[Foto: Panoramio.com]
[Foto: Panoramio.com]

koransulindo.com – Di pelabuhan Tanjung Priok pada 29 September 1945, merapatlah kapal penjelajah Cumberland yang asal Inggris. Kapal tersebut mengangkut pasukan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), pasukan Sekutu yang hendak ditempatkan di wilayah Indonesia bagian barat, tepatnya di Sumatra dan Jawa—bagian timur ‘dipegang’ Australia. Pasukan AFNEI tersebut dipimpin oleh Sir Philip Christison, militer berkebangsaan Inggris yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal.

Tugas khusus AFNEI di Indonesia adalah menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan para tawanan perang dan interniran, melucuti dan memulangkan orang dan pasukan Jepang, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil, dan menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.

Penugasan AFNEI di Indonesia bermula dari persetujuan Postdam, yang setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, mengharuskan Sekutu bertanggung jawab atas wilayah di Indonesia, karena termasuk dalam naungan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara (South East Asia Command, SEAC). SEAC yang bermarkas di Australia lalu menugaskan komando suatu khusus yaitu AFNEI tersebut.

[Foto: Imperial War Museums]
[Foto: Imperial War Museums]
Semula, kedatangan AFNEI disambut rakyat Indonesia dengan sikap netral, karena menganggap Sekutu datang membawa perdamaian. Tetapi kemudian, diketahui ternyata Sekutu diam-diam membawa orang-orang Netherland Indies Civil Administration (NICA), badan baru kolonial Belanda, yang hendak mempersenjatai kembali Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger, KNIL). Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung terus meprovokasi dan meneror sehingga memancing kerusuhan bahkan sampai terjadi insiden.

Sadar tugasnya takkan berhasil tanpa bantuan pemerintah Indonesia, panglima ANFEI Sir Philip Christison mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia pada 25 Oktober 1945. Hasilnya, AFNEI sebagai pimpinan militer sementara di Indonesia mengakui Republik Indonesia secara de facto. Christison berjanji tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketatanegaraan Indonesia.

Akan tetapi, di kota-kota yang didatangi pasukan Sekutu selalu terjadi insiden atau pertempuran. Mereka membebaskan tentara Belanda yang semula ditahan Jepang, dan lalu malah mempersenjatainya. Mereka juga berupaya melucuti dan membubarkan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Jelas sekali bahwa Sekutu bukan hanya tak menghormati kedaulatan RI. Mereka juga tak menghargai pemimpin-pemimpin Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Tujuan Sekutu tak lain adalah, mengembalikan Indonesia ke bawah administrasi Belanda. [NiM]

Baca juga: