Foto ilustrasi [Image by Markus Schwedt from Pixabay]
Foto ilustrasi [Image by Markus Schwedt from Pixabay]

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara – Anggota DPR RI Fraksi PPP

 

Kebijakan pemerintah soal postur APBN di atas, memang menuai nyinyiran. Tapi, banyak pula yang memuji kebijakan APBN defisit itu. Babo Erizeli Jelly Bandaro, pegiat sosmed yang rajin menulis masalah-masalah ekonomi dan politik dengan follower jutaan orang, misalnya, menyatakan, strategi Sri Mulyani dalam membuat postur APBN era pandemi sangat jenius. Kenapa?

Karena, kita tidak tahu kapan pastinya pandemi berakhir. Sri Mulyani tahu bahwa di saat pandemi, suku bunga pinjaman pasti akan naik, karena tingkat resiko tinggi. Likuiditas juga rendah.

Bayangkan kalau tapering off the Fed (pengurangan pembelian surat utang negara oleh bank sentral Amerika) benar-benar terjadi Oktober 2021. Pengaruhnya jelas akan merepotkan Indonesia yang ketergantungannya pada devisa dolar amat tinggi.

Jika itu terjadi, Indonesia akan sulit mendapatkan utang besar dengan bunga rendah untuk mengatasi defisit di masa pandemi. Makanya sejak 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani berusaha memperoleh pinjaman besar, yang nilainya di atas defisit; untuk berjaga-jaga.

Sekarang, coba nilai sendiri—salahkah Sri Mulyani? Jelas big no. Karena, dasar hukumnya jelas, yaitu PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus.

Kita lihat, total pinjaman pada 2020, sebesar Rp1.225,9 triliun, padahal defisitnya Rp947,70 triliun. Jadi, ada kelebihan dana sebagai sikap jaga-jaga. Itulah hebatnya Bu Sri. Begitu pula utang di 2021.

Sementara itu, pembiayaan valas lebih diarahkan kepada sumber dana multilateral, seperti World Bank. Maklum, vaksin dan alat kesehatan masih impor. Jauh lebih baik hutang pada Bank Dunia yang berbunga murah dan lunak daripada menguras cadangan devisa. Penggunannya sesuai amanah Perpu; yaitu program vaksinasi gratis kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hasil strategi pemerintah terlihat. Di paruh kedua September 2021 yang berlanjut sampai sekarang, misalnya, terjadi penurunan tingkat pandemi di Indonesia yang signifikan—dibandingkan pada Juli dan Agustus ketika gelombang kedua pandemi Covid-19 mengguncang Indonesia.

Menariknya, di tengah kondisi ekonomi didera pandemi, Indonesia masih mendapat pujian internasional dalam hal investasi. Standard and Poor’s (S&P), 2020, menyatakan Sovereign Credit Rating Indonesia masih berada pada tingkat investment grade (BBB). Sedangkan, lembaga pemeringkat global asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc. (R&I), April 2021, menyebut Indonesia tetap berada pada peringkat Sovereign Credit Rating BBB+/outlook stabil (Investment Grade). Itu artinya Indonesia masih bermagnet besar menarik sumber daya keuangan. Itulah yang menjadi penyebab, kenapa Indonesia cukup berhasil menangani pandemi. Di gelombang kedua pandemi, misalnya, Indonesia tidak terkena “tsunami Covid-19” seperti India. Ini karena rejim Jokowi cukup berhasil mengatasi gelombang kedua tadi. Itu terjadi berkat kebijakan keuangan yang cerdas di atas.

Jelas, Indonesia masih kredibel sebagai tempat investasi global yang akan berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi. Rasio utang terhadap PDB, misalnya, masih di kisaran 40 persen. Bandingkan dengan rasio utang terhadap PDB Singapura yang saat ini mencapai 150%, Malaysia 62%, Filipina 54%, AS 78%, dan Jepang 256%.

Tokh mereka aman. Tak diganggu nyinyiran oplosan kaum oposan yang bikin gaduh seperti Indonesia. Rakyat dan para cendekiawannya bisa memahami langkah pemerintah mereka.

Apa kesimpulannya? Utang Indonesia di tengah pandemi yang membengkak dan defisit, masih berada dalam batas aman. Tak perlu risau. Bahkan kita bersyukur, pemerintah—karena strategi utang tersebut—berhasil mengatasi pandemi dan dampak sosial ekonominya. Ini terlihat dari berkurangnya jumlah kasus positif, kasus kematian, dan keterisian kamar rawat di rumah-rumah sakit pada paruh kedua September 2021.***

(Selesai. Bagian pertama dapat dilihat di sini)

Baca juga: