Kantor Asuransi Jiwasraya
Ilustrasi: Kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019)/Antara Foto-Galih Pradipta

Koran Sulindo – PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyatakan kondisi perseroan periode 2012-2017, pada saat perusahaan menerbitkan produk JS Saving Plan, belum mengalami gagal bayar.

“Tapi sejak 2017 terjadi peningkatan signifikan jumlah kewajiban dan klaim karena terbebani oleh produk JS Saving Plan, yang saat itu menjanjikan bunga pasti (“fixed rate”) yang pernah mencapai 10 persen atau jauh di atas rata-rata bunga deposito,” kata Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko, di Jakarta, Kamis (2/7/2020).

Menurut Hexana, Jiwasraya benar-benar mengalami gagal bayar pada Oktober 2018.

“Ketika saya masuk Jiwasraya pada 27 Agustus 2018, kondisi keuangan Jiwasraya sudah sangat memprihatinkan dengan rugi Rp4,1 triliun belum diaudit (unaudited) per Juni 2018,” katanya.

Persoalan itu mengakibatkan tidak ada cadangan gaji, operasional kantor, dan tidak bisa membayar utang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek untuk klaim produk JS Saving Plan.

“Ini kondisi 2 bulan sebelum Jiwasraya benar-benar gagal bayar di Oktober 2018”, ujarnya.

Selain itu, adanya penempatan portofolio investasi Jiwasraya pada saham lapis ketiga dan instrumen reksadana tunggal, yang diduga tidak menggunakan kaidah dan standar profesional pelaku investasi di pasar modal, juga turut menjadi faktor perseroan mengalami kerugian.

Posisi utang membengkak dalam jumlah sangat besar. Utang Jiwasraya yang sangat besar itu berakibat rasio kesehatan modal perusahaan asuransi atau Risk Based Capital (RBC) negatif.

Saat itu Hexana dan Asmawi Syam, saat itu masih menjabat sebagai Direktur Utama Jiwasraya, melaporkan kondisi tersebut ke Kementerian BUMN, yang lalu meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit tujuan tertentu terhadap laporan keuangan Jiwasraya.

Masalah kian bertambah ketika pada Januari 2020 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan adanya manipulasi pencatatan laporan keuangan atau “window dressing”, serta temuan mengenai adanya pencatatan keuntungan (laba) yang semu selama bertahun-tahun.

BPK melakukan investigasi awal terhadap Jiwasraya atas inisiatif sendiri.

“Masalah Jiwasraya itu pelik. Tapi kami manajemen baru bersama Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, OJK dan stakeholder lainnya berkomitmen terus menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Perlu dukungan untuk menyelesaikan restrukturisasi yang sedang berjalan dan sebentar lagi selesai, sehingga bisa memenuhi kewajiban terhadap nasabah,” kata Hexana.

Jiwasraya menyelesaikan pembayaran kepada nasabah dengan nilai Rp480 miliar yang diperoleh dari optimalisasi aset-aset Jiwasraya yang masih bisa digunakan. Jiwasraya bersama PT Taspen (Persero) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) juga telah menandatangi perjanjian jual beli bersyarat atau Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) untuk PT Jiwasraya Putra.

Saat ini manajemen bersama Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan tengah membahas Penyertaan Modal Negara (PMN) yang rencananya akan disalurkan kepada Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (BPUI) selaku induk usaha BUMN sektor keuangan pada 2021.

Latar Belakang

Korupsi di PT Asuransi Jiwasraya bermula dari perjanjian kerja sama pengelolaan dana nasabah antara tiga terdakwa yaitu Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto dengan petinggi Jiwasraya.

Dakwaan adalah berupa investasi yang sembrono dan melanggar aturan hingga merugikan negara, dimana ketiga pengusaha tersebut turut memberikan uang, saham, dan fasilitas lain kepada tiga petinggi Jiwasraya berkaitan dengan pengelolaan investasi saham dan reksadana selama 2008-2018.

Pada 3 Juni 2020 lalu, sebanyak enam orang terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara senilai total Rp16,807 triliun.

Keenam terdakwa itu adalah Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan 2008-2014, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartomo Tirto. Keenamnya diancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Baca juga: Enam Terdakwa Jiwasraya Rugikan Negara Sebesar Rp16 Triliun

Laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada 9 Maret 2020, dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018, menemukan kerugian sebesar Rp16.807.283.375.000.

Sementara itu khusus untuk terdakwa Benny Tjokorosaputro dan Heru Hidayat juga didakwakan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam kasus ini, kejaksaan menduga telah terjadi korupsi terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Jiwasraya diduga tak berhati-hati dalam mengelola keuangan dari para nasabah mereka sehingga berujung gagal bayarnya Jiwasraya kepada para pemegang polis.

Jiwasraya diduga tidak berhati-hati dalam mengelola keuangan yaitu pertama menempatkan saham sebanyak 22,4 persen dari aset finansial atau senilai Rp5,7 triliun. Lima persen di antaranya ditempatkan di saham perusahaan dengan kinerja yang baik.

Kedua, terkait penempatan untuk reksadana sebanyak 59,1 persen dari aset finansial atau senilai Rp14,9 triliun. Dua persen di antaranya dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja yang baik sedangkan 98 persen dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk. [RED]