Di kalangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Sartono pernah memicu kontroversi. Ia termasuk salah seorang pendiri PNI di tahun 1927, bersama dengan Soekarno dan beberapa tokoh lain. Tapi, Sartono pula yang kemudian memprakarsai pembubaran PNI, lewat Kongres Luar Biasa yang digelar 25 April 1931. Pembubaran itu menyusul vonis yang dijatuhkan kepada Bung Karno dan kawan-kawan di Landraad Bandung.
Sartono berpendapat bahwa dengan ketetapan hukum terhadap keempat pimpinan partai, maka PNI bisa dianggap sebagai partai illegal. Untuk melanjutkan pergerakan sebaiknya dibentuk partai baru. Dan memang hanya beberapa hari kemudian, 29 April 1931, Sartono memprakarsai pendirian Partai Indonesia (Partindo).
Sementara itu, beberapa tokoh PNI yang tidak setuju dengan pembubaran partai kemudian membentuk Golongan Merdeka. Belakangan, Golongan Merdeka bersama Sutan Sjahrir mendirikan PNI-Baru. Mohammad Hatta, setelah pulang ke tanah air, bergabung dengan PNI-Baru.
Saat bebas dari penjara, Desember 1931, Bung Karno memutuskan bergabung dengan Partindo, yang lebih sejalan dengan gagasan-gagasan pergerakannya, terutama dalam hal aksi-massa. Bergabungnya Bung Karno segera menghidupkan Partindo. Pada Juli 1933, Partindo menyatakan telah mempunyai 20.000 anggota.
Sartono sendiri bukanlah tokoh baru dalam pergerakan nasional. Saat masih menjadi mahasiswa ilmu hukum di Belanda, ia ikut andil dalam Manifesto 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia. Manifesto tentang persatuan Indonesia dalam keberagaman itu menjadi dasar penyelenggaraan Kongres Pemuda Pertama 1926.
Dan beberapa tahun kemudian, Sartono juga terlibat dalam Kongres Pemuda Kedua 1928, yang menelurkan Sumpah Pemuda. Ketika Bung Karno diajukan ke landraad Bandung, tahun 1930, Sartono merupakan salah seorang advokat yang membela utamanya.Hubungan Sartono dengan Bung Karno memang selalu dekat. Hubungan politik mereka berdua pun sering sekali bersinggungan.
Bisa dikatakan, Sartono lah orang yang menciptakan dwi-tunggal historis Soekarno-Hatta. Ia yang mempertemukan Bung Hatta, yang baru tiba dari pembuangan di Banda Neira, dengan Soekarno yang berada di Bengkulu. Sartono pula memperkenalkan ide-ide Hatta tentang Manifesto 1925 kepada Bung Karno.
Sebaliknya, sebelumnya Hatta mengenal Bung Karno hanya melalui tulisan-tulisan di surat kabar.
Sartono memahami pandangan dan gagasan Soekarno dan Hatta sejalan, dan menganggap kedua tokoh pergerakan itu cocok dipertautkan.
Nama lengkapnya adalah Raden Mas Sartono. Priyayi kelahiran Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900, itu lulus sebagai Meester in de Rechten dari Universitas Leiden Belanda pada 1926. Sebagai keturunan bangsawan, Sartono berkesempatan mengecap pendidikan terbaik di zamannya bagi kalangan pribumi. Ia tamat HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Hukum Tinggi (Rechtschool) di Jakarta.
Sejak kuliah di negeri Belanda hingga beberapa tahun sebelum kematiannya darah Sartono adalah aktivis. Kali pertama ia aktif dalam Perhimpunan Indonesia, sebagai sekretaris organisasi mahasiswa pergerakan di negeri Belanda itu. Sekembali ke Indonesia, Sartono langsung menceburkan diri dalam kancah pergerakan nasional.
Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri PNI di tahun 1927, dan ditunjuk sebagai Wakil Ketua Pengurus Harian PNI. Sartono juga aktif pada Persatuan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dengan menjadi Sekretaris Majelis Pertimbangan (1928-1930).
Sartono juga berkegiatan pada Gerakan Koperasi Karet di Leuwilliang, Jawa Barat (1934-1940), sebuah gerakan yang berhasil mendirikan 18 Koperasi Karet dan 12 Pabrik Karet. Sewaktu Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) berdiri pada tahun 1937-1942, Sartono menjadi Ketua Muda Pengurus Besar. Pada tahun 1941, Mr. Sartono menjadi ketua pengurus harian Majelis Rakyat Indonesia.
Menjelang proklamasi kemerdekaan RI, ia tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Setelah Indonesia merdeka, Mr. Sartono kemudian menjadi menteri negara pada kabinet pertama Republik Indonesia (1945). Ia juga terlibat dalam proses diplomasi selama perang
kemerdekaan berkecamuk. Ia, misalnya, pernah menjadi Penasehat Umum dalam Delegasi RI pada Perundingan Roem-Royen.
Lalu ia menjadi penasihat umum delegasi Republik Indonesia ke Konferensi Meja Bundar. Dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Mr. Sartono menjadi Ketua Anquet Komisi tentang Pemogokan Delanggu. Pada Desember 1948, Mr. Sartono menjabat Ketua Misi Jasa-jasa baik RI ke Negara Indonesia Timur.