Silat Beksi (Foto: Rio Setiawan)

Suluh Indonesia – Pencak Silat Beksi atau biasa disebut Maen Pukulan Beksi, adalah salah satu silat khas Betawi yang terkenal akan kecepatan pukulan dan keahlian jarak dekatnya. Ciri khasnya yang paling menonjol adalah tinju terbalik (lengan dalam menghadap ke atas) dengan golengan (gerak bahu) untuk meningkatkan kekuatan pukulan dan menambah jangkauan tangan. Tinju terbalik inilah yang menjadi elemen utama pada banyak lambang perguruan silat Beksi.

Ilmu bela diri ini memadukan kekuatan, kecepatan, ketepatan dalam mencapai sasaran, serta kedinamisan dalam gerak dan olah tubuh yang kesemuanya terangkum dan tertata secara apik dalam dimensi gerak jurus-jurusnya. Pukulan serta sikut yang keras merupakan ciri khas tersendiri yang membedakan ilmu bela diri ini dengan yang lainnya. Ini menjadikan Beksi sebagai bela diri praktis favorit para pemuda Betawi untuk mempertahankan diri.

Tepis, tangkap, cengkram, mengelak, kuncian, bantingan, tendangan dan pukulan adalah gerakan-gerakan yang sering dipraktekkan dalam jurus-jurusnya. Pukulannya yang sangat cepat dan bertubi-tubi dari jarak dekat menjadikannya sukar dihindari dan ditangkis. Jurus-jurusnya terkenal dengan keras, cepat, ringkas dan mengarah pada tempat-tempat vital pada tubuh. Beksi pun mendapat pengakuan sebagai aliran pencak silat tangan kosong jarak dekat yang mumpuni dari para ahli bela diri dalam dan luar negeri.

Silat Beksi mulai muncul dalam kancah dunia persilatan Betawi pada pertengahan abad ke-19. Pada masa itu daerah Jakarta (Batavia) dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok) berada dalam pengaruh kekuasaan para tuan tanah. Tuan-tuan tanah ini diberi kepercayaan oleh pemerintah kolonial Belanda di Batavia untuk memungut pajak dari rakyat. Untuk bertahan dan melawan dari kesewang-wenangan centeng yang dipelihara oleh para tuan tanah, silat Beksi kemudian menjadi salah satu alat untuk pertahanan diri.

Baca juga: Manongkah: Selancar Lumpur ala Suku Laut Duanu

Aliran ini awalnya dikembangkan oleh masyarakat Betawi dari daerah Kampung Dadap, Kecamatan Kosambi, Tangerang. Tokoh sentral aliran ini adalah Lie Tjeng Hok (1854-1951), generasi ketiga keturunan Tionghoa dari keluarga petani yang nenek moyangnya hijrah dari Amoi (Xiamen), Fujian, Tiongkok.

Ia pertama kali belajar maen pukulan kepada dua orang pribumi Betawi, yaitu Ki Jidan dan Ki Miah. Pada saat bersamaan dia mendapatkan wangsit melalui mimpi, berupa ilmu beladiri yang diturunkan kakeknya, Lie A Djam yang ditengarai juga seorang pendekar dari Amoi. Lie Tjeng Hok pun meracik ilmu beladiri yang ia peroleh dari ketiganya hingga menjadi apa yang disebut sebagai Bhe Si.

Ia juga menurunkan ilmu maen pukulan racikannya kepada pribumi Betawi. Murid yang terkenal adalah Ki Murhali yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Ada cerita unik di balik proses penurunan ilmu beladiri ini. Dikisahkan oleh Lie Dji Tong (cucu Lie Tjeng Hok), ayahnya Lie Tong San yang berprofesi sebagai petani, ketika hendak ke sawah, langkah kakinya terhenti oleh tantangan “bersambut” dari ayah Murhali saat melewati area sawah dan rumahnya. Pria yang dikenal piawai maen pukulan ini tahu bahwa yang berdiri di hadapannya adalah anak pendekar Bhe Si dan ia ingin menjajal kemampuannya.