Koran Sulindo – Sidang Terbuka Senat Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menggelar acara penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa) untuk Ketua DPR Puan Maharani, Jumat (14/2/2020) lalu. Berikut adalah pidato lengkap Ketua DPR tersebut saat Upacara Penganugerahan:
Baca juga: Resmi, Doktor (HC) Puan Maharani
KEBUDAYAAN SEBAGAI LANDASAN UNTUK MEMBANGUN MANUSIA INDONESIA BERPANCASILA MENUJU ERA MASYARAKAT 5.0
PIDATO PENGANUGERAHAN GELAR KEHORMATAN
Disampaikan dalam Upacara Penganugerahan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa pada Universitas Diponegoro Semarang
Oleh: Puan Maharani
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Om swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan
Yang terhormat,
Presiden ke-5 RI, Ibu Megawati Soekarnoputri
Para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara,
Para Menteri Kabinet Indonesia Maju,
Para Anggota DPR RI,
Para Gubernur/Kepala Daerah dan Forkompinda,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota MWA
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar,
Rektor dan Para Wakil Rektor Para Promotor, dan
Seluruh Civitas Akademik Universitas Diponegoro serta Para Undangan
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga di hari yang cerah ini kita diberikan kesehatan dan kesempatan untuk berpartisipasi di Gedung Profesor Soedarto Universitas Diponegoro yang megah ini.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik dan Undangan Yang Terhormat,
Tahun yang lalu beberapa tokoh masyarakat dari alumni Universitas Diponegoro, menyampaikan keinginan untuk memberikan penghargaan gelar doktor honoris causa.
Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan menerima anugerah doktor honoris causa ini, sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab saya dalam ikut membangun kemajuan bangsa dan negara.
Saya bukan seorang ilmuwan yang melahirkan teori-teori baru. Saya hanya berbekal pada pengalaman berorganisasi dalam partai politik, bertugas sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan bimbingan dari kedua orang tua saya yang sangat saya cintai dan banggakan, di mana semua pengalaman itu telah memberikan tanggung jawab dan peran dalam ikut membangun Indonesia.
Kesediaan saya untuk menerima penghargaan ini didasarkan atas perenungan, keprihatinan, dan perhatian saya terhadap perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat kita.
Dalam upaya kita bersama membangun Indonesia agar menjadi bangsa dan negara yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, kita membutuhkan energi bangsa yang bersumber dari akar kehidupan bangsa Indonesia, jiwa Indonesia, yaitu kebudayaan Indonesia, kebudayaan berlandaskan jiwa Pancasila.
Kesediaan saya untuk menerima penghargaan ini didasarkan atas perenungan, keprihatinan, dan perhatian saya terhadap perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat kita, di mana semakin tergerus dan terkikisnya kebudayaan Indonesia yang berlandaskan pada jiwa bangsa Indonesia.
Saat ini terdapat perkembangan aktual yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu menjadi atensi kita bersama, yaitu:
Pertama, sejak Reformasi, terdapat kecenderungan, untuk menempatkan politik sebagai instrumen penting dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita.
Peran politik dari semua unsur terus membesar dan menguasai segala sendi kehidupan baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas bangsa.
Gejala ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa sering kali praktik politik sudah tercerabut dari nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya, dan nilai- nilai kebangsaan yang bersumber dari jiwa bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Kedua, kemajuan teknologi telah membawa masyarakat dan bangsa di dunia terbuka dan terhubung secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Akan tetapi, tanpa memiliki ketahanan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang memadai, maka relasi global tersebut dapat menjadikan hubungan antar bangsa dan negara berada dalam hubungan eksploitasi maupun neokolonialisme baru.
Pada era Revolusi Industri 4.0, persaingan antar-kekuatan ekonomi dunia, baik negara maupun korporasi, tidak lagi memandang batas negara akan tetapi semua objek eksploitasi dan pasar yang menjadi sasaran.
Kemajuan teknologi tentu saja telah membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dengan fenomena smart phone, terhadap generasi muda kita, apabila tidak diantisipasi, akan menciptakan kondisi di mana generasi muda mengalami disorientasi dalam cara pandang terhadap kehidupannya sebagai warga bangsa Indonesia; generasi muda yang menjadi pribadi soliter yang asyik dengan diri sendiri, kompetensi sosial rendah, dan miskin dengan etika dan norma sosial.
