Koran Sulindo – Saya terlibat diskusi dan perdebatan sebuah grup di internet yang berlangsung bertahun-tahun. Mula-mula banyak orang yang turut serta sehingga perdebatan cukup ramai dan sengit. Seiring berjalannya waktu, peserta mulai rontok, menghilang, akhirnya tinggal dua-tiga orang saja, termasuk pengelola grup yang merupakan agen dan terompet propaganda kaum penguasa revisionis Tiongkok. Tema yang diperdebatkan cukup beragam. Namun pada pokoknya berkisar pada masalah sosialisme, kapitalisme, revisionisme modern, penghi sapan dan penindasan, Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP), pembangu nan dengan politik berdikari atau bersandar pada penanaman modal asing dan utang serta imperialisme.
Cara atau Corak Produksi
Untuk membedakan sistem ekonomi sebuah negeri tertentu dari sistem negeri lain, teori Marxis mengajukan konsep corak produksi atau mode of production yang terdiri dari dua aspek, yaitu tenaga produksi dan hubungan produksi.Tena ga produksi adalah semua elemen yang terlibat dalam proses produksi, dari ta nah, bahan baku, bahan bakar, pabrik, mesin dan peralatan kerja sampai ke trampilan tenaga kerja. Sedangkan hubungan produksi adalah hubungan antara manusia dalam proses produksi. Sifat dari hubungan produksi ditentukan oleh siapa yang memiliki alat produksi: apakah alat produksi itu dimiliki dan digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai profit atau milik rakyat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya.
Jadi, menentukan sistem ekonomi sebuah negeri itu bukan seenak perut sendiri seperti orang yang bangun tidur, setelah mimpi buruk, dengan bersungut-sungut, karena tidak menemukan argumentasi untuk membela “sosialisme dengan ciri Tiongkok”, lantas menjajakan pepesan kosongnya, yaitu bahwa di dunia ini belum pernah ada sosialisme!
Demi membatasi perlawanan rakyat, dedengkot revisionis Tiongkok nomor dua, Deng Xiaoping, tidak mau terang-terangan mengakui bahwa reform yang ia lakukan adalah untuk menghancurkan dasar ekonomi sosialis guna melapangkan jalan menuju kapitalisme.
Mobo Gao, dalam The Battle for China’s Past menulis bahwa sejak akhir tahun 1970-an sampai akhir hayatnya, Deng Xiaoping bersikeras tidak memperdebatkan soal apakah Tiongkok sebuah negara sosialis atau kapitalis. Deng menganggap perdebatan akan menghalangi perkembangan. Lahirlah apa yang disebut “sosialisme dengan ciri Tiongkok” atau “sosialisme dengan ekonomi pasar”.
Memang licik si Deng ini! Dengan sengaja ia gunakan strategi “gelap-gelap-terang”, untuk mengelabui orang. Dengan demikian ia bisa berangsur-angsur memasukkan unsur-unsur kapitalisme. Walau begitu, tak dapat ia mencegah berbagai bentuk perlawanan buruh dan tani kepada reform kapitalis Deng dan negasi terhadap Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP).
Misalnya, tahun 1985, di Xianyang, Provinsi Shaanxi, sebuah poster berjudul “Revolusi Kebudayaan Baik” (Wenhua da geming hao) dipasang di Pabrik Kapas Nomor 1. Di poster itu dideretkan hal-hal positif yang terjadi selama RBKP berkobar, antara lain pembangunan Jembatan Nanjing, diciptakannya tanaman padi hibrida, dan peningkatan kesadaran rakyat. Bukan hanya penguasa kota dan provinsi yang dibikin khawatir oleh poster itu, di Peking pun jadi gugup! Dikirimlah tim untuk mencari apa yang mereka sebut “kaum reaksioner aktif”. Akhirnya yang dituduh bersalah adalah seorang buruh muda sebuah pabrik sepatu. Ia dihukum sepuluh tahun, namun mati di penjara tak lama setelah ditangkap. Sebab kematian, walahualam!
Sementara itu Profesor Wertheim berpendapat : ”Pada awal tahun 80-an, menjadi cukup jelas bagi saya bahwa politik yang dijalankan oleh Partai Komunis Tiongkok, walau masih mempertahankan nama dan pura-pura mendukung ’Fikiran Mao Zedong’, sudah sama sekali meninggalkan apa yang saya namakan model perkembangan Mao. Pukulan terakhir terhadap politik Mao adalah dibongkarnya komune rakyat dan menggantikan ’garis massa’ Mao dengan komitmen sepenuhnya kepada tindakan hukum sebagai cara untuk menjamin kesepakatan rakyat dengan tujuan yang ingin dicapai pimpinan partai. Pernyataan Deng Xiaoping bahwa ’memperkaya diri sendiri adalah sesuatu yang harus dipuji’ berarti, dalam praktik sebenarnya, kapitalisme diundang masuk melalui pintu depan”. (Wim F. Wertheim: Lasting Significance of Mao Model For Third World Countries)
Pengertian tentang apa itu sosialisme menyangkut apakah orang itu menggunakan Marxisme atau menyelewengkan dan merevisinya untuk membuat “teori” sendiri, yang menerima dan membenarkan penghisapan. Padahal tujuan sosialisme adalah menghapus penghisapan. Bung Karno saja, yang bukan komunis, menginginkan sosialisme tanpa exploitation de l’homme par l’homme (tanpa penghisapan manusia oleh manusia).
