Ilutrasi lockdown/Financial Times

Koran Sulindo – Sejak awal Februari lalu kita mulai mendengar virus corona, wabah penyakit yang mulai menular di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok sejak akhir 2019, walau belum menyentuh Indonesia. Menjelang akhir-akhir Februari 2020 mulai ramai komentar-komentar di media sosial yang menuding seolah-olah kita tidak tanggap. Seolah-olah pemerintah tidak peduli. Padahal nyatanya hingga saat itu memang belum ada korban virus jenis baru itu di negeri ini.

Sampai Presiden Joko Widodo merasa perlu menenangkan masyarakat. Saat itu banyak tuduhan Presiden Jokowi dianggap klemar-klemer, tidak peduli, meremehkan wabah itu, atau tidak waspada. Yang paling kelihatan saat Menteri Kesehatan Terawan Putra mengatakan tak ada kasus corona, lalu disambung lagi oleh Jokowi. Tiba-tiba dunia medsos Tanah Air dan bahkan beberapa media massa memperlihatkan seolah-olah masyarakat marah atas statement tersebut.

Ya kalau tidak ada atau saat itu memang tidak ketemu korban corona harus bagaimana? Apakah harus bohong dan mengaku ada. Sebagian besar suara cenderung merundung pemerintah. Yang segera terasa adalah ada bau-bau politik dalam kasus ini.

Saat akhirnya ada korban corona di Indonesia pada Maret 2020 dan pemerintah langsung mengumumkannya; pemerintah juga menanganinya dengan baik. Namun masih saja dianggap kurang tanggap.

Sekitar pertengahan Maret 2020 suara-suara berubah tak hanya mencap pemerintah menganggap remeh wabah corona tersebut. Tapi muncul opini agar pemerintah melakukan lockdown. Dengan hanya sebanyak, hingga saat ini, lebih dari 173 suspect terpapar corona dengan lebih dari 8 orang meninggal dunia, tentu angka yang relatif kecil dibandingkan negara-negara lain. Apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang katakanlah 260 juta saat ini, kita wajib bersyukur kepada Tuhan.

Presiden sendiri mengatakan belum pernah berpikir untuk lockdown. Saya puji, saya berikan dua jempol kepada presiden. Lockdown bukan soal yang kecil, ini berurusan dengan negara kepulauan yang besar dan luas. Yang jelas di depan mata, jika lockdown dilakukan, ekonomi kita terancam lumpuh.

Dan yang paling menderita adalah pengusaha informal. Yang lumpuh itu yang di bawah, bagian terbesar dari penduduk Indonesia, bukan golongan menengah atas.

Kalau memang keadaan sudah berbahaya dan tak ada cara lain selain lockdown, ya mau tak mau itu harus dilakukan. Namun dengan konsekuensi harus ada bantuan langsung tunai ke masyarakat.

Masyarakat harus sadar beberapa saat belakangan ini ekonomi kita sedang kritis. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan merembet ke seluruh dunia masih dirasakan hingga kini di Tanah Air, yang mengakibatkan ekspor kita tergerus, harga komoditas andalan menurun, yang berakibat defisit transaksi berjalan pada fiskal kita.

Belum lagi tanggungan pemerintah soal utang-utang badan usaha milik negara (BUMN), kasus Jiwasraya, Asabri, Krakatau Steel dan banyak lagi.

Semua mem-bully pemerintah, maka kalau ditambah politik bencana, betapa makin susahnya negara ini. Ini menimbulkan pertanyaan apakah mereka yang meminta pemerintah melakukan lockdown itu karena berdasar rasa khawatir akan kesehatan masyarakat, atau hanya mau bikin ramai dan gaduh.

Jadi saat ini yang terpenting adalah waspada dan preventif. Jangan banyak berpolemik. [Emir Moeis]