di tempat atau di pohon itu-itu saja. “Biasanya mereka memakan buah pohon besi ini,” kata Daud.

Pohon besi adalah pohon yang umum digunakan untuk membangun rumah dan bangunan di seantero Papua. Seperti namanya, pohon ini sekuat besi sehingga menjadi bahan andal untuk membuat bangunan apa saja.

Tetapi pohon ini pula yang menjadi target utama penebangan liar, yang berusaha dilawan oleh Alex dengan mendorong masyarakat peduli kepada konservasi alam. Selain menjadi habitat utama cenderawasih, pohon kayu besi juga menjadi penanda utama keanekaragaman hayati Papua.

Cenderawasih juga berperan besar dalam melestarikan pohon ini karena burung inilah yang menebarkan biji-biji pohon besi ke tempat lain sehingga pohon ini tumbuh di mana-mana. Tak terbayangkan jika pohon ini ditebang demikian sporadis dan apalagi jika dilakukan secara liar karena illegal logging sudah pasti tak akan disertai upaya menanam kembali jenis pohon yang ditebang.

Seandainya keliaran seperti ini tak terhentikan, cenderawasih dan satwa-satwa lain bisa kehilangan habitat untuk kemudian perlahan punah, tinggal dongeng saja. Kepunahan burung-burung ini juga bisa merusak keseimbangan ekosistem, padahal Papua adalah salah satu paru-paru dunia yang penting bagi umat manusia termasuk di Indonesia.

Tak berhasil melihat jelas cenderawasih di habitat aslinya karena alat yang tak sempurna memang mengecewakan. Tetapi tak bisa melihat lagi cenderawasih gara-gara habitatnya dirusak egoisme, kerakusan dan ketidakpedulian manusia, adalah malapetaka besar. (AT/Jafa M Sidik/Antara)