Koran Sulindo – Modal asing semakin merasuk ke sektor perekonomian rakyat negeri ini. Digulirkannya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X yang memperbolehkan asing menguasai modal hingga 100% pada 35 bidang usaha dalam DNI (Daftar Negatif Investasi) dinilai sejumlah kalangan sebagai kebijakan tidak prorakyat dan akan membunuh sektor usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro-Semarang, Harnomo, mengingatkan kepada pemerintah untuk memikirkan kembali apabila asing masuk 100% untuk berinvestasi. Pasalnya, pasti ada yang dikorbankan dengan adanya kebijakan tersebut. Pada bidang usaha restoran, misalnya, semula asing hanya boleh investasi sebesar 51%. Tapi, dengan perubahan DNI, asing boleh 100% berinvestasi di usaha restoran. Padahal, restoran selama ini menjadi basis usaha UMKM di Tanah Air.

“UMKM di Indonesia belum siap bersaing dengan asing, sehingga paket kebijakan tersebut kurang memihak kepada pelaku UMKM,” kata Harnomo, “kecuali pemerintah komitmen membenahi pola pembinaan UMKM, supaya bisa bersaing.”

Pada paket kebijakan tersebut, pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang dikenal dengan istilah Daftar Negatif Investasi (DNI). Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah dalam revisi perpres tersebut mengeluarkan 35 sektor usaha dalam DNI. Dengan demikian, investor asing bisa masuk hingga 100% di sektor usaha tersebut. Sektor itu antara lain industri crumb rubber, cold storage, pariwisata (restoran, bar, kafe, usaha rekreasi, seni, dan hiburan: gelanggang olahraga), industri perfilman, penyelenggara transaksi perdagangan secara elektronik (market place) yang bernilai Rp 100 miliar ke atas, pembentukan lembaga pengujian perangkat telekomunikasi, pengusahaan jalan tol, pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya, serta industri bahan baku obat.

Alasan pemerintah membuka 100% keran investasi bagi asing, menurut Darmin, karena keterbatasan anggaran. Sebagai ilustrasi, untuk membangun proyek infrastruktur dibutuhkan dana Rp 5.000 triliun sampai Rp 6.000 triliun dalam lima tahun. Mengingat APBN 2016 hanya Rp2.095,7 triliun, jelas kurang dana. Jadi, perlu strategi yang tepat dan juga kecerdikan untuk mewujudkan Nawacita, kata Darmin.

Untuk itu ada beberapa pilihan yang bisa diambil, di antaranya menambah utang untuk dialirkan ke sektor-sektor produktif. Pilihan ini tidak populer, namun tetap bisa dilakukan dengan perhitungan yang matang dan penuh kehatihatian.

Risiko dari berutang adalah gagal bayar dan bahkan bangkrut. “Karena itu, sama halnya dengan meminjam ke bank, kita harus memastikan pinjaman tersebut harus digunakan untuk membiayai usaha yang produktif, dengan risiko seminimal mungkin,” ungkap Darmin.

Pilihan kedua mengundang investor dari dalam dan luar negeri. Namun, hal ini juga mengandung risiko: kepemilikan negara terhadap proyek-proyek yang dibuka untuk investasi tentu akan berkurang. Kelebihannya, negara tidak harus terbebani lagi dengan pembayaran cicilan dan bunga.

Pilihan kedua ini memiliki banyak variasi skema. Umumnya adalah dengan memberikan pembatasan persentase kepemilikan asing dalam proyek-proyek pemerintah. Untuk proyek yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan memiliki potensi memperkuat pelaku ekonomi nasional, porsi terbesar tak boleh diberikan kepada pihak asing.

Namun, ada juga sektor tertentu yang bisa dibuka hingga 100% kepada asing, yakni sektor yang selama ini tidak berkembang atau tidak pernah dimasuki oleh pelaku ekonomi dalam negeri. Contohnya sektor farmasi, mulai dibuka 100% untuk investasi asing. Pasalnya,  selama ini, dengan aturan 75% kepemilikan asing pada tahun 2010 dan naik menjadi 85% di tahun 2014, industri ini tetap saja kurang berkembang.

Persoalannya, seperti dikemukakan Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, 95% bahan baku obat untuk industri farmasi masih diimpor. Dengan membuka keran investasi hingga 100% diharapkan investor sekaligus akan mendirikan industri bahan baku di dalam negeri, sehingga tak perlu mengandalkan impor bahan baku.  Harga produksi obat akan turun dan harga beli obat oleh masyarakat juga bisa lebih murah. Analisis dampak semacam inilah yang mendasari setiap kebijakan pemerintah dalam mengelola investasi.