Liu Shaoqi, Tokoh Remo Tiongkok Nomer Satu
Coba lihat poster di atas. Kiri atas “Liu tukang sihir”; kiri bawah “Keluarkan Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping dari Komite Sentral Partai; kanan atas, Liu dipanggul seseorang dan tongkatnya menunjuk ‘Kembali ke Kapitalisme’, kanan bawah “Ganyang Liu Shao-qi”.
Antek remo sering protes dan menolak tuduhan RBKP bahwa Liu Shaoqi dan Deng Xiaping revisionis. “Tuduhan” bisa benar dan bisa juga ngawur. Kita harus lihat sepak terjang mereka dalam prakteknya. Liu dan Deng memang merupakan sasaran pokok RBKP, karena mereka revisionis dan mengambil jalan kapitalisme. Ini bertentangan dengan Mao yang ingin mengkonsolidasi sosialisme menuju komunisme. Saya masih ingat poster berhuruf besar atau dazibao dalam bahasa Tionghoa, memuat tulisan dan karikatur yang menunjuk Liu sebagai Khruschov Tiongkok. Khruschov adalah pentolan remo Soviet. Kalimat “Khrushchov yang tidur di samping kita” dan slogan “Ganyang Liu-Deng” berdengung terus mene rus melalui pengeras suara di Universitas Peking (Bejing).
Kudeta 1976
Hanya satu bulan setelah Mao meninggal, terjadi penangkapan terhadap apa yang dinamakan “Gang of Four” yang terdiri atas Jiang Qing, istri Mao dan anggota Politbiro (PB); Wang Hongwen, anggota PB dan wakil ketua kedua PKT, Zhang Chunqiao, anggota Komite Tetap PB, wakil ketua kedua PM, Yao Wen yuan, anggota PB. Segera setelah itu, dilancarkan penangkapan, persekusi dan pembunuhan terhadap pendukung Mao. Misalnya, Mao Yuanxin, putra Mao Zemin, adik bungsu Mao Zedong, yang kemudian menjadi penghubung Mao dengan Komite Sentral, ketika Mao sudah mulai sakit-sakitan, juga ditangkap dan dipenjara.
Selama RBKP berkobar, banyak kader muda yang berasal dari buruh dan tani dipromosikan untuk menduduki jabatan memimpin dalam partai dan pemerintah. Dan tak sedikit dari mereka adalah perempuan. Jelas terlihat politik Mao untuk mengubah dominasi kaum pria dalam hirarki birokratis PKT. Mereka adalah: Wu Guixian, buruh tekstil menjadi wakil PM; Lü Yulan, tani menjadi sekretaris Partai Provinsi Henan; Wei Fengying, buruh menjadi anggota Komite Sentral; Xing Yan zi, pemudi aktivis menjadi sekretaris Partai Tienjin; Li Suwen, pelayan toko menjadi wakil ketua Kongres Rakyat Nasional; Gu Atao, tani menjadi anggota Komite Sentral; Wang Xiuzhen, buruh tekstil menjadi sekretaris Partai Shanghai. Kaum pria yang dipromosi juga orang-orang “biasa”, seperti Zhuang Zedong, tiga kali kampiun pingpong dunia menjadi kepala Kementerian Olahraga; Chen Ada, buruh menjadi anggota Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional, Yu Huiyong, guru musik menjadi Menteri Kebudayaan sebelum ditangkap; HaoLiang, aktor opera Peking menjadi Wakil Menteri Kebudayaan, Liu Qingtang, penari balet menjadi Wakil Menteri Kebudayaan; Chen Yonggui, tani menjadi wakil PM dan masih banyak lagi.
Bersama dengan “Gang of Four”, semua mereka disingkirkan! Persis seperti Soeharto menyingkirkan semua menteri, anggota DPR dan MPRS yang pro-Soekarno!
Dalam menilai Mao dan RBKP, antek remo selalu bertolak dari dokumen dan pernyataan resmi yang dikeluarkan setelah semua pengikut Mao disingkirkan. Persis seperti orang-orang anti komunis menilai sejarah perjuangan rakyat dan PKI dengan menggunakan otak dan kaca mata Orde Baru.
Deng Xiaoping berkuasa setelah kliknya menyingkirkan grupnya Hua Guofeng, 1978. Dimulailah setahap demi setahap pembongkaran sistem sosialis melalui pembubaran Komune Rakyat, penghapusan status buruh tetap, hak mogok dan hak-hak demokratis yang didapat berkat RBKP, yaitu empat kebebasan besar: Kebebasan Besar untuk Bersuara, Keterbukaan Besar, Perdebatan Besar dan Kebebasan untuk Memasang Poster Berhuruf Besar. Dan juga perubahan dalam konstitusi partai dan negara.
