Koran Sulindo – Meski sudah divonis pidana penjara selama 10 tahun, atau lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum yang menuntut pidana empat tahun penjara, pengungkapan perkara mafia hukum yang membelit jaksa Pinangki Sirna Malasari sangatlah tanggung. Pasalnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta gagal mengungkap tuntas perkara tersebut.
Majelis sejatinya mengetahui bahwa ada pihak lain yang layak untuk dimintai pertanggung jawaban pidana terkait perkara Pinangki, yang bermain mata dengan buron Djoko Tjandra, agar lolos dari jerat hukum. Hal itu dengan gamblang ditunjukkan majelis sewaktu membacakan pertimbangan vonis kepada Pinangki.
Sikap menutup-nutupi yang dimaksud hakim terjadi kala Pinangki dicecar majelis soal sosok “King Maker”. Dalam pertimbangannya, majelis hakim bahkan menyinggung Pinangki yang menyebut-nyebut King Maker kepada Djoko Tjandra saat bertemu di Malaysia.
Selain “King Maker”, mejelis juga menyinggung adanya sosok lain yang disinggung dalam rencana aksi (action plan) membebaskan Djoko Tjandra yang dijatuhi vonis pidana dua tahun penjara dalam perkara Bank Bali. Sosok-sosok itu adalah DK dan IF, “bapakmu” yang disebut-sebut dalam percakapan Pinangki-Anita.
Majelis meyakini Pinangki tidak jujur memberi keterangan bahkan terkesan menutup-nutupi keterlibatan pihak lain, yang disebut sebagai “King Maker”. Sejak awal, sudah dapat diprediksi bahwa Pinangki tidak kooperatif. Dia pun enggan melapor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi saksi-pelaku yang bekerja sama.
Kinerja pengadilan, walaupun memberi vonis tinggi, rupanya tidak mampu membongkar kasus ini hingga memaksa jaksa untuk memastikan siapa figur “King Maker” yang dimaksud dan muncul dalam percakapan “WhatsApp” Pinangki dengan saksi Rahmat.
Nampaknya, pengadilan cukup puas dengan menjatuhkan pidana penjara 10 tahun terhadap Pinangki yang dinyatakan terbukti korupsi dengan menerima suap sebesar USD 500 ribu atau setara Rp 7 miliar dari Djoko Tjandra, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
Vonis tersebut, kendati melebihi tuntutan jaksa, dianggap belum cukup menciptakan efek jera terhadap aparat agar tidak mencoba-coba bermain hukum. ICW menilai Pinangki lebih layak dipidana 20 tahun penjara karena sebagai jaksa semestinyamenegakkan hukum, bukan malah membantu buronan.
Perjalanan perkara Pinangki dimulai ketika Bareskrim Polri berhasil menjemput Djoko Tjandra dari Malaysia, dan membawanya pulang ke Indonesia, Juli 2020 yang lalu. Buntutnya, dua jenderal polisi dijerat berkaitan dengan perkara itu. Namun para jenderal itu hanya “pembantu” Djoko agar dapat keluar-masuk Indonesia dengan mudah, bukan mengurus perkaranya.
Sosok Pinangkilah kunci dari praktik lancung mafia hukum ini. Dia yang berperan menyusun rencana aksi membebaskan Djoko Tjandra melalui fatwa dari Mahkamah Agung (MA). Namun sejak awal Kejaksaan Agung (Kejagung) terlihat gagap menindak Pinangki. Tidak seperti Polri yang segera mengusut dan menjerat dua jenderal terkait perkara itu.
Lambannya Korps Adhyaksa menersangkakan Pinangki tentu menimbulkan kecurigaan, karena disebut-sebut bahwa yang bersangkutan dekat dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Maka tidaklah berlebihan jika publik bertanya apakah mungkin Pinangki bermain sendiri dalam konspirasi besar melindungi buron Djoko Tjandra.
Peran KPK
KPK yang sejak awal mengaku menyupervisi skandal hukum di awal periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, rupanya tidak menunjukkan adanya kegelisahan bahwa perkara tersebut tidak ditangani secara tuntas. Padahal, sosok “King Maker” tersebut diyakini sebagai pejabat tinggi yang masih aktif. Setidaknya, bagi Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Boyamin Saiman.
Kendati mengaku memiliki data mengenai figur tersebut, Boyamin tidak mau terbuka dengan membeberkannya kepada publik. Dia lebih memilih menyerahkannya kepada KPK untuk segera diproses.
Apabila dalam kurun waktu tertentu KPK tidak menunjukkan perannya maka Boyamin bakal mempradilankan badan antikorupsi itu, “King Maker dari unsur penegak hukum dan jabatannya tinggi. Oknum penegak hukum yang jabatannya tinggi. Itu berdasarkan versi dari salah satu saksi yang diproses ke pengadilan,” kata Boyamin di Kantor KPK.
Menurutnya, KPK telah memiliki data tersebut setidaknya sejak September 2020. Namun hingga Pinangki divonis, KPK belum mengambil tindakan konkret dengan mengadakan penyelidikan atau pemanggilan.
Sejak awal, sudah muncul desakan publik agar KPK mengambil alih perkara Pinangki dari Kejaksaan Agung. Hal ini dianggap penting untuk menghindari kesan “jeruk makan jeruk”, namun Kejaksaan menyatakan mampu menindak Pinangki dan bersedia untuk disupervisi.
Sekalipun begitu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan terbuka peluang bagi KPK untuk melakukan pendalaman menjerat pihak lain yang gagal diungkap jaksa dan pengadilan, termasuk memastikan siapa sosok “King Maker”.
“Kalau ada dugaan-dugaan tindak pidana korupsi lain yang belum diungkapkan tentu kami sangat terbuka. Tapi tentu kami akan menunggu dari hasil putusan dulu sejauh mana kemungkinan itu,” kata Ghufron. Apakah kasus Pinangki ini akan terus mengalir sampai jauh, atau kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang? [Erwin C. Sihombing]