Lantas, bagaimana dengan sektor-sektor lain yang siap dikuasai asing? Di sektor ekonomi kreatif, pemerintah memberi keleluasaan kepada asing untuk memiliki 100% saham perusahaan perfilman. Artinya, modal asing bebas bergerak di industri film: mulai dari produksi, distribusi, hingga pemutaran film.

Paket kebijakan ini bisa saja menjadi berita duka bagi pemain lokal di industri perfilman Tanah Air. Masuknya modal asing ke industri film jelas akan merecoki pasar pemilik layar bioskop dalam negeri. Bayangkan saja apa jadinya kalau asing menyerbu industri film dengan mendirikan banyak bioskop. Tak mengherankan kalau kemudian sejumlah pemain di industri bioskop memprotes paket ekonomi jilid X.

Djonny Syafruddin, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), menyatakan pembukaan modal asing itu akan membuat industri perfilman dan bioskop nasional terkapar. “Dalam lima tahun ke depan, ketatnya persaingan bioskop akan membunuh perfilman nasional karena akan sulit bersaing,” kata Djonny.

Keluhan yang sama juga dirasakan para pengusaha angkutan darat, perhotelan, dan industri karet (crumb rubber) Indonesia. Industri karet yang selalu dibanggakan sebagai penghasil devisa terbesar kedua di luar sektor migas kini terancam tutup.

Pengusaha karet jelas menolak Kebijakan Ekonomi Jilid X. Mereka menganggap keputusan pemerintah yang membuka 100% industri crumb rubber kepada pihak asing merupakan momentum runtuhnya kedaulatan industri karet Indonesia.

Industri crumb rubber merupakan industri hulu yang telah ada sejak tahun 1970-an. Masuknya asing  dikhawatirkan akan menggusurnya.

Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara, Edy Irwansyah, mengungkapkan sebagian pengusaha karet lokal  telah mati suri lantaran bunga yang harus dibayar untuk mendapatkan modal kerja kepada bank nasional sebesar 13% dinilai masih memberatkan. Sementara itu, pengusaha asing mendapatkan modal kerja dari negara asalnya dengan bunga kredit 3%.

“Melihat kondisi ini pemerintah seharusnya dapat membantu industri ini untuk tetap sehat dan tumbuh, bukan malah menerbitkan kebijakan yang tidak berpihak,” kata Edi. Dia menambahkan, bila alasan pemerintah membuka 100% industri crumb rubber kepada asing adalah untuk menambah lapangan kerja, hal ini jelas sangat keliru. Sebab, sebagian industri crumb rubber saat ini sudah merumahkan karyawannya karena bahan baku produksi jauh berkurang.

Secara nasional bahan baku berkurang 40%. Untuk mempertahankan kedaulatan industri karet nasional, seharusnya pemerintah membuka 100% untuk industri hilir karet sehingga konsumsi domestik meningkat.

Sementara itu, penyelenggaraan transaksi perdagangan melalui elektronik (e-commerce) yang sekarang sedang happening, tak luput dari kebijakan pemerintah yang mengizinkan asing memiliki saham 100% di industri ini. Padahal, e-commerce menjadi salah satu channel bagi UMKM untuk memasarkan produknya. Dikhawatirkan, UMKM tidak lagi bisa memanfaatkan e-commerce sebagai channel pemasaran jika platform-nya dikuasai asing karena nantinya akan dipakai menjadi channel bagi asing untuk memasarkan produk-produk mancanegara yang menjadi afiliasinya. Denga begitu, konsumen akan dibanjiri produk asing, sementara produk lokal semakin tersisih.

Ekonom Universitas Indonesia, Thelisa Felianty, menyayangkan sikap pemerintah menggenjot pertumbuhan dana asing masuk melalui kebijakan yang liberal. “Justru mestinya pemerintah memikirkan dulu sektor-sektor mana yang sudah dan belum berdaya saing. Jangan sektor yang belum kuat berdaya saing dikuasai asing,” kata Thelisa.

Untuk itu, Thelisa menyarankan  perlunya aturan di BKPM yang lebih teknis sebagai langkah kontrol, seperti serapan tenaga kerja jangan berasal dari asing semua, harus mengutamakan tenaga kerja lokal. Juga harus diterapkan sejumlah kebijakan proteksi lainnya. “Jadi persyaratan teknis itu harus jelas. Intinya: mendukung perlindungan ekonomi nasional,” tuturnya.

Bagaimanapun, modal asing yang masuk selalu diibaratkan pisau bermata dua. Modal asing bisa  melahirkan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, dana segar dari asing bisa juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. “Kalau sudah begini, rakyat akan merasakan efek negatifnya. Sangat disayangkan sikap pemerintah seperti itu,” kata Thelisa. [ARS]