Jaksa Agung ST Burhanuddin, Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari/Istimewa
Jaksa Agung ST Burhanuddin, Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari/Istimewa

Koran Sulindo – Baru kali ini Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak tegas dalam menegakkan oknum jaksa yang mencoreng institusi. Burhanuddin tidak mendengar ekspektasi publik untuk menyapu bersih korupsi dari Indonesia, namun terkesan menggunakan sapu kotor untuk membersihkan lantai. Indikasinya, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak mengajukan kasasi atas banding mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Jaksa menerima korting masa pidana Pinangki dari 10 menjadi 4 tahun penjara. Jaksa puas dengan vonis hakim tinggi yang memangkas lebih dari setengah vonis pengadilan tingkat pertama. Tampaknya baru kali ini terang-terangan Korps Adhyaksa menolak kasasi atas vonis janggal seperti ini.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Pusat, Riono Budisantoso, berdalih tidak ada alasan bagi jaksa untuk kasasi merujuk Pasal 253 Ayat (1) KUHAP. Anehnya lagi, Riono merasa tuntutan jaksa sudah dipenuhi dalam putusan banding Pinangki. Sikap Jaksa Agung Burhanuddin dalam menangani kasus Pinangki membuktikan pemberantasan korupsi yang tebang pilih, ada semangat korps yang salah tempat.

Pinangki sudah mencoreng institusi Korps Adhyaksa dengan bermufakat meloloskan Joko S. Tjandra yang dalam status pelarian untuk lepas dari jeratan hukum. Ia menerima suap. Pelesiran ke Malaysia bertemu Joko Tjandra, menyiapkan Fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Joko Tjandra.

Dengan tidak mengajukan kasasi, maka vonis banding 4 tahun pidana untuk Pinangki telah berkekuatan hukum tetap. Langsung dieksekusi. Padahal untuk kasus lain dengan selisih vonis satu tahun jaksa mau bertahun-tahun menanti vonis kasasi.

Lebih parah lagi, Menko Polhukam Mahfud MD tidak berbicara mengenai ini. DPR pun tidak menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau badan peradilan seputar banding Pinangki. Seolah-olah legislatif dan eksekutif kompak tutup buku, kasus Pinangki sudah selesai ditandai dari vonis kontroversial Pengadilan Tinggi DKI.

Komisi III DPR nampaknya puas dengan sikap Jaksa Agung Burhanuddin dalam rapat kerja yang menyatakan mencopot kepala Kejaksaan Tinggi dan jaksa nakal lainnya karena main proyek. Sementara dari kasus Pinangki terlihat secara kasat mata adanya keistimewaan. Jaksa lain disikat kalau Pinangki dijewer pelan-pelan saja.

Pola pemberantasan korupsi seperti ini yang selama ini dikritik. Publik kecewa dan tidak percaya dengan kejaksaan dan kepolisian hingga lahirnya KPK. Seiring berjalan waktu, rupanya pemberantasan korupsi masih menjadi persoalan serius bangsa kita.

Konspirasi
Penanganan tanggung kasus Pinangki menandakan adanya konspirasi untuk menutupi pihak lain. Baik di tingkat penyidikan oleh jaksa maupun di pengadilan. Vonis tinggi dari Pengadilan Tipikor Jakarta, sia-sia di tingkat banding. Jaksa tidak tegas dan setengah hati menangani perkara ini.

Sudah banyak media yang mengungkap adanya klik yang mengungkap siapa pihak yang terindikasi dilindungi dari kasus Pinangki. Politisi, hakim, dan jaksa terkoneksi menjadi satu rangkaian dalam menutupi pihak-pihak terkait itu. Terpidana lainnya seperti Joko Tjandra, Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya tidak bersuara. Jenderal polisi yang dijerat tampaknya hanya korban mengamankan Joko Tjandra ke Indonesia, bukan pada poin utama meloloskannya dari jerat hukum.

