koransulindo.com – Telah sama-sama kita ketahui bahwa fungsi perhiasan selain untuk pelengkap fashion juga berfungsi sebagai penunjuk status sosial dan identitas. Tidak hanya itu, perhiasan pun merupakan bagian dari kebudayaan, dan juga untuk mengekspresikan media estetika seorang seniman.
Pada masa epi-paleolitik di mana masyarakat purba bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan tingkat lanjut, mereka juga sudah memakai perhiasan. Perhiasannya terbuat dari bahan-bahan sederhana yang bisa ditemukan di alam bebas. Seperti dari daun, bunga, buah, kayu, kulit dan tulang belulang binatang. Sedangkan pada periode selanjutnya yaitu Masa Bercocok Tanam, perhiasan masih berlanjut, namun dibuat dari kerang dan bebatuan.
Relief Lalitavistara
Di candi Borobudur pada panel relief Lalitavistara yang berada pada lantai kedua, di panel bagian atas sebelah dalam, di mana diilustrasikan kisah lengkap Lalitavistara, luar biasanya adalah ditemukan bentuk-bentuk perhiasan pada panel relief tersebut.
Relief Lalitavistara adalah relief yang menggambarkan riwayat hidup Sang Budha Gautama dan ajarannya, sejak turunnya Sang Buddha dari surga Tusita sampai ia memberikan khotbah pertamanya di Taman Rusa dekat Benares.
Tokoh utamanya adalah Ratu Maya atau Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Digambarkan mengenakan upawita (sejenis perhiasan berupa jalinan rantai melingkar yang dikenakan melintang pada batang tubuh) berupa untaian mutiara, anting-anting panjang, kalung lebar dengan hiasan permata, kedua lengan memakai kelat bahu dengan hiasan simbar di bagian tengahnya. Gelang dikenakan pada tangan dan kaki berupa gelang untaian mutiara. Mengenakan kain dari bagian pinggang sampai sebatas mata kaki. Pada pinggang atau pinggul mengenakan ikat pinggang dengan hiasan bunga.
Hiasan yang dikenakan ratu akan berbeda dengan yang dikenakan rakyat kebanyakan atau pendeta. Raja dan Kerabat istana digambarkan dengan mengenakan hiasan badan yang lengkap berupa mahkota dan rambut ditata berupa pilinan yang disusun tinggi dan dihias batu permata.
Hiasan badan yang dikenakan prajurit, dayang atau anggota kerajaan lain tidak selengkap hiasan yang dikenakan para kerabat kerajaan atau raja. Hiasan yang digunakan biasanya rambut disisir halus dengan sanggul yang ditutup mahkota kecil atau mengenakan sanggul yang dihias bunga. Kadang-kadang hiasan rambut berupa pintalan rambut yang tidak terlalu tinggi dengan hiasan permata. Gelang yang dikenakan pada pergelangan tangan dan kaki berhias mutiara. Kelat bahu dengan hiasan simbar, pinggang mengenakan upawita dari tali polos. Kain yang dikenakan dari pinggang sampai mata kaki dan hiasan pinggang atau pinggul dari tali atau selendang dikenakan sebagai penguat dan hiasan. Orang kaya biasanya digambarkan dengan adanya kotak, koper,dan guci-guci perhiasan.
Orang kebanyakan atau rakyat jelata, petani, pengemis, nelayan mengenakan busana dan hiasan sederhana. Penggambaran tokoh laki-laki dengan rambut disisir ke belakang kadang-kadang diberi hiasan bunga, atau rambut dibiarkan terurai. Kaum wanita digambarkan dengan rambut tersusun dalam sanggul kecil tanpa hiasan.
Pada telinga mengenakan anting-anting atau subang sederhana, kadang-kadang mengenakan gelang polos. Kaum laki-laki mengenakan kain yang diangkat pendek sehingga membentuk celana pendek atau cawat, sedangkan kaum wanita mengenakan kain sebatas lutut. Golongan agamawan ada tiga, yaitu bhiksu, Brahmana dan pertapa. Bhiksu digambarkan dengan kepala gundul, umumnya mengenakan jubah yang terbuka pada bagian pundak sebelah kanan, dan tanpa mengenakan asesoris. Kaum Brahmana digambarkan dengan mengenakan tutup kepala atau sorban, hiasan telinga, gelang tangan, klat bahu, memakai kumis dan jenggot. Pertapa digambarkan digelung atau dikuncil, memakai gelang kaki, mengenakan anting, dan upawita. Kadang-kadang digambarkan berkumis dan berjenggot, serta membawa tasbih.
Perhiasan Sebagai Stratifikasi Masyarakat
Keberadaan perhiasan sebagai penunjuk stratifikasi masyarakat Jawa Kuna dapat ditelusuri melalui pasĕk-pasĕk (adalah pisungsung/hadiah dapat berupa uang, barang, atau binatang) yang diberikan sebagai hadiah. Dalam upacara penetapan sima, para pejabat desa yang menghadiri upacara penetapan sima mendapatkan pasĕk-pasĕk, baik berupa pakaian, perhiasan, ataupun uang. Jumlah pasĕk yang diterima berbeda-beda antara pejabat satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut dilatari oleh status sosial para pejabat yang menerimanya.
Sungguh menarik, dengan data dan penelitian arkeologis kita bisa mendapatkan petunjuk bukan hanya macam-macam perhiasan namun bahkan mendapatkan infomasi stratifikasi masyarakat kuna pada zamannya. [NoE]
Baca juga: