Ruhana Kuddus

Suluh Indonesia – Pahlawan Nasional Ruhana Kuddus tercatat sebagai tokoh pers perempuan pertama Indonesia. Ia berjasa dalam usaha kemajuan perempuan Indonesia, khususnya di Sumatera Barat.

Bayangkan masa-masa awal tahun 1990-an. Buta aksara masih terjadi di mana-mana. Tak banyak orang bisa membaca, apalagi sanggup menuliskan pikirannya di atas kertas.

Di antara orang yang sedikit itu, tampillah Ruhana Kuddus. Dia tercatat sebagai tokoh pers perempuan pertama Indonesia. Ia dianggap berpengaruh dalam usaha kemajuan perempuan Indonesia, khususnya di Sumatera Barat.

Tak mudah jalan perjuangan yang ditempuh Ruhana. Dia harus berjuang melawan pakem zamannya kala itu, yakni dominasi laki-laki dalam dunia profesi jurnalistik dan pendidikan modern.

Namun, dia sangat dibantu bakatnya yang suka merajut kata-kata. Dan bakatnya ini jauh sekali dari kiprah sang ayah, Mohamad Rasjad, yang merupakan seorang jaksa.

Ruhana diuntungkan oleh kondisi Hindia Belanda saat itu, yang telah cukup kokoh berdiri sebagai sebuah kesatuan unit politik dan memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan lintas budaya.

Tren penerbitan koran yang ditujukan untuk orang-orang pribumi sebagaimana yang ramai terjadi di Jawa juga mulai merambah Sumatera. Momen ini dimanfaatkan betul oleh Ruhana.

Penerbitan koran ketika itu seolah membangkitkan satu generasi muda agar tercerahkan, yang kemudian menjadi bibit-bibit pergerakan Indonesia. Dan Ruhana termasuk salah satunya.

Dia memanfaatkan momentum untuk terjun sepenuhnya ke dalam dunia jurnalistik, meski diakui ini sangat bertolak-belakang dengan kenyataan masih amat jarang kalangan perempuan terpelajar.

Sebagai seorang perempuan Minangkabau, Ruhana tampaknya terekspos budaya rantau. Meskipun ia tidak bepergian jauh, namun pikirannya sudah melanglang buana.

Tokoh perempuan yang satu ini, ketika itu, amat tertarik menyerap dan mengekspresikan gagasan dari dan kepada orang lain, khususnya dalam upayanya memajukan kaum perempuan.

Semangatnya memajukan perempuan di tanah jajahan kadang disejajarkan dengan Kartini, tokoh emansipasi perempuan Jawa yang surat-suratnya dipublikasikan di Belanda.

Namun Ruhana berbeda. Ia tak hanya menulis surat. Ia menerbitkan koran, Soenting Melajoe, sebagai corong yang lebih independen dan partisipatif terhadap opini-opini perempuan pribumi lain.

Ini sungguh berbeda dari Kartini yang lebih banyak hanya berinteraksi dengan kawan-kawan Eropanya. Jangkauan pemikiran Ruhana langsung menyentuh kaum perempuan yang dibelanya.

Persentuhan pertama Ruhana dengan dunia jurnalistik agaknya terjadi kala ia menjadi kontributor untuk Poetri Hindia, koran perempuan yang diterbitkan Tirto Adhi Soerjo di Batavia.

Ketika koran Poetri Hindia diberedel pemerintah kolonial, Ruhana memutuskan untuk menjalankan penerbitannya sendiri. Untuk itu, ia menemui Datuk Sutan Maharaja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, yang juga tokoh perintis pers Melayu.

Bersama anak Sutan Maharaja, Zubaidah Ratna Juita, Ruhana dipercaya untuk mengelola Soenting Melajoe sebagai terbitan yang lahir, dikelola, dan dipersembahkan untuk pembaca perempuan.