Mereka akan tercerabut dari akar-akar budaya bangsa baik dalam hal etika maupun moral sebagai komunitas bangsa dan tenggelam dalam pusaran gejolak disrupsi dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam jangka panjang, dampak negatif ini dapat menghasilkan gambaran tentang manusia Indonesia di masa depan menjadi sangat kabur.
Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya menyampaikan pemikiran yang relavan dengan tugas yang pernah saya emban selama lima tahun terakhir ini dalam rangka ikut memberi kontribusi dalam membangun manusia dan kebudayaan Indonesia.
Pidato saya dengan judul Kebudayaan sebagai Landasan Utama Membangun Manusia Indonesia Berpancasila Menuju Era Masyarakat 5.0 lebih merefleksikan gagasan dan pengalaman praktis selama ini dalam kaitannya dengan masa depan Indonesia.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik dan Undangan Yang Terhormat,
Izinkan saya untuk menyampaikan argumentasi yang pertama yang merupakan argumentasi historis.
Saya akan menunjukkan bahwa pemikiran tentang kebudayaan sebagai landasan untuk kehidupan berbangsa, sudah dilakukan oleh para founding fathers sejak masa akhir pemerintah penjajahan Belanda di Indonesia ketika mereka mulai menggagas formasi Bangsa Indonesia yang mereka cita-citakan.
Para founding fathers sudah menyadari sejak bangsa Indonesia yang mereka cita-citakan harus diciptakan dari hasil sebuah kesepakatan dan merupakan hasil dari sebuah rekayasa sosial politik dan kultural.
Gagasan mengenai kesepakatan itu tentu saja tidak datang secara tiba-tiba, namun merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang.
Kesepakatan itu terjadi justru karena keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia yang bersumber dari pengalaman kolektif yang sama.
Seperti diketahui bahwa hingga pertengahan abad ke-19 istilah “Indonesia” belum ada, apalagi perasaan “keindonesiaan”. Yang ada adalah perasaan kesukuan dan sektarian.
Baru pada tahun 1850 James Logan menggunakan kata “Indonesia” untuk menyebut wilayah geografis dari Sumatra hingga Filipina.
Istilah “Indonesia” kemudian dipopulerkan oleh Adolf Bastian (yang berasal dari Jerman) yang menulis buku lima jilid dengan judul yang menggunakan kata “Indonesia” pada 1884-1894.
Kongres Pemuda II yang berlangsung pada bulan Oktober 1928 merupakan salah satu puncak dari kesepakatan-kesepakatan untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa.
Pada periode berikutnya istilah Indonesia digunakan oleh ilmuwan dan ahli etnografi Belanda di masa-masa kemudian.
Perkembangan sejarah itu pula yang memungkinkan terjadinya kesepakatan- kesepakatan dalam proses formasi bangsa Indonesia.
Kongres Pemuda II yang berlangsung pada bulan Oktober 1928 merupakan salah satu puncak dari kesepakatan-kesepakatan untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa.
Salah satu isi Sumpah Pemuda itu menyatakan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Sumpah itu sendiri secara inheren membuktikan bahwa apa yang kemudian disebut sebagai bangsa Indonesia secara formal belum ada, meskipun secara sosial-budaya proses “menjadi Indonesia” itu sudah berkembang dan tahun 1928 hanyalah merupakan puncaknya.
Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia telah dicapai pada tahun 1928, namun mereka belum merumuskan bagaimana wajah Indonesia di masa depan.
Dalam hubungan itulah sejak awal tahun 1930an mulai muncul ide-ide untuk mengkonstruksi Indonesia di masa yang akan datang.
Kebudayaan Indonesia ataupun Kebudayaan Nasional Indonesia di masa yang akan datang tersebut membutuhkan grand design untuk melakukan rekayasa terhadap kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan di masa depan.
Hal ini diperlukan justru karena sifat “ramuan dasar” kebudayaan Indonesia yang sangat plural.
Polemik kebudayaan yang berkembang tahun 1930-an, harus berhenti dengan meletusnya Perang Pasifik yang disusul dengan kekalahan Belanda dan didudukinya Indonesia oleh bala tentara Jepang sejak 1942 hingga 1945.
Selama masa pendudukan Jepang, rekayasa kebangsaan dan kebudayaan, dipupuk melalui peperangan dan agitasi para pemimpin politik dan militer, yang secara langsung membangkitkan semangat “kami” (Indonesia) melawan “mereka” (para kolonialis Barat).
Konsep kebangsaan juga dirumuskan oleh Soekarno, dalam pidato-nya pada tanggal 1 Juni 1945; beliau mengkonsepkan kebangsaan Indonesia, sebagai berikut:
Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan kaya, tetapi “semua buat semua”.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Tidaklah cukup syarat bangsa hanya “kehendak akan bersatu”, teorinya Ernest Renann; juga tidaklah cukup “Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”, teorinya Otto Bauer.
Teori Ernest Renann dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi yang didiami manusia itu; Tempat itu yaitu Tanah Air.
Tanah Air itu adalah satu kesatuan; Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia-lah tanah air kita; Indonesia yang bulat, yaitu seluruh pulau- pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian; seluruhnya.
Ke sinilah kita semua harus menuju; mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan Bumi Indonesia;
Kebangsaan Indonesia yang bulat; bukan kebangsaan jawa, bukan kebangsaan sumatera, bukan kebangsaan borneo, bukan kebangsaan sulawesi, bukan kebangsaan bali atau kebangsaan lain- lain, tetapi Kebangsaan Indonesia.
Konsep Kebangsaan yang disampaikan Soekarno merupakan konstruksi dasar dalam merumuskan Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dalam satu kebangsaan yang bulat.
Setelah mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kesadaran pentingnya pengembangan kebudayaan Indonesia yang berbasiskan pada dasar negara Pancasila tumbuh dan berkembang pesat.
Pemerintah saat itu, sangat meyakini pendidikan merupakan media yang sangat penting untuk melakukan proses pembudayaan dan pendidikan karakter bangsa.
Namun demikian karena suasana revolusi dan perang kemerdekaan maka proses pembudayaan seolah menyempit maknanya menjadi proses pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
Pada periode ini pendidikan karakter mulai diterapkan secara progresif dalam rangka pembangunan national and character building.
Pada waktu itu diselenggarakan matapelajaran civic yang menjadi salah satu mata pelajaran utama di setiap jenjang pendidikan.
Ajaran-ajaran Manipol/Usdek menjadi materi utama dalam mata pelajaran ini. Bahkan, pada jenjang pendidikan tinggi, pendidikan ditujukan untuk membangun manusia yang memiliki semangat Pancasila dan mendukung pembentukan masyarakat Indonesia yang sosialistik, adil, dan makmur baik spiritual maupun material.
Dengan terjadinya pergantian pemerintahan dari Presiden Sukarno ke Presiden Suharto sejak tahun 1966, corak pendidikan juga mengalami perubahan.
Perubahan suasana politik juga mendorong perubahan di bidang kurikulum. Kurikulum baru telah berhasil ditetapkan pada tahun 1968.
Untuk memperkuat pendidikan karakter kebangsaan maka pemerintah Presiden Suharto menyelenggarakan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang wajib diikuti bukan hanya para siswa tetapi juga segenap elemen masyarakat.
Dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Suharto maka mata pelajaran PMP dan Penataran P4 pun juga berakhir.
Pemerintah Reformasi mengalami krisis pendidikan karakter. Bahkan, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara juga sudah jarang dikenalkan kepada peserta didik tingkat dasar maupun menengah dan bahkan jarang disebut- sebut lagi oleh para pejabat.
Pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pendidikan karakter terus mendapatkan penekanan seiring dengan program pemerintah untuk melaksanakan revolusi mental.
Namun demikian, tampaknya pendidikan karakter dan revolusi mental perlu memiliki pijakan yang kokoh yang berbasis kepada kebudayaan bangsa.
Oleh karena itu maka diperlukan penguatan kebudayaan bangsa sebagai landasan dalam pembangunan manusia Indonesia.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik dan Undangan Yang Terhormat,
Selanjutnya izinkan saya untuk menyampaikan argumentasi yang kedua yang terkait dengan dasar filosofis dan teoritik, tentang pentingnya kebudayaan sebagai landasan untuk membangun manusia atau kebudayaan untuk memanusiakan manusia Indonesia.
