Suluh Indonesia – Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatra Indonesia. Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam (Aceh).
Ditengarai suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Ada sebentuk ungkapan-ungkapan yang dikenal dalam masyarakat Batak Pakpak. Ungkapan tersebut tidak terlepas dari lingkungan alam, aktivitas sehari-hari, dan adat istiadat. Hal ini terbukti dari nama fauna atau flora maupun istilah-istilah yang digunakan dalam ungkapan, yang digunakan baik secara formal maupun informal.
Secara formal misalnya pada saat upacara baik dalam keluarga inti maupun melibatkan banyak pihak seperti upacara perkawinan atau kematian. Secara informal misalnya dalam percakapan sehari-hari ataupun saat orang tua memberikan nasehat terhadap anak-anaknya. Ini merupakan bagian dari budaya yang sangat menarik yang ada di Nusantara.
Ungkapan Tradisional Fauna
Ungkapan-ungkapan tradisional fauna yang masih digunakan oleh masyarakat Pakpak antara lain:
Gajah merubat pelanduk terkapit (gajah beradu kancil yang terjepit) yang berarti orang besar berkelahi, anak kecil ikut menjadi sasaran atau pimpinan yang berselisih mengakibatkan kesulitan pada rakyat jelata.
Ulang bage biahat merdokar (jangan seperti harimau beranak) artinya orang yang selalu marah, muka merah, kejam, tidak pandang bulu dan brutal. Sifat yang tidak perlu untuk ditiru oleh manusia.
Ulang bage berrek kelegon (Jangan seperti beludru di musim kemarau). Ungkapan ini dikatakan kepada seseorang yang tidak mandiri dan tidak percaya diri sehingga selalu harus dibantu orang lain.
Ulang bage olong nangka (jangan seperti ulat nangka). Ungkapan ini dikatakan kepada orang yang selalu pindah-pindah tempat tinggal dari tempat yang satu ke tempat yang lain atau tidak betah menetap pada suatu tempat. Dapat juga diumpamakan kepada seorang gadis yang centil yang selalu minta diperhatikan.
Bage perlangi tekuk (seperti berenang katak). Apabila katak berenang di air walaupun airnya bening, begitu katak lewat berenang airnya akan menjadi keruh. Perbuatan atau perkataan seseorang yang tidak memikirkan akibat kepada orang lain.
Ikerut menci ekur kocing( digigit tikus ekor kucing). Orang besar atau berkedudukan tinggi tidaklah kekal adanya, sebaliknya juga bisa terjadi pada orang kecil atau berkedudukan rendah. Malah yang semula berkedudukan rendah akan menggantikan atau mengalahkan yang besar atau yang berkedudukan tinggi.
Naruh oda merneneh tapi pekastuk (telur tak berkaki tetapi bersentuhan).Bermakna bahwa ternyata dalam kehidupan nyata pasti setiap orang pernah bertengkar atau berselisih pendapat antar sesamanya di mana saja.
Ungkapan Tradisional Flora
Sedangkan ungkapan-ungkapan tradisional yang berhubungan dengan flora yang masih digunakan oleh masyarakat Pakpak antara lain:
Ari-arin bage mangan I opih (sehari-hari seperti makan di pelepah pinang). Kebiasaan seperti layaknya makan di atas pelepah pinang. Ungkapan ini mengacu bagi seseorang yang mau enak sendiri, artinya seseorang yang sangat gemar meminta bantuan dari teman atau orang lain tanpa adanya melakukan usaha demi peningkatan diri.
Bage golingen tabu (seperti gulingan labu). Seperti menggulingkan labu. Labu mudah digulingkan karena bentuknya yang bulat. Ungkapan ini digunakan untuk menyebutkan seseorang yang tidak punya pendirian atau tidak percaya diri sehingga mudah untuk diperdayakan orang lain.
Bage menaka buluh dikedekna itingkah (Seperti membelah bambu kecil yang dipijak). Seperti untuk membelah bambu ujung yang paling kecil duluan dipijak. Bambu dari pangkal ke pucuk biasanya mempunyai ketebalan yang berbeda. Untuk menjaga keseimbangan maka membelah diawali dari sebelah pucuk. Ungkapan ini digunakan untuk memperingatkan orang yang kuat atau orang tua atau tokoh-tokoh adat agar memberi nasehat atau keputusan secara adil bagi anak atau orang yang lebih lemah kedudukannya.
Bage nderu persege (seperti tampi saat menampi beras). Ungkapan ini dikatakan kepada seseorang yang seolah-olah orang baik atau seolah-olah ringan tangan membantu orang lain, tetapi kenyataannya sangat berat tangan atau enggan membantu sesamanya.
Bage batang-batang petindih tan dates siteridahna (seperti batang-batang pohon bertindih sebelah atas yang paling kelihatan). Ungkapan ini dikatakan kepada seseorang yang suka menonjolkan diri karena kepintarannya, berbicara tanpa mengingat adanya orang lain yang lebih berhak.
Bage sukat irubeen (seperti talas yang tumbuh dijurang). Ungkapan ini dikatakan kepada orang yang suka saling membantu satu sama lain pada saat mengalami kesusahan sehingga mereka dapat hidup aman dan damai.
Bage bahing mbah-mbahen tanoh (seperti jahe yang selalu membawa tanah ketika dicabut). Dikatakan kepada seseorang yang susah menyesuaikan diri, egois dan bersikap tidak baik, sehingga dimanapun dia berada tidak disegani orang lain.
Ndaoh nola ngo tobis ibena nai (jauh pula rebung dari pokoknya). Ungkapan ini bermakna kalau orang tua jahat atau baik biasanya akan menurun kepada anak-anaknya. Atau lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
Demikianlah beberapa ungkapan tradisional yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Pakpak dan berhubungan dengan alam baik fauna maupun flora, di Sumatera Utara, dan merupakan bagian menarik dari budaya yang tampaknya tidak banyak yang tahu. [NoE]