Pelanggaran HAM berat G30S
Demo mendesak penyelesaian kasus pelanggaran HAM.Sumber foto: Tempo

Mengenang peristiwa kelam masa lalu, kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), telah menjadi kegiatan rutin tahunan bagi bangsa Indonesia melalui Hari Kesaktian Pancasila. Sekaligus, tulis Jokowi dalam akun Instagram @jokowi, Jumat (1/10), hari itu mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan dalam menghadapi setiap tantangan

 Jokowi tak bercerita banyak soal peristiwa kelam yang dimaksud. Ia hanya menyertakan gambar Garuda Pancasila dengan latar Merah Putih di unggahan tersebut, seraya membubuhkan ucapan “Selamat Hari Kesaktian Pancasila” di bagian bawah gambar. Menurutnya, ideologi Pancasila berperan penting dalam menjaga bangsa Indonesia.

Kita tahu, Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap 1 Oktober sejak tahun 1966. Hari ini diperingati untuk mengenang peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Jenderal Soeharto menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) dibalik G30S.

Sejak itu, perburuan terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan PKI digencarkan. Ribuan orang menjadi korban pembunuhan dan pemencilan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan penyelidikan pelanggaran HAM 1965-1966 dan menyatakan ada pelanggaran HAM berat dalam pembasmian orang-orang terkait PKI pada tahun itu.

Penetapan status kasus itu berdasarkan penyelidikan yang digelar 1 Juni 2008 – 30 April 2012. Pada penyelidikan itu, Komnas HAM memeriksa 349 orang saksi/korban di sejumlah daerah. Komnas menemukan ada perlakuan seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, penghilangan secara paksa pada tahun tersebut.

“Peristiwa tersebut diputuskan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Unsur berskala luas (widespread) dan sistematis (systematic) ditemukan dalam peristiwa ini,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam pada 30 September 2020, dilansir situs resmi Komnas HAM.

Pihak Komnas HAM pun terus mendorong Presiden Jokowi mengecek kembali penyidikan terhadap berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965 yang telah diserahkan kepadanya sejak 2018. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara khawatir kasus itu sulit diungkap jika penyidikan tak kunjung dimulai. Pasalnya, korban dan saksi semakin tua dan ada yang telah meninggal dunia.

Presiden diharap segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya melakukan penyidikan atas 12 berkas penyelidikan yang telah diselesaikan Komnas. “Kenapa? Semakin lama penyidikan dilaksanakan, maka barang bukti semakin sulit diperoleh dan diklarifikasi,” kata Beka awal Oktober.

Dia mengusulkan Jokowi menempuh jalur rekonsiliasi jika upaya yudisial dinilai tidak realistis. Menurutnya, Jokowi bisa menjadikan pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai landasan.

Lebih lanjut dia menyarankan Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Aturan itu diperlukan karena penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965 mendesak.

“Ini tidak sekadar rekonsiliasi. Harus ada pengungkapan kebenaran terlebih dahulu, terus rekonsiliasi, juga kompensasi, kemudian rehabilitasi, pemulihan,” tutur Beka. Hingga hari ini, berbagai rencana penuntasan kasus HAM berat belum juga membuahkan hasil, baru sekedar wacana dan diskusi. [AT]