Banyak definisi kebudayaaan diketengahkan para ahli;. Referensi textbook tentang kebudayaan tahun 1952 saja mencatat paling tidak sudah mencapai 179 definisi tentang kebudayaan.
Kini setelah lebih dari setengah abad kemudian dapat dipastikan jumlah definisi berkembang lebih banyak lagi.
Saya sejalan dengan pandangan para ahli yang menempatkan manusia sebagai perancang strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih berkeadaban.
Manusia hakikatnya bukan hanya “produk” dari suatu kebudayaan melainkan sekaligus “pencipta” kebudayaan.
Di posisi teoritik inilah kebudayaan memiliki arti penting dalam pembangunan manusia.
Kebudayaan menjadi mampu membentuk karakter manusia, lebih memanusiakan manusia, kebudayaan dapat membuat kehidupan seluruhnya menjadi lebih baik dan berperikemanusiaan, kebudayaan dapat membentuk identitas pada suatu masyarakat, dan mampu mempererat solidaritas sosial.
Saya berpandangan bahwa manusia hakikatnya bukan hanya “produk” dari suatu kebudayaan melainkan sekaligus “pencipta” kebudayaan.
Kebudayaan tidak semata-mata ditempatkan sebagai identitas, simbol status, dan semacamnya; akan tetapi bagaimana kebudayaan itu difungsikan untuk membentuk cara berpikir, berperilaku, dan berkarya bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dengan cara pandang demikian, saya sebagai orang yang pernah duduk di kementerian yang menangani urusan pembangunan manusia dan kebudayaan, mengarahkan upaya dan kebijakan dalam mengintervensi perubahan cara pikir, cara kerja, dan cara hidup untuk membangun peradaban budaya bangsa Indonesia yang lebih maju.
Itu sebabnya, arah kebijakan atau politik kebudayaan dalam kerangka membangun manusia dan kebudayaan, saya fokus pada tiga prioritas utama, yakni:
Pertama, pembangunan kualitas hidup manusia, sebagai bentuk intervensi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia Indonesia agar dapat mengembangkan potensi dirinya dan pada tahap selanjutnya ikut didalam membangun masyarakat.
Kita tidak dapat membangun kebudayaan yang kuat, apabila masyarakat dalam keadaan miskin, tidak sehat, kurang pendidikan, dan tidak merasa tentram.
Program intervensi yang dilakukan antara lain: program penanggulangan kemiskinan, program penguatan jaminan sosial, perlindungan kaum marginal, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan mutu dan akses pendidikan dan agama, pembangunan keluarga, program perlindungan perempuan dan anak.
Kita tidak dapat membangun kebudayaan yang kuat, apabila masyarakat dalam keadaan miskin, tidak sehat, kurang pendidikan, dan tidak merasa tentram.
Kedua, pembangunan kapabilitas manusia, sebagai bentuk intervensi untuk membangun manusia Indonesia yang produktif, mampu mengembangkan kemajuan di berbagai bidang dan membangun peradaban.
Program intervensi yang dilakukan antara lain: program beasiswa untuk S2 dan S3 ke luar negeri melalui LPDP, program pemberdayaan masyarakat, revitalisasi pendidikan vokasional, pembangunan kependudukan dan keluarga berencana, program pembangunan pedesaan, pembangunan Science and Techno Park, dan penguatan riset nasional.
Ketiga, pembangunan karakter manusia Indonesia, sebagai bentuk intervensi untuk memperkuat kepribadian manusia Indonesia berlandaskan pada kebudayaan yang berjiwa kebangsaan Indonesia, berjiwa Pancasila.
Program intervensi yang dilakukan antara lain: program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yang berisikan:
Penguatan Pendidikan karakter Bangsa di semua jenjang Pendidikan;
Gerakan ASN (Aparatur Sipil Negara) mewujudkan Indonesia tertib, bersih, melayani, mandiri, dan bersatu. Output-nya adalah bagaimana pelayanan publik semakin baik untuk masyarakat. Gerakan ini mengubah cara pikir, cara kerja, dan cara hidup ASN dalam melayani masyarakat.
Sangat penting memastikan agar negara menjamin terlaksananya pembangunan manusia Indonesia yang berkebudayaan Indonesia.
Oleh karena Negara Kebangsaan Indonesia merupakan hasil sebuah rekayasa dalam proses sejarah maka untuk mewujudkan ciita-cita dari apa yang disebut sebagai Kebudayaan Indonesia pun juga harus direkayasa.
