Koran Sulindo – Saat memaparkan hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) 17-18 Februari 2021 pada Kamis (18/2) lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyentil masih tingginya Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) di bank-bank BUMN. Perry mengatakan SBDK di bank-bank plat merah ini tertinggi di antara bank-bank lainnya yaitu sebesar 10,79%. Sementara rata-rata SBDK di Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar 9,7%. Kemudian di bank swasta nasional sebesar 9,67%. SDBK terkecil justru di kantor cabang bank asing yaitu sebesar 6,17%. Dus, rata-rata SBDK perbankan di Indonesia masih sebesar 10,11%.
Perry mengatakan tingginya SBDK ini menjadi penyebab masih tingginya suku bunga kredit perbankan di Indonesia. Padahal di sisi lain, Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang 2020 dan kembali diturunkan sebesar 25 bps pada Februari 2021 lalu. Kini BI7DRR sudah berada di level terendah yaitu 3,5%. Tak hanya itu, melalui kebijakan quantitative easing (QE), Bank Indoneisa sudah mengguyurkan begitu banyak likuiditas ke perbankan.
Penurunan BI7DRR sebesar 125 bps sepanjang 2020 lalu telah meyebabkan rendahnya rata-rata suku bunga Pasar Uang Aantar Bank (PUAB) overnight yaitu sekitar 3,04% dan suku bunga deposito satu bulan juga telah menurun sebesar 181 basis poin ke level 4,27% pada Desember 2020. Sementara di sisi lain, penurunan suku bunga kredit masih cenderung terbatas, yaitu hanya sebesar 83 basis poin ke level 9,70% selama tahun 2020.
“Bank Indonesia mengharapkan perbankan dapat mempercapat penurunan suku bunga kredit sebagai upaya bersama untuk mendorong kredit pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional,” ujar Perry.
Pada tahun 2021 ini, Bank Indonesia memang memasang target tinggi untuk proyeksi pertumbuhan kredit perbankan yaitu sebesar 7% hingga 9%. Sementara rata-rata target pertumbuhan kredit dari kalangan perbankan sendiri sebagaimana tercermin dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebesar 7,13%. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mematok target 7% plus minus 1% atau 6% hingga 8%.
Target tinggi Bank Indonesia terhadap pertumbuhan kredit pada tahun ini, tidak saja karena kebijakan suku bunganya yang rendah, juga diikuti oleh beberapa kebijakan lainnya. Pertama, melonggarkan ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraaan bermotor baru. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif. Pelonggaran uang muka hingga 0% ini berlaku efektif 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember 2021.
Kedua, melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti yaitu rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan) bagi bank yang memenuhi kriteria NPL/NPF tertentu. Dengan LTV 100%, debitur bisa mendapatkan pinjaman senilai 100% dari nilai atau harga properti yang dibeli alias tidak perlu menyiapkan uang muka (DP) lagi. Selain itu, Bank Indonesia juga menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden. Dua kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Kebijakan ini juga berlaku efektif 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember 2021.
OJK
Sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia ini, OJK juga mengeluarkan kebijakan melonggarkan ketentuan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau bobot risiko untuk kredit kendaraan bermotor dan properti. Untuk ATMR Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) diturunkan menjadi 50% dari sebelumnya 100%. Artinya, nilai risiko KKB dianggap hanya 50% saja dari sebelumnya 100%. Selain menurunkan ATMR, OJK juga membolehkan bank yang memenuhi kriteria profil risiko 1 dan 2 untuk memberikan uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 0%.
Sedangkan ATMR untuk kredit properti adalah 35% untuk uang muka 0-30% (LTV ≥70%); tingkat ATMR sebesar 25% untuk uang muka 30-50% (LTV 50-70%); dan tingkat ATMR 20% untuk uang muka ≥ 50% (LTV ≤ 50%).
OJK juga menurunkan bobot risiko atau ATMR untuk perusahaan pembiayaan. Untuk pembiayaan kendaraan bermotor ATMR menjadi 25%-50% dari sebelumnya 37,5%-75% untuk pembiayaan multiguna; ATMR 0% untuk program kepemilikan kendaraan bermotor bagi perusahaan yang memiliki Car Ownership Program (COP); dan Perusahaan pembiayaan yang memenuhi kriteria tingkat kesehatan tertentu dimungkinkan untuk memberikan uang muka pembiayaan kendaraan bermotor sebesar 0%. Kemudian, untuk pembiayaan properti, ketentuan soal AMTR perusahaan pembiayan sama dengan ketentuan ATMR untuk kredit properti pada perbankan.
Dari sisi fiskal, pemerintah sendiri juga sebelumnya mengeluarkan insentif fiskal berupa penurunan tarif PPnBM untuk kendaraan bermotor yang berlaku mulai 1 Maret 2021. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pembelian kendaraan yang mengalami kelesuhan pada tahun 2020 lalu. Setidaknya ada 21 tipe mobil yang akan dibebaskan dari PPnBM. Bila selama ini pembelian mobil baru tersebut dikeakan PPnBM 10%,maka mulai 1 Maret 2021 menjadi 0%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, insentif penurunan PPnBM ini berlaku untuk kendaraan di bawah 1500 cc yakni kategori sedan dan 4×2.
Relaksasi kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh Bank Indonesia dan OJK bertujuan untuk mendorong daya beli masyarakat sehingga kegiatan konsumsi kembali naik. Namun, berbagai kebijakan tersebut tidak memberikan efek yang maksimal, bila akar persoalan yaitu pandemi belum terkendali. Memang saat ini, program vaksinasi sudah mulai berjalan. Tetapi, efektifitas dari vaksinasi ini baru terlihat apabila nanti mayoritas penduduk Indonesia dan juga masyarakat global sudah divaksin. Bila itu tercapai, maka mobilitas manusia kembali normal. Artinya, roda ekonomi kembali bergerak normal. Saat itulah, konsumsi baru benar-benar pulih. Dus, kredit perbankan pun akan kembali tumbuh normal. [Julian A]