Astari Rasjid. Foto: Yuyuk

Sulindomedia – Sering berpergian dan bahkan tinggal di luar negeri, serta tak jarang bergaul dengan kalangan jetset yang penuh kehidupan glamour, tak membuat Sri Astari Rasjid kehilangan jatidirinya. Ia tetap mempertahankan dirinya sebagai orang Jawa, yang di dalam tubuhnya mengalir darah biru dari keturunan Mangkunegara, Solo. Tradisi atau budaya Jawa tetap ia pegang teguh serta diapresiasi dengan penuh penghormatan dalam pikiran dan tindakannya, meski zaman kini telah dipenuhi teknologi yang canggih dan gaya hidup instan.

“Budaya Jawa semacam garba atau rahim, asal saya lahir sekaligus titik berangkat untuk menjelajahi segala hal hingga saatnya saya pulang kembali,” kata Astari, yang dilahirkan di Jakarta pada 26 Maret 1953.

Dalam budaya Jawa sendiri, garba atau biasa disebut juga sebagai gua garba merupakan simbol dari awal terciptanya kemanusiaan dan kebudayaan. Itulah sebabnya, dalam buidaya, kata Astari lagi, sosok ibu sangat dihargai.

“Berangkat dari hal paling mendasar, dalam sosok ibu terdapat garba, tempat terjadinya penciptaan kehidupan sekaligus ibu kultural, tempat manusia tumbuh dan berkembang, juga tempat untuk pulang, secara khusus pameran ini saya buat sebagai penghormatan terhadap sosok ibu,” kata perempuan yang baru-baru ini dilantik secara resmi oleh Presiden Joko Widodo sebagai  Duta Besar Republik Indonesia untuk Bulgaria merangkap Albania serta Makedonia .

“Yang Terhormat Ibu”, demikian judul pameran yang digelar perupa Astari di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pameran yang dibuka Gusti Kanjeng Ratu Hemas pada Sabtu malam lalu (27/2/2016) itu akan  berlangsung hingga 4 Maret 2016.

“Pameran ini sudah lama saya siapkan, sekitar satu tahun. Saya ingin berbuat sesuatu untuk menghormati leluhur saya, ibu saya, Ibu Pertiwi, dan ibu-ibu yang lain. Ibu sangat dekat dengan kita semua yang menyangkut perasaan atau emosi dan bukan hanya otak,” ungkap Astari yang pernah sekolah fashion di Lucy Clayton, London, tahun 1976.

AstariTamu
Gusti Kanjeng Ratu Hemas (depan, paling kanan( berbincang dengan Titiek Soeharto (tengah) dan Miranda Goeltom (paling kiri). Foto: Yuyuk Sugarman

Hujan yang mengguyur Kota Yogya pada Sabtu malam itu tak membuat para undangan urung menghadiri pembukaan pameran. Bahkan, di antara undangan yang hadir terdapat tokoh-tokoh seperti Titiek Soeharto, Surya Paloh, Miranda Gultom, Rahadi Ramelan, Romo Mudji Sutrisno, dan Djoko Pekik.

Terlihat, pameran ini terkonsep dengan baik dan satu sama lain karya memiliki kepaduan, utuh. Saat mau memasuki ruang pameran, di halaman depan pintu masuk, pengunjung sudah diperlihatkan sebuah patung kebaya yang terbuat dari aluminium, “Armor for Change” Karya perupa yang pada masa kecilnya mengaku senang dengan cerita bergambar Petruk-Gareng itu dibuat tahun 2016, berukuran 250 x 168 x 100 centimeter, berbentuk baju kebaya Jawa dengan motif batik megamendung serta dilengkapi “aksesori” kupu-kupu tepat di bagian dada.

Astari dengan “Armor for Change”. Foto: Yuyuk
Astari dengan “Armor for Change”. Foto: Yuyuk

“Karya ini saya buat dalam waktu sebulan. Entah dari mana energi saya, yang membuat saya mampu menyelesaikan karya itu di sela-sela kesibukan saya mempersiapkan sebagai duta besar. Karya itu saya buat di Yogya, sehingga saya sering terbang ke Yogya dari Jakarta,” ungkap Astari, yang sebagai perupa telah banyak mengantungi penghargaan, antara lain Nokia Arts Award, Phillip Morris Arts Award, dan Winsor & Newton Award.

Setelah dari halaman depan pintu masuk itu, pengunjung harus memasuki lengkungan yang terbuat dari kain hitam dengan hiasan konde serta tali, yang menggambarkan garba. Di sini jelas Astari mengajak pengunjung untuk menghayati makna garba, sebelum masuk ke ruang pameran utama yang menyajikan berbagai karya retrospekltif-nya yang sarat makna.

“Dalam pandangan saya, kekuatan perempuan memang diperlukan dalam sebuah keluarga. Family force untuk saat ini sangat diperlukan agar kita bisa saling menghormati, menghargai sesama, dan sebagainya. Saya kira ini perlu di negara kita.  Nah, ini saya simbolisasi dengan garba,”  tutur Astari.

Karya-karya yang ditampilkan dalam pamerannya tak hanya menampilkan instalasi, patung, lukisan, dan foto, yang semuanya berjumlah 28 karya. Astari juga menunjukkan karya tari bertajuk “Garba”, yang berbasis tari Bedhaya—tarian sakral di lingkungan keraton Yogya dan Solo—dengan  pendekatan tari kontemporer yang dikoreografi oleh Retno Sulistiarini.

