Novel Baswedan

Sulindomedia – Dengan alasan tidak cukup bukti dan kasusnya sudah kedaluwarsa, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas perkara yang menetapkan Novel Baswedan, yang kini penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai tersangka. Novel dijadikan tersangka dalam kasus tindak penganiayaan pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada tahun 2004, ketika Novel masih bertugas di Kepolisian RI.

Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung Noor Rachmad, surat SKP2 itu ditandatangani langsung oleh Kejati Bengkulu dengan nomor putusan B-03/N.7.10/EP.I/02/2016. Dengan diterbitkannya SKP2 tersebut, katanya, berarti penanganan terdakwa Novel Baswedan sudah selesai. Noor menjelaskan, kedaluwarsa kasus tersebut karena kasus itu terjadi pada 18 Februari 2004.

Lalu, sesuai Pasal 79 KUHP, kalau ancaman terhadap seseorang tiga tahun penjara, kedaluwarsanya 12 tahun. “Masa kedaluwarsanya pada 19 Februari 2016,” tuturnya.

Ditegaskan Noor Rachmad, pengambilan keputusan itu murni hukum alias tidak ada intervensi dari pihak mana pun. “Kami menangani secara profesional, tidak ada yang namanya intervensi itu,” ujarnya di Jakarta, Senin kemarin (22/1/2016)..

Noor juga menjelaskan, perkara itu sempat dilimpahkan ke pengadilan, namun belakangan ada keraguan dari jaksa penuntut umum. “Seharusnya yang namanya masuk ke pengadilan harus ada keyakinan dari penuntut umum,” tuturnya. Karena itu, tambahnya, dari hasil diskusi yang panjang diperoleh keyakinan adanya keraguan dalam melanjutkan perkara itu, sehingga harus dihentikan.

Sementara itu, menanggapi SKP2  tersebut, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Polisi Anton CH mengatakan, bukti sudah lengkap untuk perkara itu, baik secara formal maupun materiil. “Formal adminstratif sudah. Material menyangkut lima alat bukti yang sah, itu sudah dinyatakan lengkap. Itu sudah cukup. Tapi, kami tidak bisa melangkah dan menilai institusi lain,” ungkap Anton di Jakarta, Senin kemarin juga.

Polri, lanjutnya, tetap menghormati semua institusi yang ada, karena semua punya fungsi masing-masing. “Apabila ada pakar-pakar hukum berpendapat itu tidak apa-apa, ada tindakan lain juga tidak apa, yang jelas Polri secara tugas sudah selesai,” ujarnya. Selebihnya, kata Anton lagi, Polri akan bersikap diam karena hal tersebut sudah kewenangan kejaksaan.

Sementara itu, di tempat terpisah, kuasa hukum korban penganiayaan yang diduga dilakukan Novel Baswedan akan mengajukan praperadilan terkait dikeluarkan SKP2   itu. “Tapi kami akan pelajari dulu. Paling cepat minggu-minggu ini kami ajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bengkulu,” ujar Yuliswan, kuasa hukum para korban Novel Baswedan, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin kemarin juga.

Yuliswan mengungkapkan, selain akan mengajukan praperadilan, pihaknya juga akan mengajukan uji petik ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kewenangan Jaksa Agung yang mengeluarkan putusan SKP2 tersebut. “Jaksa telah menjilat ludahnya sendiri. Karena, sebelumnya, kasus Novel sudah P21 dan sudah tinggal menunggu sidang,” kata Yuliswan.

Ia menilai, jika bukti-bukti tidak lengkap, kenapa kala itu jaksa penyatakan berkas pemeriksaan terhadap Novel Baswedan telah lengkap sehingga telah diserahkan ke pengadilan untuk menunggu jadwal sidang. Bahkan, Ketua Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu juga sudah menunjuk nama hakim dan panitera untuk menyidangkan perkara Novel Baswedan. “Waktu itu, Humas Pengadilan Negeri Bengkulu, Pak Immanuel, juga menyatakan perkara Novel Baswedan tidak kadaluwarsa,” ungkap Yuliswan.

Lain lagi pendapat  kuasa hukum Novel Baswedan, Muji Kartika Rahayu, yang ditemui di tempat terpisah. Ia menyatakan, keluarnya SKP2 tersebut sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo agar kasus yang menjerat kliennya diselesaikan hanya melalui cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Kejaksaan/jaksa penuntut umum sebagaidominus litis dalam perkara pidana telah melaksanakan tugasnya, yakni memeriksa dan mengoreksi penyidikan oleh kepolisian. “Keluarnya SKP2 juga sejalan dengan temuan dan rekomendasi Ombudsman RI, yang intinya terdapat sejumlah pelanggaran mala-administrasi dalam penanganan kasus NB, karenanya kejaksaan perlu melakukan penelitian sejak awal,” tutur Muji.

Keluarnya SKP2 itu, kata Muji lagi, merupakan penyelesaian secara hukum untuk mengakhiri polemik penyelesaian kasus Novel Baswedan. Keluarnya SKP2 terhadap perkara Novel juga merupakan langkah maju dan preseden positif untuk menyelesaikan kriminalisasi bagi Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indrayana, Emerson Yuntho, Erwin Natosmal, dan pegiat anti-korupsi lainnya.

Mengapa sudah ada penilaian “kriminalisasi” dan mengapa harus pula disangkutkan dengan pihak lain, yang perkaranya berlainan pula? Lagi pula, apakah pegiat anti-korupsi menjadi kebal hukum atau malah tak mungkin tergelincir menjadi pelanggar hukum? Lalu, untuk kasus Novel, setelah adanya SKP2 itu, bagaimana korban dan keluarganya bisa mendapatkan keadilan? [JAN/BOY/CHA/PUR]