Apabila kebudayaan yang berkembang di wilayah Indonesia dibiarkan secara alamiah maka tidak mustahil kebudayaan transnasional akan menjadi tuan di negeri ini. Tidak akan ada lagi jati diri ke-Indonesiaan, jati diri yang bisa dibanggakan.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik, dan Undangan Yang Terhormat,
Izinkanlah sekarang membahas tentang argumentasi saya yang ketiga, yaitu bagaimana mengaktualisasikan semangat yang bersumber dari warisan sejarah dan mengimplementasikan kebijakan negara pada ranah praksis yang mampu menyentuh sendi-sendi yang paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Kita sedang menghadapi gelombang industri 4.0, di mana peran robotik, kecerdasan buatan, blockchain, crypto, dan algoritma kesadaran akan menggantikan peran manusia dalam menangani pekerjaan.
Yang terjadi, bukan saja pergantian generasi secara biologis, tetapi pergantian gaya hidup, jenis pekerjaan dan pandangan terhadap identitas diri.
Di sisi lain, awal Januari 2019, melalui Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss, muncul gagasan Society 5.0, yang menawarkan gagasan mengenai masyarakat yang berpusat pada manusia, untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan penyelesaian masalah sosial.
Society 5.0, hendak menempatkan teknologi memiliki kepuasan terhadap hasil kerja sehingga berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan.
Dalam pemikiran saya, pada konteks masyarakat 5.0, di mana menempatkan manusia sebagai subyek dan pusat dari kemajuan peradaban, maka pembangunan manusia yang demikian itu haruslah berlandaskan pada ide tentang manusia Indonesia dan kebudayaan Indonesia.
Manusia Indonesia adalah manusia yang berakar pada Tanah Air-nya, bertumbuh dalam kebudayaan bangsanya, memilki jiwa bangsanya, yaitu berjiwa Pancasila.
Bertitik tolak dari pemikiran itu, maka ketika saya menjadi Menko di Kemenko PMK telah menempuh beberapa kebijakan dan memperkuat program-program aksi kebudayaan yang bisa menjadi dasar untuk menuju masyarakat 5.0.
Salah satu program strategis nasional di mana Kemenko PMK menjadi leading sector adalah Revolusi Mental.
Revolusi Mental merupakan gerakan kebudayaan untuk mengubah dan membangun cara pikir, cara kerja, dan cara hidup, yang lebih baik dan berkemajuan dengan berlandaskan pada jiwa bangsa Indonesia.
Sebagaimana pernah saya sampaikan pada berbagai kesempatan, bahwa Revolusi Mental menjadi landasan penting dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Revolusi Mental harus menjadi “Gerakan Hidup Baru” yang memiliki tujuan untuk menanamkan rasa cinta Tanah Air, rasa percaya diri, optimisme, dan daya kreatif dalam menghadapi beragam hambatan dan tantangan dalam membangun kualitas dan kemajuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karena itu, Revolusi Mental adalah merupakan bagian dari proses pembentukan karakter bangsa dalam rangka mewujudkan cita- cita kemerdekaan.
Succses story dari Gerakan Nasional Revolusi Mental dapat kita saksikan bersama melalui Sukses Penyelenggaraan dan Prestasi Asian Games dan Asian Para Games Jakarta-Palembang 2018 yang lalu.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa dengan kekuatan kepribadian kebudayaan kita sebagai bangsa yaitu gotong royong, maka kita dapat menggerakan energi terbaik bangsa untuk meraih kesuksesan.
Inilah praktik Gerakan Nasional Revolusi Mental, yang memperlihatkan kekuatan gotong-royong untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan.
Penyelenggaraan Asian Games dan para Games 2018, melibatkan semua kemampuan terbaik anak bangsa Indonesia:
Mulai dari membangun infrastruktur (GBK, venue-venue yang ada, serta Wisma Atlet);
Mengelola kenyamanan para tamu dan atlet yang berjumlah lebih dari 25.000 orang dari 45 Negara;
Mengelola kegiatan di arena venue-venue yang ada sehingga tertib dan bersih;
Mengelola teknologi di GBK dan Venue;
Manajemen 16.000 relawan yang ramah;
Menghidangkan konsumsi untuk seluruh tamu dan atlet;
Kerja keras para atlet Indonesia meraih medali; dan lain sebagainya.
