Kontroversi bahwa Serat Centhini merupakan bacaan yang sarat Ajaran Kamasutra memang tidak dibantah oleh banyak ahli, Namun merekapun menggaris bawahi muatan religiusnya (foto: Tradaya.com)

Koran Sulindo – Agaknya, kontroversi selalu membayangi Serat Centhini sejak kelahirannya.

Pangeran Anom Amengkunegara III yang mati muda karena sakit kala itu memerintahkan tiga pujangga keraton untuk menyusun serat ini pada tahun 1814. Gaya cerita yang berani dan tanpa sungkan mengenai adegan persenggamaan rupanya menjadi sumber kontroversi itu.

Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, juru tulis resmi Istana Mangkunegaran, pada masa pemerintahan Mangkunegara VII dan VIII, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.

Disusun berdasarkan kisah petualangan yang dialami anak-anak Sunan Giri, salah seorang dari Wali Songo. Ceritanya di mulai setelah Istana Keraton Giri, diduduki oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo penguasa Kesultanan Mataram Islam. Tiga orang anak Sunan Giri, yakni dua orang anak lelaki bernama Jayengresmi dan Jayengraga, dan satu orang anak perempuan bernama Niken Rangcangkapti, meninggalkan kampung halaman mereka untuk berkelana demi menyelamatkan diri dari ancaman Mataram.

Dalam perjalanannya Jayengresmi ditemani dua orang santri setianya bernama Gathak dan Gathuk. Ia pun mengalami ‘pendewasaan spiritual’ kerena bertemu dengan para guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa Kuno, juga belajar segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa misal tentang candi, tanda-tanda dari bunyi burung prenjak dan gagak, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersenggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.

Sementara Jayengraga dan Niken Rancangkapti berkelana diiringi seorang santri bernama Buras. Mereka memperoleh pengetahuan tentang adat istiadat Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai bersuci dan pelaksanaan shalat, pengetahuan tentang dzat Allah, hadis Markum, perhitungan selamatan orang mati, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.

(foto: budhazine.com)

Baca juga  Medang, Negeri Jawa Pembangun Candi