Nasabah Kresna Life minta perlindungan OJK/Kompas.com

Koran Sulindo – Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Desember lalu ramai didatangi nasabah PT Asuransi Jiwa Kresna (AJK) atau Kresna Life. Hari itu adalah jadwal rapat perdana pasca dikeluarkannya putusan Penundanaan Kewajiaban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara Kresna Life.

Dalam rapat kreditor pertama sebelum salat Jumat itu, para pemegang polis Kresna Life dan kuasa hukum mereka melayangkan protes keras atas putusan dengan nomor 389/Pdt.SusPKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst itu. Putusan tersebut dinilai cacat hukum. Sebab, sesuai pasal 50 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, PKPU untuk perusahaan asuransi hanya bisa diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tetapi anehnya majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetap mengabulkan PKPU yang diajukan oleh Pemohon Lukman Wibowo itu.

Alih-alih membahas rencana tindak lanjut putusan PKPU tersebut, pada rapat kreditor perdana tersebut, para Pemegang Polis mempertanyakan apa yang menjadi pertimbangan hukum Mejelis Hakim sehingga mengabulkan PKPU yang diajukan oleh Pemohon. “Kami butuh informasi lebih lanjut mengenai kenapa PKPU ini bisa sampai dikabulkan,” ujar Santy, juru bicara nasabah dalam rapat itu.

Protes senada juga dilayangkan oleh Alvin Lim SH, MSc, CFP, dari kantor hukum LQ Lawfirm yang mendamping nasabah Kresna Life hari itu.  Alvin mengatakan dalam rapat kreditor pertama ini, pihaknya mengajukan protes keras atas putusan PKPU Sementara itu, sebab sesuai Undang-Undang Perasuransian hanya OJK yang berhak mengajukan gugatan PKPU untuk perusahaan asuransi. “Jadi bila ada orang lain yang mengajukan [PKPU] dan disetujui oleh hakim, kita bingung ini ada apa? Mengapa putusannya bisa seperti itu?”, ujar Alvin kepada wartawan usai rapat itu.

Namun yang mengecewakan kreditor atau dalam hal ini Pemegang Polis Kresna Life adalah dalam rapat kreditor itu tidak ada yang bisa mejelaskan pertimbangan hukum dikeluarkannya putusan PKPU tersebut. “Kalau memang peradilannya benar, apa susahnya membacakan pertimbangkan hakim untuk memberikan keputusan. Ini [malah] tidak mau. Ini sudah aneh di situ,” ujar Alvin yang didamping oleh para Pemegang Polis.

Tan, seorang nasabah kepada Koran Suluh Indonesia menduga PKPU tersebut bagian dari skenario Kresna Life untuk menghindari kewajiban kepada para nasabah atau Pemegang Polis. “Dari Kresna mendesak nasabah untuk tanda tangan PKB kami sudah mencium bau busuknya,” ujar perempuan tersebut.

PKB yang dimaksud Tan adalah Perjanjian Kesepakatan Bersama antara Kresna Life dan Pemegang Polis terkait rencana pembayaran yang dibuat perusahaan pada September lalu. Meskipun skema pembayaran tersebut sudah melenceng jauh dari perjajian di dalam Polis, tetapi banyak nasabah yang menyetujui karena tak ada pilihan lain.

Mengutip siaran pers OJK pada 23 Desember lalu, sampai 18 Desember 2020, Kresna Life telah menerima persetujuan Perjanjian Kesepakatan Bersama atas 8.054 polis (77,61% dari jumlah polis) atas kewajiban senilai Rp3,85 triliun (55,76% dari total kewajiban). Kresna Life juga telah mulai melakukan pembayaran kewajiban kepada pemegang polis senilai Rp283,60 miliar untuk 5.672 polis. Akibat adanya PKPU Sementara ini, pembayaran kepada para nasabah yang sudah menandatangani atau menyetujui PKB pun tidak bisa dilaksanakan.

Tak heran, nasabah seperti halnya Tan pun menduga PKPU hanya siasat dari Krensa Life untuk menghindar dari kewajibannya kepada Pemegang Polis. Sejak Februari 2020 Kresna sudah tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran terhadap pemegang polis.

Manajemen Kresna Life dalam dua surat kepada Pemegang Polis pasca dikeluarkannya putusan PKPU sementara menyatakan menghormati putusan tersebut. Bahkan dalam surat tertanggal 22 Desember, Kresna Life menyatakan ‘tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU’. Hal tersebut merujuk pada ketentuan dalam Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Kresna Life hanya bisa mengajukan rencana perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU.

Karena itu, dalam surat yang diteken oleh Direktur Utama Kresna Life Kurniadi Sastrawinata itu, Pemegang Polis diminta untuk mendaftarkan dan mengajukan seluruh tagihan ke Pengurus Kresna Life, baik Pemegang Polis yang sudah tanda tangan PKB maupun yang belum.

Di Mana OJK?
Saat putusan PKPU dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini keluar, sebenarnya Kresna Life dalam status Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sanksi tersebut diberikan karena Kresna Life tidak menjalankan tiga rekomendasi hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh OJK. Tiga rekomendasi ini sekaligus menggambarkan buruknya tata kelola dan kondisi keuangan Kresna Life.

Mengtuip surat OJK tertanggal 9 Desember, tiga rekomendasi tersebut adalah, pertama: menurunkan konsentrasi penempatan investasi pada pihak terafiliasi Grup Kresna. Seorang sumber membisikan Kresna Life berinvestasi pada grup terafiliasi mencapai 75%, jauh di atas ambang batas 25%. Diduga porsi investasi yang terlalu besar pada afiliasi ini menyebabkan Kresna Life tidak bisa membayar kewajiban kepada nasabah (insolvent) karena saham-saham perusahaan afiliasinya turun.

Rekomendasi kedua dari OJK yang tidak dijalankan oleh Krensa Life adalah menyelesaikan kewajiban terhadap seluruh pemegang polis, antara lain dengan membuat kesepakatan penyelesaian kewajiban. Rekomendasi ini sebenarnya sebagian sudah diselesaikan melalui PKB yang sudah disetujui oleh sebagian besar pemegang polis.

Rekomendasi OJK yang ketiga adalah memenuhi ketentuan Rasio Pencapaian Solvabilitas minimum sebesar 100%.  Artinya, rasio solvabilitas Krensa Life berada di bawah ketentuan itu. Solavabilitas adalah rasio keuangan yang mencerminkan kemapuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajiban baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Sanski Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) pada 9 Desember 2020 ini sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya Krensa Life sudah diganjar dengan sanksi serupa pada 3 Agustus 2020, namun sudah dicabut pada 4 November 2020.

Artinya, dari sisi pengawasan OJK sebenarnya sudah menjalankan tugasnya, meskipun tentu bagi nasabah Kresna Life lembaga yang dibentuk tahun 2011 ini belum menunjukkan taringnya sebagai lembaga pengawas sekaligus pelindung bagi nasabah sektor keuangan. Dalam kasus PKPU misalnya, OJK terkesan lamban bertindak untuk mencegah terjadinya PKPU itu. Sebab, seperti diakui oleh OJK dalam siaran pers 23 Desember, ada dua pihak yang mengajukan permohonan PKPU terhadap Kresna Life kepada OJK yaitu permohonan dari JG Law Firm mewakili pemohon atas nama Lie Herton dan Rudy Kartadinata melalui surat tanggal 6 Agustus 2020. Kemudian, yang kedua Permohonan dari Kantor Hukum Benny Wullur SH & Associates mewakili 15 (lima belas) pemegang polis PT Asuransi Jiwa Kresna melalui surat tanggal 11 Agustus 2020.

OJK menyatakan tidak pernah menyetujui permohonan dari pihak manapun untuk mengajukan PKPU terhadap PT Asuransi Jiwa Kresna. Tetapi anehnya, saat proses PKPU itu berjalan tak ada langkah hukum dari OJK untuk mencegah adanya putusan PKPU tersebut. Padahal OJK juga menyatakan bahwa sesuai pasal 50 Undang-Udang Perasuransian hanya OJK yang berhak mengajukan PKPU perusahaan asuransi.

Pasca-keluarnya putusan PKPU, OJK mengaku sudah bertemu dengan manajemen Kresna Life. “Menindaklanjuti pertemuan dengan manajemen Kresna, OJK menyampaikan surat yang meminta PT AJK untuk melakukan upaya-upaya hukum terhadap Putusan Pengadilan dimaksud termasuk upaya hukum luar biasa, sesuai ketentuan perundang-undangan,” tulis OJK dalam siaran pers.

Tetapi sehari sebelumnya (22 Desember), manajemen Kresna Life menyatakan tidak bisa menempuh upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU tersebut selain upaya rencana perdamaian. Kalau sudah begini lantas apa yang bisa dilakukan oleh OJK untuk melindungi ribuan pemegang polis Kresna Life? Tentu langkah OJK menjadi pertaruhan untuk kepercayaan masyarakat akan asuransi jiwa di Indonesia. [Julian A]