Para alumni Unpad mulai dari Anita Kolopaking mantan kuasa hukum Joko Tjandra (paling kiri), Hatta Ali, mantan Ketua MA (kedua dari kiri), Pinangki Sirna Malasari mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan (berbaju dinas jaksa) dan Reny Halida Ilham Malik, Hakim Ad HocPengadilan Tinggi DKI Jakarta (paling kanan)/Foto: dari berbagai sumber

Koran Sulindo – Pinangki Sirna Malasari kembali menjadi perbincangan publik. Pasalnya, mantan jaksa itu mendapat keringanan hukuman di tingkat banding setelah awalnya divonis 10 tahun penjara di tingkat pertama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DKI Jakarta pada Februari lalu.

ICW, misalnya, menilai putusan majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengkorting hukuman Pinangki menjadi 4 tahun itu keterlaluan. Terlebih Pinangki dinilai melakukan 3 kejahatan sekaligus dan pada waktu itu berprofesi sebagai jaksa yang merupakan penegak hukum.

Menurut ICW, hukuman Pinangki seharusnya justru diperberat bukannya diperingan mengingat profesinya sebagai penegak hukum. Sementara 3 kejahatan yang dituduhkan kepada Pinangki dan terbukti secara sah serta meyakinkan adalah korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Karena itu, sungguh tidak masuk akal keringanan hukuman yang didapatkan Pinangki.

Tidak terima dengan putusan itu, ICW lantas menggalang dukunga publik lewat petisi untuk memprotes putusan tersebut. Sementara ini petisi yang digalang secara daring itu telah tembus sekitar sebanyak 16.617 orang. Inti dari petisi tersebut mendesak Kejaksaan Agung untuk kasasi atas putusan banding tersebut.

Di samping mengajukan petisi, masyarakat sipil pun mulai menelusuri latar belakang 5 hakim yang mendiskon hukuman Pinangki. Kelima hakim tersebut adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik. Singgih Budi Prakoso, misalnya, namanya sempat terseret kasus suap yang melibatkan Setyabudi Tejocahyono, hakim Pengadilan Negeri Bandung pada 2013.

Dalam dakwaan Setyabudi, jaksa menyebut Singgih mendapatkan jatah US$ 15 ribu, sementara dua anggota majelis hakim perkara korupsi bansos, yaitu Ramlan Comel dan Djodjo Dkohari, mendapat masing-masing US$ 18.300. Bukannya disidik, Singgih justru mendapat promosi menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar, lalu dipindah ke PT Semarang hingga akhirnya masuk Jakarta.

Sementara Lafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik kerap berduet untuk memotong hukuman para terpidana korupsi. Dalam kasus yang menyeret bekas Ketua Umum PPP, Muhammad Romahurmuziy atau Romy, Reny dan Lafat merupakan 2 dari 5 hakim yang menyunat hukuman Romy menjadi 1 tahun penjara dalam kasus suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag).  Pun demikian dalam kasus korupsi yang menjerat advokat Lucas, Reny dan Lafat lagi-lagi berduet mendiskon hukuman Lucas dari 7 tahun menjadi 5 tahun.

Khusus Reny ini latar belakang pendidikan doktoralnya ditempuh di Universitas Padjajaran (Unpad) pada periode yang sama dengan Pinangki. Keduanya sama-sama jebolan doktor hukum dari Unpad. Waktunya pun bersamaan. Hanya berbeda waktu setahun untuk kelulusannya.

Sebelum menjadi hakim ad hoc, Reny juga diketahui pernah menjadi tenaga ahli anggota DPR dari Partai Golkar pada periode 2010. Seorang sumber di Senayan menyebutkan pergaulan Reny memang dekat dengan kalangan politikus. Sementara sumber di Kejaksaan Agung menyebutkan, hubungan antara Reny dan Pinangki dipertemukan dalam ikatan alumni S3 ilmu hukum Unpad. Tentu saja hubungan Reny dan Pinangki, mengingatkan kita kepada Anita Kolopaking mantan kuasa hukum Joko Tjandra yang juga lulusan doktor hukum dari Unpad.

Dalam sebuah kesaksian dalam persidangan Pinangki, Anita juga menyebut pernah seangkatan dengan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali di Unpad. Sementara di Senayan diketahui Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin juga lulusan doktor hukum dari Unpad. Dan tahunnya pun sama dengan Pinangki dan Reni.

Dalam kasus skandal Joko Tjandra ini, nama Azis sempat terseret karena mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte pernah mengungkap dalam persidangan bahwa Tommy Sumardi yang menjadi perantara Joko Tjandra menelepon Azis ketika ingin mengecek status red notice. Kala itu, Tommy menelepon Azis dan menyerahkannya kepada Napoleon. Setelah itu, status red notice Joko Tjandra bisa dicek.

Dari rangkaian peristiwa ini, apakah latar belakang orang-orang alumni doktor hukum dari Unpad ini sekadar kebetulan belaka atau memang benar ada yang disebut sebagai Unpad koneksi itu? [Kristian Ginting]