Xing Li, seorang akademisi Tiongkok, dalam The Chinese Cultural Revolution Revisited, menulis “Reformasi pasar yang berlangsung berarti kemenangan garis revisionis. Dilihat dari perspektif sekarang, hal itu menunjukkan bahwa PKT bertekad, atas nama kelas buruh, untuk melaksanakan proyek hegemoniknya sendiri yang dalam praktik sebenarnya merugikan kepentingan dan kesejahteraan kelas pekerja”. “Dalam retrospeksi, tak akan salah kalau kita mengklaim bahwa Revolusi Kebudayaan pada dasarnya benar dalam memprediksi kemerosotan PKT dan ditinggalkannya Marxisme sebagai pedoman teoritis, serta restorasi kapitalisme dalam politik kepemimpinannya. Mereka yang tadinya merupakan “antek kapitalis” telah mengkonsolidasi dirinya sebagai komprador “sosialisme pasar” sekarang ini.
Praktik dan kenyataan di Tiongkok dewasa ini membuktikan apa yang disebut antek remo “tuduhan revisionis” bukanlah tuduhan yang ngawur. Sepak terjang mereka sendiri yang membelejeti dirinya sebagai revisionis pengambil jalan kapitalis. Xing Li pun berpendapat, banyak dari prediksi dan peringatan yang dikemu kakan Mao dalam RBKP terkonfirmasi sekarang.
Pepesan Kosong Apa Saja yang Dijajakan Antek Remo-Kapitalis?
Untuk mencoba membenarkan reform kapitalis Deng yang melahirkan “sosialisme dengan ciri Tiongkok”, muncullah berbagai macam alasan dan “teori”. Sebenarnya banyak orang remo yang tahu dan sadar sosialisme yang mana yang diperjuangkan oleh Marx, Engles, Lenin, Stalin dan Mao
Salah satu jasa dan sumbangan besar Marx kepada umat manusia adalah penulisan “Das Kapital” di mana ia mengkaji dan mengkritik kapitalisme, sebuah sistem yang berdasar pada kepemilikan pribadi, dan hubungan sosial yang dilahirkannya. Di situlah orang akan mengenal apa itu nilai lebih yang dihasilkan oleh kaum buruh tapi dirampas oleh pemilik alat produksi alias kaum kapitalis. Di mana ada nilai lebih yang dirampas kapitalis, di situ ada penghisapan. Tapi antek remo itu menjajakan bualannya seolah-olah “kapitalnya” kaum kapitalis Tiongkok lebih baik, lebih manusiawi dan bersahabat dari pada kapitalnya kaum kapitalis AS, Eropa, Jepang atau negeri lain. Ia menolak untuk mengakui bahwa modal tidak punya kebangsaan, semua modal yang ditanam bertujuan mencari profit semaksimum mungkin.
Agen remo senang sekali bicara tentang kapitalis yang membantu usaha pengentasan kemiskinan. Ia ingin menunjukkan betapa luhur dan agung budi para kapitalis itu sehingga mereka tidak saja tidak boleh dilawan, malah harus dipuji dan didukung! Sedekah tidak menghilangkan sumber kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Sedekah tidak memuliakan, atau meningkatkan harkat dan memberdayakan manusia.
Dalam hubungan dengan kaum kapitalis ini, agen remo selalu kembali kepada tahap revolusi demokrasi baru yang dilancarkan rakyat Tiongkok sejak pendirian PKT sampai pembebasan tahun 1949 dan diteruskan sampai kira-kira tahun 1950-an. Itulah periode revolusi demokrasi baru di mana kaum borjuasi nasional progresif merupakan sekutu revolusi, bukan sasaran revolusi.
Juni 1950, Mao mengkarakterisasi situasi sebagai berikut: ”Pada akhirnya kaum borjuasi nasional tidak akan ada lagi, tetapi pada tahap saat ini kita harus mengumpulkan mereka di sekitar kita dan tidak mendorong mereka keluar. Di satu pihak, kita harus berjuang menentang mereka, di lain pihak kita harus bersatu dengan mereka.” (Jangan memukul ke semua arah PT MTT V)
Agen remo hanya ingat “bersatu dengan mereka”. Ia melupakan “kita harus berjuang menentang mereka”. Dua tahun kemudian, situasi sudah begitu berubah sehingga Mao menggaris bawahi: ”Kontradiksi antara klas pekerja dan klas borjuasi adalah kontradiksi pokok di Tiongkok” (Ibid, 77). Dalam rapat politbiro tanggal 15 Juni 1953, Mao mengajukan ”garis umum untuk periode transisi”, yaitu rencana lima tahun pertama untuk transisi ke sosialisme. (Roxane Wittke ”Camarade Chiang Ch’ing)
Artinya, pada tahun 1952-53, periode revolusi demokrasi baru sudah selesai! Tiongkok masuk dalam periode transisi ke sosialisme di mana kontradiksi pokok yang harus diselesaikan adalah antara kelas pekerja dan kelas borjuasi. Kaum borjuasi, sebagai kelas, tidak lagi merupakan sekutu dalam periode membangun sosialisme. [Tatiana Lukman]