Sukses penyelenggaraan dan prestasi Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018, telah membuktikan bahwa kita mampu melakukan Perubahan untuk menjadi lebih baik.
Budaya untuk menjadi yang lebih baik, berprestasi, dan berkemajuan, inilah yang harus semakin diperluas dalam masyarakat kita.
Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah merupakan bagian dari proses pembentukan karakter manusia Indonesia dan membentuk kepribadian bangsa dalam kebudayaan.
Konsep pembangunan manusia dan kebudayaan yang dilakukan selama saya menjadi Menko, adalah upaya untuk membangun manusia dan kebudayaan yang berkarakter dan berjiwa Indonesia.
Manusia juga sebagai homo homini socius, makhluk sosial yang berkepribadian dan berkebudayaan yang menjadi sahabat bagi manusia lainnya.
Saya berpandangan bahwa pada era persaingan global yang semakian masif ini, kita perlu melakukan reorientasi dalam pembangunan.
Dalam hal ini, konsep pembangunan manusia dan kebudayaan (development of human capital and culture) sebagai orientasi dalam pembangunan.
Konsep ini didasari oleh kebutuhan untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas serta berbudaya sebagai fondasi guna mewujudkan kemajuan bangsa dan peradaban.
Konsep tersebut tidak hanya terkait dengan manusia sebagai homo economicus di mana manusia dipersepsi selalu bertindak rasional dan mencoba memaksimumkan utilitas.
Melainkan manusia juga sebagai homo homini socius, makhluk sosial yang berkepribadian dan berkebudayaan yang menjadi sahabat bagi manusia lainnya.
Konsep pembangunan manusia dan kebudayaan menempatkan manusia pada posisi sentral dan strategis secara utuh dalam proses pembangunan, karena tujuan utama pembangunan adalah mengembangkan dan perluasan segenap potensi dasar yang dimiliki oleh manusia.
Dengan demikian pembangunan adalah membangun kebudayaan, bukan hanya yang selain bersifat tangible (fisik-kebendaan) tetapi yang tidak kalah penting adalah yang bersifat intangible sebagai hasil kerja jiwa manusia dalam arti luas seperti karakter, jiwa, mental, spirit, dan lain-lain; atau membangun manusia seutuhnya.
Upaya membangun manusia yang berbudaya menjadi jauh lebih penting daripada sekadar membangun hal-hal yang bersifat fisik.
Terlebih dalam konteks kekinian, nilai peradaban dan kebudayaan yang adiluhung penuh etika dan moralitas menghadapi ancaman serius.
Kondisi aktual mesti kita cermati. Nilai-nilai budaya asing yang belum tentu cocok dengan kebudayaan dan karakter bangsa kita yang berakar kepada tradisi seperti guyub rukun dan gotong royong penuh kebersamaan.
Pendidikan, merupakan cara yang sangat strategis dalam membangun manusia dan kebudayaan Indonesia.
Jika hal ini tidak disadari, maka eksistensi sebagai suatu bangsa menjadi terancam. Jati diri, karakter, dan kebudayaan sebagai identitas bangsa akan hilang.
Bagaimana kita harus membangun manusia dan kebudayaan Indonesia?
Pendidikan, merupakan cara yang sangat strategis dalam membangun manusia dan kebudayaan Indonesia.
Menurut saya, pendidikan harus dimaknai sebagai “suatu proses rekayasa sosial, untuk membudayakan manusia, membuat manusia menjadi berbudaya.”
Saat saya menjadi Menko PMK, saya mengkoordinasikan penguatan pendidikan karakter bangsa di semua jenjang pendidikan.
Penguatan pendidikan karakter bangsa diarahkan agar pendidikan bukan sekadar membuat anak menjadi cerdas, pandai berhitung, atau belajar ilmu. Akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana kecerdasan tersebut membuat anak makin tinggi kebudayaannya atau semakin berbudaya, memiliki jiwa Indonesia.
Hal ini penting, karena jika kecerdasan tidak diimbangi dengan “kebudayaan” maka justru akan merusak eksistensi suatu bangsa.