Konspirasi ini sejatinya sudah terendus. Namun mentok karena tidak adanya political will. Tidak masalah kerusakan yang timbul karena ulah Pinangki. Pusing sedikit sudah risiko yang penting bos-bos besar aman. Kira-kira seperti itu pikiran dalam benak pencoleng yang memainkan hukum.

Indonesia Corruption Watch (ICW) agaknya lebih maju daripada hakim tinggi melihat kasus ini. Pada 2020, ICW pernah menyurati Presiden Joko Widodo untuk mencopot Burhanuddin sebagai Jaksa Agung karena terindikasi terlibat dalam kasus Pinangki. ICW melihat di bawah komando Burhanuddin, Kejagung tidak profesional merujuk penanganan kasus Pinangki ditandai dari tingkat penyidikan.

Surat tersebut hanya menjadi kertas yang tak bernyawa. Istana tak perlu menjawab karena dari sikap anggota kabinet yang membidangi hukum terlihat bahwa Burhanuddin masih dibutuhkan. Singkatnya tak ada masalah atau bekennya masih on the track.

Praktis hanya pers dan aktivis yang menyoroti lemahnya hukum dalam kasus Pinangki. Malahan komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan. Sejak lama Jokowi dituding tidak pro-pemberantasan korupsi karena lebih menekankan pencegahan.

Pemerintah ingin mengundang banyak investor dan membuat kepala daerah tidak khawatir ketika menerbitkan izin. Omnibus law Cipta Kerja salah satunya disusun untuk memuluskan investasi itu. Belakangan pandemi Covid-19 melanda dan melonjak lagi. Pemerintah memikirkan strategi PPKM mikro darurat, lupa ada dua menteri yang tersandung kasus korupsi pada awal pandemi.

Abdul Hakim Ritonga mencatat sejarah sebagai pimpinan Korps Adhyaksa yang berani mengundurkan diri karena namanya terseret kasus rekayasa dua komisioner KPK, Bibit-Chandra. Ritonga merasa menanggung beban institusi dan memilih bersikap ksatria mundur dari jabatannya pada akhir 2009.

Setelah itu praktis tidak ada petinggi jaksa bersikap seperti Ritonga. Sekeras apapun isu apalagi sudah terindikasi terlibat konspirasi hukum, maju jalan. Lebih menyebalkan, banyak pihak yang seolah-olah menutup mata. Tidak berbuat atau minimal mengevaluasi penanganan kasus Pinangki.

Di Komisi III, hanya politisi Golkar, Supriansa, yang menyinggung kinerja Burhanuddin secara terbuka pada rapat kerja. Konteksnya tuntutan jaksa terhadap Pinangki rendah, yakni 4 tahun pidana penjara. Supriansa menyebut jika dirinya menjabat Jaksa Agung bakal mundur karena tidak mampu membina anak buah berkaca pada kasus Pinangki.

Tampaknya Supriansa cukup puas mengetahui di tingkat pertama hakim menjatuhkan pidana 10 tahun atau melebihi tuntutan jaksa. Setelah vonis banding dia tak lagi bersuara.

Ritonga mungkin kontroversial. Tetapi berani bersikap atas nama institusi. Di Amerika Serikat, William Barr, memilih mundur karena didesak Trump yang saat itu masih menjabat presiden menyelidiki kasus kecurangan pemilu. Barr merasa Trump sudah kelewat batas mempertahankan jabatannya dan menjadikan kecurangan pemilu sebagai pembenaran.

Barr tidak ingin mempertaruhkan reputasinya dengan mengikuti kehendak pimpinan tertinggi. Meski dikenal sebagai loyalis, Barr memberi pukulan telak, mundur dari jabatan Jaksa Agung di penghujung periode kepemimpinan Trump.

Ritonga dan Barr merupakan sosok yang berbeda. Namun sejarah mencatatnya pernah mengambil sikap ksatria. Bagaimana dengan Burhanuddin? [Erwin CRS]