“Bedhaya Garba” dimainkan 5 penari di panggung instalasi berupa joglo berukuran 8 x 6,5 x 6 meter dan dikelilingi 9 buah wayang kayu, serta di depannya terdapat patung loro blonyo, dipentaskan saat pembukaan pameran itu. Pertunjukan ini juga dilatarbelakangi video yang menunjukkan kedahsyatan Gunung Merapi saat meletus, yang memperlihatkan juga dengan jelas magma yang mengalir dan semburan awan panas yang oleh penduduk lokal disebut wedus gembel. Karya seni instalasi berupa joglo tersebut pernah ikut dipamerkan di The Indonesia Pavilion Venezia Biennale 2013.

Menurut penjelasan Astari, karya instalasi joglo diusung ke Venezia Biennale 2013 karena saat itu tema-nya adalah menyangkut sakti atau kesaktian. “Sakti” dalam pandangan Astari adalah sebuah kekuatan yang ada dalam diri kita. Nah, pendopo atau joglo adalah sebuah bangunan dengan arsitektur yang  sesuatu unik dari Jawa.

“Venezia punya peradaban yang sangat tua, sedangkan pendopo adalah spiritual house, semacam rahim. Pendopo merupakan tempat ketika raja dinobatkan selalu ada aktivitas, seperti menggelar tari Bedhaya yang sakral dan Ratu Kidul hadir. Inilah yang saya angkat,” kata Astari.

Sebagai seniman Indonesia, Astari mengingatkan, perlunya mengangkat kebudayaan sendiri ke dalam karya. Seniman Indonesia, lanjutnya, harus menggali pada apa yang kita punya, seperti budaya Jawa dan Batak, selain mempelajari seni kontemporer dari Barat. “Kalau saya sebagai seniman mendapat kesempatan berpameran di luar negeri, kalau karya saya kebarat-baratan, kan mereka sudah punya. Terus mereka akan bertanya, apa yang Anda tawarkan,” ungkap Astari. Itulah sebabnya, lanjutnya, karya-karyanya tetap mengacu pada budaya Indonesia, meski isu yang dibawakan dalam karyanya adalah isu global. “Karya saya mendasarkan pada budaya Jawa untuk menyikapi dunia masa kini.”

Menyinggung dirinya yang kini menjadi duta besar, yang punya tugas menarik investor, menarik turis agar ke Indonesia, serta melakukan kerja sama perdagangan, Astari mengatakan, dirinya akan memasukkan pendekatan budaya dalam menjalakan misi diplomatiknya. “Saya rasa dengan memakai budaya dalam diplomasi, mereka akan lebih bisa tertarik,” ujarnya.

Dalam pameran “’Yang Terhormat Ibu” yang dikuratori Wicaksono Adi, Astari mengaku mengembangkan bentuk-bentuk simbolis yang berkaitan dengan unsur dasar yang dimiliki setiap individu, yaitu unsur maskulin dan feminin. Dalam hal menggali dan memahami daya feminin dan maskulin, kekayaan khazanah budaya Jawa juga yang dipilih Astari.

Ia tertarik pada garis ketegangan antara daya feminin dan maskulin, yang hubungan kedua daya atau energi tersebut tidak selalu mutlak dan permanen, melainkan dapat terus bergeser dan selalu terdapat negosiasi di antara keduanya. Di sini, Astari berupaya memberi makna baru pada ketegangan antara kekuatan maskulin dan feminin. “Garis tegangan dua posisi itu juga dapat dilihat dalam konteks kebudayaan modern dan global,” kata Astari.

Karya-karya yang ditampilkan jelas menunjukkan betapa dahsyatnya peran dan kekuatan perempuan di dalam kehidupan. Ia mengingatkan kepada kita semua bahwa perempuan tidak kemudian hanya menjalani peran tambahan dalam kehidupan—“swarga nunut, neraka katut”.

Astari tampaknya ingin menunjukkan, perempuan juga mampu andil “memerahputihkan” bangsa. Tengok saja karya yang berjudul “Nyi Ageng Serang” (2014), yang menampilkan sosok Astari berkebaya biru, berkerudung, dan memegang senjata api jenis AK 47. Juga tampak dalam karya”’Aku Diponegoro” (2014), yang menampilkan Astari berpakaian ala Pangeran Diponegoro tengah naik kuda dan pistol jenis FN terselip di pinggang, dengan latar belakang hamparan rumput serta perbukitan.

Di sisi lain, Astari juga mengungkapkan perempuan adalah perempuan yang tak pernah kehilangan keinginan untuk berbelanja. Ini ditunjukkan pada karya instalasi yang berjudul “Welcome Home” (2015). Karya ini berupa tas berukuran 308 x 245 x 113 centimeter yang tergembok. Boleh jadi juga ia ingin mengingatkan, hendaknya kita jangan terjebak pada pola konsumerisme.

Karya-karya Astari yang ditampilkan dalam pameran retrospektif ini mendapat apresiasi GKR Hemas, yang menilai karya-karya yang ditampilkan sarat dengan filosofi kehidupan di Jawa. Misalnya patung Dewi Sri, ataupun instalasi joglo. Menurut Hemas, simbolisasi yang ditampilkan bermakna kepada kehidupan nyata. “Dan itu semua menjadi sebuah bentuk pendidikan moral yang akan selalu ada sepanjang zaman,” kata Hemas. Pameran “Yang Terhormat Ibu” ini, ungkap Hemas lagi, akan mengingatkan kita bahwa ibu adalah tempat berawalnya semua kehidupan dan ibu dalam perjalanan kehidupan akan selalu memberi perlindungan untuk mengawal serta memastikan semua berjalan dalam harmoni. [Yuyuk Sugarman]