koransulindo.com – Hampir setiap agama memiliki varian. Termasuk agama Hindu, yang di Indonesia mempunyai versi Hindu Bali dan Hindu Tengger-selain tentu saja versi India sana. Hindu Bali dan Hindu Tengger memiliki sejumlah perbedaan. Tapi, keduanya juga memiliki kemiripan, bahkan dianggap berasal dari agama yang sama.
Robert W. Hefner dalam bukunya Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam menjelaskan, baik Hindu Bali maupun Tengger pada mulanya berasal dari agama yang berkembang di Kerajaan Majapahit. Kita tahu, Majapahit adalah sebuah kemaharajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri sekitar 1293 hingga 1527 M.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari 1350 hingga 1389. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Papua, dan lainnya.
Namun, akibat serangan dari Kerajaan Islam yang dipimpin Raden Patah terhadap wilayah pesisir, Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran pada abad ke-16. Untuk menyelamatkan diri, sebagian warga Majapahit mengungsi menuju pulau Bali. Sebagian lainnya mengisolasi diri tinggal di suatu kawasan pegunungan di Jawa Timur. Merekalah yang kelak dikenal sebagai suku Tengger
Maka, boleh dikata orang-orang suku Tengger maupun Bali merupakan keturunan para pengungsi Kerajaan Majapahit. Mereka yang mengungsi ke Bali tetap mempertahankan agama Hindu yang mereka anut. Sementara mereka yang bermukim di dataran tinggi Tengger serta dataran tinggi Dieng dan Lawu, mengalami sedikit problem dalam beragama.
Pergulatan mereka dalam soal agama bermula saat kekuasaan Islam baik Demak maupun Mataram mendominasi. Ini terutama banyak mempengaruhi mereka yang menggungsi dari wilayah pesisir ke wilayah Tengger. Sementara, mereka yang mengungsi ke Bali tidak terlalu terpengaruh.
Masuknya Islam ke Jawa yang diikuti dengan runtuhnya Majapahit, membuat warga terpisah dalam waktu lama dan mengembangkan kultur yang berbeda. Ketika Islam mulai menguasai Jawa, maka banyak raja, pengawal, seniman dan cerdik pandai Kerajaan Majapahit mengungsi ke Bali. Dalam pelarian itu, mereka membawa serta segala kultur dan kekayaan seni budaya Kerajaan Majapahit.
Bukti dari sejarah ini dapat dilihat dari nama-nama tempat di Bali. Banyak nama kota di Jawa Timur yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Majapahit, dipindahkan ke Bali. Misalnya, nama-nama kota seperti Tuban, Kediri, Lumajang, dan Panarukan, dapat kita jumpa di Bali. Selain itu, selama tinggal turun-temurun di Pulau Dewata, mereka tetap mampu mempertahankan agama Hindu yang mereka anut di Kerajaan Majapahit.
Sementara itu, warga Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh gelombang kedatangan Islam di daerah-daerah pesisir, menyingkir ke daerah pegunungan di Jawa Timur sambil tetap mempertahankan agama dan adat lama mereka. Pada umumnya, mereka terdiri dari kalangan petani biasa, rakyat kebanyakan yang tidak memiliki akses ke Istana.
Sebagai petani biasa, mereka tidak mewarisi seni dan budaya Majapahit yang canggih. Mereka tidak memiliki keterampilan membangun rumah-rumah tinggal dan rumah-rumah ibadah, sebagaimana yang kita temukan pada pura-pura atau rumah-rumah tinggal di Bali. Kita bisa saksikan hingga kini, rumah-rumah di Bali begitu indah, penuh hiasan ukiran yang rumit dan sarat makna
Demikian pula halnya dengan kesenian lainnya, seperti seni tari, seni pahat, dan seni patung, yang seolah menjadi identitas budaya Bali. Ini tidak kita temukan di masyarakat Tengger. Sebagaimana para petani umumnya, orang-orang Hindu Tengger hidup bersahaja. Rumah-rumah dan bangunan ibadah mereka sangat sederhana, tidak memerlukan keterampilan dan seni khusus untuk membangunnya.
Karena tidak memiliki atau tidak mengenal raja, masyarakat Hindu Tengger tidak mengembangkan sistem kasta sebagaimana diterapkan di Bali. Karena tidak mengenal sistem kasta pula, penganut Hindu di dataran tinggi Tengger juga tidak mengenal hirarki kependetaan.
Di Tengger, hanya dikenal satu pemimpin agama yang memimpin semua upacara. Dia dipanggil dengan sebutan dukun, yang memiliki kedudukan terhormat. Berbeda dari tempat-tempat lain, sebutan dukun di kalangan Hindu Tengger tidak memiliki konotasi negatif, karena memang tidak menyelenggarakan praktek-prakter perdukunan.
Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam umat Hindu Tengger. Mereka percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih, bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan. Dalam melaksanakan peribadatan, masyarakat Tengger melakukan ibadah di punden, danyang, dan poten. Poten adalah tempat pemujaan warga Hindu Tengger.
Sementara itu, orang Hindu Bali mengenal pendeta tinggi dari kasta Brahmana. Dia disebut pedanda atau resi jika dia tidak berasal dari kasta Brahmana. Tugasnya memimpin upacara-upacara penting seperti pernikahan, kelahiran dan kematian. Di kampung Bali terdapat pendeta disebut pemangku yang bertugas memimpin upacara di hari-hari besar keagamaan.
Upacara keagamaan di dalam masyarakat Hindu Tengger juga jauh lebih sederhana. Sementara, masyarakat Hindu Bali mempraktekkan begitu banyak upacara keagamaan yang berulang berdasarkan perhitungan kalender Bali. Misalnya, pada bulan Mei saja terdapat begitu banyak upacara di Bali, mulai dari Galungan, Kuningan, Purnama, dan Tilem, selain berbagai macam upacara Piodalan.
Hindu Tengger, yang juga disebut Hindu Mahayana, mempercayai Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi, dan moksa. Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk halus penunggu desa) yang dipuja di sebuah punden. Punden biasanya terletak di bawah pohon besar atau di bawah batu besar. Roh leluhur pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di sanggar pemujaan. Setahun sekali masyarakat Suku Tengger mengadakan upacara pemujaan roh leluhur di kawah Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada.
Para penganut Hindu di daerah pegunungan di Jawa ini juga tidak mengenal sistem pemberian nama khusus sebagaimana terjadi di Bali. Mereka memakai nama biasa sebagaimana nama-nama suku Jawa penganut agama Islam atau Kristen. Sementara masyarakat Hindu Bali, mereka memiliki nama-nama yang sangat khas. Ada Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Kadek, Ni Luh, dan lain-lain.
Masyarakat Hindu Bali memang memiliki sistem penamaan yang khas. Nama-nama mereka disusun dari unsur jenis kelamin, urutan kelahiran, dan sistem kasta. Meskipun kasta tak lagi berfungsi sebagai pembagian tugas dalam masyarakat, tapi masih digunakan dalam silsilah keluarga seperti pada penamaan orang. Kasta mereka terdiri atas empat golongan yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. [AT]
Baca juga: