Koran Sulindo – Pengumuman Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada pekan pertama September lalu soal penanganan wabah Covid-19 menyedot perhatian publik. Anies menyebut terpaksa menarik “rem darurat” karena pertumbuhan kasus Covid-19 terus meningkat dari hari ke hari terutama di DKI Jakarta.
Ketika ia menyampaikan pengumuman itu, DKI Jakarta menjadi provinsi yang memiliki jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 terbanyak di Indonesia. Angkanya menembus 48.393 orang. Dari jumlah ini sebanyak 35.383 dinyatakan sembuh dan 1.317 orang meninggal dunia.
Sementara orang yang dites swab dengan metode PCR pada waktu itu dalam sepekan terakhir mencapai 55.424 orang. Jumlah ini disebut berada di atas standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kota selevel DKI Jakarta minimal melakukan tes 10.645 per pekan.
Berdasarkan pertumbuhan kasus positif Covid-19 itu, Anies lantas menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total. Dengan kata lain, PSBB yang diterapkan kali ini sama dengan pemberlakuan ketika wabah corona mulai merebak pada Maret lalu. Dan ini berlaku selama 14 hari sejak 14 September 2020.
Dengan penerapan PSBB ini, maka semua aktivitas masyarakat mulai dari bekerja, belajar, beribadah dan urusan yang tidak mendesak lainnya dilakukan dari rumah. Sementara 11 sektor usaha vital tetap diperbolehkan beroperasi dan tentu saja dibatasi. Adapun 11 sektor usaha itu adalah kesehatan, bahan pangan/makanan/minuman, energi, komunikasi dan teknologi informatika, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri strategis, pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional dan objek tertentu, dan objek tertentu serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Pengumuman Anies lantas sempat memicu beragam respons. Umumnya mereka mengkritik kebijakan Anies itu. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, misalnya, mengatakan, kendati kasus positif Covid-19 di Indonesia meningkat, namun penanganannya dari sisi kesehatan tetap terjamin termasuk di Jakarta.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 itu mengatakan, kapasitas kesehatan untuk menangani pasien Covid-19 masih tetap tersedia. Dari aspek dana pun, pemerintah masih mampu dan akan tetap menambahnya sesuai dengan kebutuhan dalam menangani masalah Covid-19. “Kita meyakinkan bahwa seluruh daerah termasuk DKI Jakarta fasilitas kesehatan akan terus dimaksimalkan oleh pemerintah,” kata Airlangga seperti dikutip CNBC Indonesia pada awal pekan kedua September lalu.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, PSBB merupakan salah satu protokol kesehatan yang harus dilaksanakan untuk menekan penyebaran Covid-19. Seperti pedang bermata dua, PSBB disebut juga berdampak buruk terhadap perekonomian. Itu pula yang dirasakan di berbagai negara karena menerapkan PSBB total alias lockdown: berdampak kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Indonesia pun mengalaminya ketika PSBB diterapkan pada Maret lalu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga -5,32% pada Kuartal II/2020. Tidak ingin masuk dalam jurang resesi, pemerintah pusat termasuk DKI Jakarta mulai menerapkan PSBB transisi. Bukannya mampu menekan penyebaran Covid-19, justru PSBB transisi mendorong penyebaran Covid-19 sehingga kasusnya meningkat tajam dalam sebulan terakhir.
Selain pemerintah, para pelaku usaha pun tidak ketinggalan mengkritik Anies. Pengusaha sektor properti, misalnya, menyebutkan, PSBB akan berdampak negatif terhadap perekonomian terutama karena pusat perbelanjaan menjadi salah satu yang akan ditutup selama kebijakan tersebut diberlakukan. CEO PT Intiland Development Tbk Hendro S. Gondokusumo mengatakan, penjualan properti selama PSBB diterapkan pada April lalu tinggal 30%.
Ketika PSBB transisi diberlakukan, penjualan properti mulai meningkat 40% hingga 50%. Karena itu, kata Hendro, dengan penerapan PSBB kembali, maka penjualan properti diperkirakan akan turun lagi. Dan ini akan berpengaruh kepada 175 rantai pasok industri yang menyokong sektor properti. Juga ada 30 juta tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor tersebut.
Orang terkaya Indonesia versi Forbes pun menanggapi PSBB yang kembali diterapkan Anies. Adalah Budi Hartono yang menuliskan surat kepada Presiden Joko Widodo yang mengungkapkan ketidaksetujuannya atas penerapan PSBB. Selain karena tidak tepat, PSBB disebut tidak mampu menurunkan tingkat pertumbuhan infeksi di Jakarta.
Per 20 September 2020, kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 3.989 kasus. Dengan begitu, total kasusnya menjadi 244.676 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 177.327 orang dinyatakan sembuh dan 9.553 orang meninggal dunia. Melihat angka yang terus bertumbuh ini, muncul pertanyaan kapan gelombang pertama kasus Covid-19 akan mencapai puncaknya? Sebab, di negara-negara lain penyebaran Covid-19 ini sudah memasuki gelombang kedua. Artinya kasus terinfeksi di sebuah negara sudah mencapai puncak dan mengalami penurunan tajam setelah mereka mampu menekan laju penyebarannya.
Menuju Puncak?
Soal ini, Kepala Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Nuning Nuraini mengatakan, pihaknya belum bisa memperkirakan puncak dan ujung penyebaran Covid-19 pada gelombang pertama. Pasalnya, nilai reproduksi harian masih di atas satu, tingkat okupansi rumah sakit tinggi dan belum ada penurunan kasus dua minggu berturut-turut. Justru data menunjukkan, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai ribuan per hari.
