Banten yang dahulu dikenal dengan nama Bantam, pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai. Masyarakatnya terbuka kepada para pendatang dan kotanya terkenal makmur. Bantam pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara, berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansakerta. Isinya mengagungkan keberanian Raja Purnawarman.
Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Tomé Pires, penjelajah Portugis pada 1513, mencatat bahwa Bantam menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Pada 1527, Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati) mendirikan Kesultanan Banten dengan menguasai Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun. Pada 1579, Maulana Yusuf sebagai penerusnya, menghancurkan Pakuan Pajajaran ibu kota Kerajaan Sunda. Dengan demikian, pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten yang juga mewarisi wilayah Lampung dari Kerajaan Sunda.
Bantam pun menjadi pelabuhan besar di Asia Tenggara saat menjadi pusat Kesultanan Banten, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Bantam terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa dengan tepi laut kotanya sepanjang 400 depa. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk.
Di sepanjang pinggiran kota terdapat anak sungai yang tidak seberapa lebar, hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata juga berdiri di pinggiran kota. Bangunan-bangunan pertahanan di kota itu dahulu terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat dan dipersenjatai dengan baik.
Di tengah kota Bantam terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat, dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat Srimanganti, bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah masjid agung.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Bantam merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Ini karena ia menjadi kota pusat kekuasaan dan ekonomi. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan yang dipraktikkan di kota ini sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup sampai ke wilayah Lampung.
Sebagai kota pelabuhan dan niaga, Bantam cukup percaya diri dengan beras dan lada yang dijualnya. Pasar mereka tercatat sampai ke wilayah Sumatera dan kepulauan Maladewa. Tidak sedikit para pedagang yang datang ke Bantam untuk mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditi seperti rempah-rempah. Mereka adalah para pedagang asing dari Arab, Abesinia, Belanda, Tiongkok, Denmark, Gujarat, lnggris, Prancis, Persia, Turki, maupun para pedagang Nusantara mulai dari bangsa Bugis dan Makassar, Jawa, Melayu dan Sumatera, hingga Bali.
Pada 1631-1634, Dagh-Register menyebutkan banyak kapal-kapal yang akan berlabuh di Banten membawa persediaan air minum dari pelabuhan lain terutama dari Batavia. Selain itu, bahan makanan berupa buah-buahan dan sayur-mayur melimpah ruah. Arak yang diperjualbelikan oleh pedagang Cina merupakan daya tarik bagi kapal-kapal bangsa Barat (Inggris, Portugis, Belanda) yang akan berniaga ke wilayah Maluku, gudang rempah yang banyak dikunjungi para saudagar.
Pada era ketika Portugis menguasai Malaka, Banten pun menjadi titik yang diperebutkan oleh bangsa asing untuk dikuasai karena menjadi titik yang strategis dan perannya sebagai Entrepôt, pintu masuk dalam ekspedisi ke kepulauan rempah di timur Nusantara.
Francis Drake, seorang pelaut asal Inggris yang terkenal, berhasil membuat pemukiman bangsa Inggris dan Portugis di Banten dan memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal ini membuat Belanda mengikuti jejak Drake dengan turut menginjakan kakinya di Banten.
Cornelis de Houtman sampai di Banten pada 1595. Berbeda dengan Drake dari Inggris yang mendapatkan pengaruh dan sambutan yang baik, de Houtman yang dikenal temperamental dan kurang sopan justru malah menghasilkan yang sebaliknya dan membuat ketegangan politik. Hal ini juga yang menjadi penyebab peperangan VOC dengan Portugis di Banten pada 1601, hingga pada akhirnya VOC yang melakukan pengepungan di Banten pada 1682.
Peristiwa yang menghebohkan masyarakat Inggris sempat terjadi dengan datangnya dua utusan Kesultanan Banten ke Kerajaan Inggris. Kedatangan mereka yang bertujuan meminta bala bantuan Inggris ini gagal tercapai. Meski begitu, kedatangan utusan ini membuat keduanya diabadikan dalam bentuk lukisan sebagai manusia dari negeri rempah, yang hanya terdengar dari kisah-kisah para pelaut dan pedagang di Inggris.
Salah satu jejak peninggalan yang masih ada hingga kini dan menjadi bukti interaksi budaya di Banten adalah sebuah meriam besar yang bernama “Ki Amuk”. Meriam ini dibeli oleh Kerajaan Banten dari pedagang Eropa untuk mempertahankan kerajaan mereka dari musuh (terutama Belanda). Meriam “Ki Amuk” ini memiliki keunikan, yang meski dibeli dari bangsa Eropa, di tubuh meriam itu tertulis bahasa Arab yang merupakan identitas Banten pada masa itu. Meriam ini masih bisa kita temui di Museum Kepurbakalaan Situs Banten Lama. [Ahmad Gabriel]