Ilustrasi Prasasti Lempeng Logam (foto: epigraficorner.blogspot.com)

Suluh Indonesia – Masyarakat Bali lebih dikenal sebagai masyarakat petani yang hidup di kerajaan agraris. Bali dikenal pula dengan areal sawahnya yang luas dan sistem Subak-nya. Namun ada yang menarik. Ternyata sudah sejak abad ke-10 Masehi, masyarakat di Bali mempunyai aturan yang berkaitan dengan transportasi di laut. Hal tersebut tersurat dalam prasasti yang ditemukan di Desa Sembiran serta dikenalnya Hukum Adat Tawan Karang.

Prasasti Sembiran

Prasasti Sembiran adalah kumpulan sepuluh prasasti lempeng tembaga, yang ditemukan di desa Sembiran, Tejakula, Buleleng, di pulau Bali bagian utara. Semua lempeng prasasti memiliki penanggalan, yaitu antara 922 hingga 1181 Masehi, sehingga meliputi kurun waktu lebih dari 200 tahun. Sebagian prasasti ditulis dalam Bahasa Bali Kuno, sedangkan sebagian dari masa yang lebih muda ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno.

Prasasti Sembiran merupakan informasi terawal mengenai keadaan daerah Julah dan sekitarnya. Teks yang tertulis menyebutkan bahwa prasasti tersebut ditujukan bagi “keramanJulah” atau sesepuh desa Julah.

Pada tahun Śaka 844 atau 24 Januari 923 Masehi, Sang Ratu Sri Ugrasena bersama-sama para pejabat tinggi kerajaan mengadakan sidang dengan para Penghulu Desa Julah bertempat di pendapa Istana Singhamandewa. Dalam perundingan itu diutarakan bahwa penduduk Desa Julah sangat gaduh, gelisah resah, dan ketakutan, karena adanya kawanan perampok yang sering menangkap dan menculik penduduk desa. Karena keadaan itulah banyak penduduk Desa Julah lari mengungsi ketempat-tempat yang lebih aman.

Kemudian dibuat kesepakatan, dan sebagai titah raja bahwa; Semua penduduk Desa Julah yang masih ada di tempat-tempat pengungsian harus segera kembali ke Desa Julah dan tinggal di tempat semula. Bahkan Sang Ratu Ugrasena membuat peraturan-peraturan upacara untuk orang-orang yang mati dirampok, mati terbunuh, disamping peraturan-peraturan untuk upacara kematian biasa. Dengan adanya kejadian itu pajak-pajak penghasilan masyarakat Desa Julah yang biasanya dipungut oleh raja kini semuanya dihapus, walaupun iuran-iuran untuk biaya upacara di dalam pura masih tetap berlaku.

Selanjutnya diputuskan juga bahwa penduduk Desa Julah dilarang menangkap atau menculik budak-budak milik orang lain. Dan jika ada sebuah perahu atau sampan yang terdampar di laut, maka isi perahu itu harus menjadi hak milik pura atau dimanfaatkan untuk keperluan desa. Batas-batas desanya pun telah ditetapkan di dalam undang-undang Raja Ugrasena.

Kemudian pada tahun Śaka 987 atau 10 Agustus 1065 Masehi, masih dalam prasasti Sambiran. Tertulis bahwa para pemimpin dan penghulu Desa Julah, Desa Widatar, Desa Keduran, Desa Pasuruhan dan Desa Pasungan menghadap Sri Paduka Aji Anak Wungsu yang memerintah saat itu untuk berunding membuat undang-undang Desa Julah yang baru.

Adapun keputusan-keputusan yang dihasilkan; Kalau ada saudagar-saudagar yang memakai perahu dari tanah seberang hendak ke Pura Menasa (pura ini berada di sebelah timur Desa Sinabun) tiba-tiba perahunya rusak di laut, maka sekalian penduduk Desa Julah harus membantunya. Apabila dengan tiba-tiba ada musuh yang hendak menyerbu penduduk yang ada di pesisir, maka sekalian penduduk Desa Julah harus segera keluar serta membawa senjata yang selengkapnya untuk memerangi pengacau itu. Segala pajak dikenakan pada tontonan, sekehapesantian (semacam pesinden), dan gong. Prasasti ini ditutup dengan sumpah dan kutukan. Undang-undang ini dibuat diistana oleh juru tulis istana yang bernama Bajarangsa.

Hukum Adat Tawan Karang

Sejak abad ke-18 dan 19 di Bali terdapat banyak kerajaan, beberapa di antaranya berbatasan dengan laut. Raja-raja yang wilayahnya berbatasan dengan laut sudah membuat kesepakatan hukum adat yang disebut Tawan Karang. Hukum ini berlaku apabila tiap kapal asing yang terdampar, kapal beserta isinya menjadi hak milik penguasa Bali.

Baca juga Barus dan Peradaban Islam Pertama di Nusantara

Pada tahun 1844, ada kapal Belanda terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal dan isinya pun di sita dan ditawan. Belanda tidak terima dan mengirim Asisten Residen dari Banyuwangi untuk membuat perjanjian penghapusan hukum Tawan Karang dan sekaligus pengakuan terhadap kekuasaan. Tetapi raja I Gusti Ngurah Made dan Patih I Gusti Jelantik Gungsir menolak. Belanda lalu mengirim pasukan menyerbu Buleleng, hingga sebanyak 3 kali, yaitu pada 1846, 1848, dan 1849.

Pada tahun 1849, rakyat Bali di bawah pimpinan I Gusti Jelantik melakukan perang puputan (habis-habisan). Lagi pada tahun 1906, Belanda menyerang dan berusaha menguasai Kerajaan Badung yang masih melaksanakan hukum adat Tawan Karang. Raja dan rakyat Kerajaan Badung lagi-lagi tidak tinggal diam dan melawan habis-habisan.

Ditulis ulang dari; Bambang Budi Utomo,“Kandas di Perairan Bali, Isi Kapal Disita Kerajaan.” [NoE]