“Jika semakin besar maka akan semakin lama puncaknya,” kata Nuning seperti dikutip BBC News Indonesia pada pertengahan September lalu.
Menurut Pengurus Pusat Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia, peningkatan kasus tersebut menyebabkan rumah sakit mengalami kelebihan kapasitas, dari ambang batas maksimal 65% dan kini mencapai 85%. Ini terjadi karena masyarakat dinilai kurang disiplin dalan menerapkan protokol kesehatan dan pelonggaran PSBB yang terlalu cepat. Ketidaktaatan masyarakat menjalankan protokol kesehatan karena empat hal yaitu keterbatasan pengetahuan, tidak ada pengalaman dan pengelihatan, serta penyebaran berita bohong.
Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang tingkat kasus positif Covid-19 terus meningkat. European Centre for Disease Prevention and Control menyebut, selain Indonesia, ada Argentina, Irak dan Ukraina yang terus mengalami peningkatan kasus per hari dari akhir Februari hingga petengahan September 2020. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan tingkat kematian tertinggi karena Covid-19.
Soal ketidakmampuan pemerintah Indonesia menangani penyebaran kasus Covid-19 sudah diulas oleh media luar negeri Reuters pada Agustus lalu. Dalam laporannya Endless first wave: how Indonesia failed to control coronavirus media berbasis Amerika Serikat ini menyebutkan, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan tradisional dalam menangani Covid-19. Tidak lazim. Ortodoks. Tidak ilmiah. Tingkat pengujian di Indonesia pun disebut terendah di dunia, juga dalam menelusuri orang-orang yang diduga terinfeksi Covid-19.
Bahkan ketika jumlah kasus positif meningkat, pemerintah yang berwenang menolak untuk menerapkan pembatasan sosial. Menanggapi situasi itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Prijo Sidipratomo mengatakan, pada dasarnya yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Artinya, upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan cara membiarkan imunitas alami tubuh. Jadi, orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh kuat akan bertahan dan tidak memiliki daya tahan tubuh tidak akan bertahan.
“Jadi, kita harus menggali banyak kuburan,” kata Prijo seperti dikutip Reuters Agustus lalu.
Meski fakta kasus Covid-19 terus meningkat, pemerintah berkeras bahwa apa yang terjadi di Indonesia tidak separah negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Brasil yang jumlah kasus positif Covid-19 mencapai jutaan orang. Bedanya, India dan Filipina, misalnya, jumlah yang diuji empat kali lebih banyak dibanding Indonesia. Sementara AS,30 kali lebih banyak dibanding Indonesia.
Karena itu, kata ahli epidemiologi Universitas Indonesia Iwan Ariawan, gelombang penyebaran virus corona belum akan mencapai puncaknya. Kemungkinan puncak gelombang pertama di Indonesia terjadi pada Oktober nanti. Dan bisa jadi kasus Covid-19 tidak akan berhenti hingga akhir tahun ini.
Lantas mengapa situasi ini bisa terjadi? Pemerintah disebut terlalu lambat dalam menanggapi dan terkesan menyembunyikan informasi perihal Covid-19 ini dari masyarakat. Semisal, Presiden Joko Widodo pada 13 Maret lalu mengungkapkan, pihaknya sengaja menahan laju informasi soal Covid-19 agar tidak menimbulkan kepanikan. Itu sebabnya, dalam dua pekan pertama sejak wabah corona merebak di Indonesia, pemerintah tidak mengumumkan setidaknya setengah dari orang yang positif Covid-19
Belum lagi dengan alat untuk menguji orang terkena infeksi virus corona. Awalnya pemerintah menganjurkan agar menggunakan metode uji cepat atau rapid test secara massal. Dan terbukti tingkat validitasnya sangat rendah. Baru kemudian pemerintah beralih ke metode polymerase chain reaction (PCR). Pemerintah mengklaim ada 269 laboratorium yang menggunakan mesin PCR siap beroperasi.
Akan tetapi, karena jumlah yang terinfeksi Covid-19 terus meningkat, laboratorium tersebut menjadi kewalahan. Masalah lainnya adalah kapasitas laboratorium yang belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal laboratorium di Indonesia disebut mampu menguji 30 ribu orang per hari. Artinya dua kali lipat dari rata-rata jumlah harian yang dites mencapai 12.650 dalam sebulan terakhir.
Kegagalan mengoptimalkan laboratorium itu karena pemerintah yang salah kelola sehingga menyebabkan kekurangan staf dan reagen atau cairan yang digunakan untuk mengetahui reaksi kimia dalam menguji virus corona. Pemerintah tidak mau menanggapi semua ini termasuk salah kelola dalam mengurus laboratorium itu.
Di samping tes, pemerintah Indonesia juga tak maksimal dalam melacak orang yang sempat kontak atau berkomunikasi secara fisik dengan orang yang positif Covid-19. Padahal pelacakan orang yang kontak dengan orang yang positif Covid-19 kunci utama memutus rantai penyebaran virus corona. Kesimpulan yang diperoleh Reuters pelacakan yang dilakukan pemerintah ceroboh dan sama sekali tidak efektif.
Karena itu, tidak perlu heran ketika negara-negara lain sudah memasuki gelombang kedua, maka Indonesia akan selalu berada di gelombang pertama. [Kristian Ginting]