Sulindomedia – Para perempuan Jakarta, Makassar, Palu, Kendari, dan Lampung mendeklarasikan gerakan “Perempuan Tolak Reklamasi” dalam memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta. Deklarasi ini juga dihadiri perwakilan dari ForBali, sebuah gerakan masyarakat Bali menolak reklamasi.
Penolakan mereka terhadap reklamasi didasarkan pada fakta bahwa proyek reklamasi berakibat buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama perempuan. Reklamasi juga mengancam keanekaragaman hayati pesisir Indonesia dan mempersulit nelayan untuk melaut, sehingga akan mengancam kedaulatan pangan.
Para perempuan nelayan dan perempuan pesisir, termasuk di Makassar dan Jakarta, telah merasakan dampak reklamasi itu. “Sebelum reklamasi, seorang perempuan patude [pencari dan pengupas kerang di Makassar] bisa memperoleh penghasilan Rp 80 ribu dalam sehari. Sejak reklamasi, mendapatkan Rp 20 ribu saja sulit. Bahkan, di Mariso, jumlah perempuan patude semakin menyusut. Tempat tinggal dan sumber kehidupannya tergusur sehingga banyak dari mereka yang kemudian beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik atau buruh cuci,” kata Nurhayati dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Makassar, sebagai terekam dalam siaran pers Solidaritas Perempuan.
Nasib buruk yang sama juga dialami perempuan pengupas kerang di wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Ela Sari dari Solidaritas Perempuan Jabotabek mengatakan, perekonomian yang semakin mengimpit dirasakan oleh masyarakat pesisir Jakarta, khususnya perempuan pesisir.
Perempuan pesisir sampai sekarang belum mendapatkan pengakuan atas dirinya sebagai perempuan pesisir/nelayan, sehingga mengakibatkan perempuan terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan dan tidak dapat menyampaikan pandangannya. Proyek reklamasi semakin memperparah situasi tersebut.
Peran gender yang dilekatkan terhadap perempuan menjadikan akibat buruk reklamasi dirasakan lebih berat dan mendalam oleh perempuan pesisir Teluk Jakarta. Tanggung jawab sebagai penyedia pangan dan pengelola keuangan keluarga menjadikan perempuan harus bekerja lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ditambah dengan beban kerja domestiknya, banyak perempuan pesisir yang harus bekerja setidaknya 18 jam dalam sehari. Hal tersebut mengakibatkan ruang politik dan sosial perempuan semakin sempit dan dapat membahayakan kesehatan perempuan, termasuk kesehatan reproduksinya.
Padahal, perempuan memiliki peran sangat signifikan dalam bidang perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pangan tersedia untuk keluarga. Namun, peran tersebut tidak diakui negara dalam kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir.
“Situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir. Termasuk soal reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender dan kajian dampak spesifik yang berbeda terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah,” Kata Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan
Menurut dia, pemerintah masih saja mengabaikan berbagai dampak reklamasi bagi masyarakat, perempuan dan laki-laki, serta lingkungan. Reklamasi justru terus dibangun di berbagai wilayah di Indonesia dan menjadi persoalan nasional.
Semua proyek reklamasi di Indonesia, tambahnya, memiliki kesamaan, yaitu sarat kepentingan pengusaha yang dilegitimasi oleh penguasa. Jangankan peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan rakyat, konstitusi yang mengatur tanggung jawab negara untuk hajat hidup orang banyak pun dilanggar dan diabaikan.
Karena itu, ungkap Pusapa Dewy, gerakan menolak reklamasi sudah selayaknya menjadi sebuah gerakan nasional. “Perempuan yang hadir di sini mewakili seluruh perempuan nelayan dan pesisir di Indonesia untuk mendeklarasikan gerakan Perempuan Tolak Reklamasi. Reklamasi hanya akan semakin menindas, memiskinkan, dan memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan. Dengan demikian, Perempuan Tolak Reklamasi menuntut untuk dihentikannya semua proyek reklamasi di Indonesia,” kata Puspa Dewy.
Lebih lanjut, Puspa menjelaskan, melalui gerakan ini, perempuan juga mengajak seluruh masyarakat untuk ikut menyuarakan penolakan terhadap reklamasi. “Reklamasi tidak hanya mengancam perempuan dan masyarakat pesisir, tapi juga mengancam kedaulatan pangan dan keutuhan ekologis, sehingga seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampaknya,” tuturnya. [PUR]