Berapa banyak orang cerdik pandai yang akhirnya justru terjerumus melakukan tindakan yang tidak berbudaya, hal ini disebabkan karena nir-budaya dalam jiwanya.
Pendidikan menjadi determinan kemajuan suatu bangsa, apalagi pendidikan yang dilandaskan kepada nilai-nilai kebudayaan akan menjadi penciri identitas kemajuan yang berkebudayaan dengan karakteristik yang spesifik sebagai bangsa yang berkebudayaan.
Menyadari hal yang strategis tersebut, tidak mengherankan jika founding father meletakkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pendidikan merupakan investasi jangka panjang, sebagai pondasi pembentukan manusia dan kebudayaan Indonesia, penguatan kemampuan membangun kemajuan, serta jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pendidikan tinggi merupakan instrumen yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup.
Khusus yang terkait dengan pendidikan tinggi, saya dan semua yang berada di ruang ini pasti sepakat bahwa pendidikan tinggi sangat strategis dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa yang maju dan sejahtera.
Pendidikan tinggi memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya memutus rantai kemiskinan dan pintu masuk menuju pencapaian kesejahteraan masyarakat suatu bangsa.
Pendidikan tinggi merupakan instrumen yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup.
Kita menyaksikan bahwa negara maju yang miskin akan sumber daya alam justru lebih terjamin keberlanjutannya.
Mereka menyadari akan kekurangan sumber daya alam dan melakukan investasi besar- besaran terhadap sumber daya manusia melalui pendidikan.
Melalui pendidikan tinggi, akan meningkatkan produktivitas SDM nasional, meningkat pendapatan nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat.
Investasi jangka panjang pembangunan manusia Indonesia membutuhkan komitmen kita semua.
Pemerintah dengan dukungan DPR telah mengalokasikan anggaran sektor pendidikan agar tepat sasaran dan tepat manfaat.
Alokasi anggaran pendidikan trennya terus meningkat. Misalnya pada tahun 2018 sebesar Rp 431,7 triliun, pada 2019 meningkat menjadi Rp 478,4 triliun, pada tahun 2020 meningkat menjadi Rp 508,1 triliun.
Alokasi anggaran dan program pendidikan tersebut harus terus diperkuat dan dipertajam agar dapat mempercepat Pembangunan Manusia Indonesia yang berkarakter dan berdaya saing.
Selain itu, juga penting adanya dukungan dan kerjasama dari dunia usaha dan dunia industri.
Dunia usaha dan dunia industri tidak mungkin akan berkembang tanpa ketersediaan SDM berkualitas. Sebaliknya pendidikan untuk menyiapkan SDM berkualitas tidak mungkin akan terwujud tanpa partisipasi dunia usaha dan dunia industri.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial/social corporate responsibility dunia usaha dan dunia industri dalam ikut memperkuat SDM Indonesia, dapat dilakukan melalui program training bersertifikat ataupun program magang.
Pemerintah mendukung partisipasi dunia Usaha dan Dunia Industri tersebut dengan memberikan tax incentive.
Kita juga masih harus memperkuat kemampuan riset kita.
Perangkat undang-undang telah dibenahi. Alhamdulillah belum lama ini RUU tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) telah disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah.
Pembenahan kelembagaan riset dalam memperkuat inovasi dan mempertajam fokus riset sangat diperlukan. Melalui penataan kelembagaan riset diharapkan terdapat sinergi, produktivitas, dan daya guna hasil-hasil riset untuk memperkuat pembangunan nasional.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik dan Undangan Yang Terhormat,
Sebagai penutup orasi ilmiah ini, perlu saya sampaikan kesimpulan dari pokok-pokok pikiran sebagai novelty tentang bagaimana kita menuju masyarakat 5.0, dengan bersumber pada sejarah pemikiran para founding fathers yang telah sukses menggali nilai-nilai kebudayaan asli bangsa Indonesia menjadi karakter dan jatidiri kita sebagai bangsa.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan beberapa kesimpulan pokok pikiran sebagai berikut:
Pertama, bahwa dampak dari Era Disrupsi yang ditimbulkan oleh perkembangan Revolusi Industri 4.0 dewasa ini, selain menstimulan inovasi teknologi yang spektakuler pada berbagai bidang, perlu diantisipasi agar tidak menjadi destruktif sesama manusia yang bisa mengantarkan derajat kebudayaan manusia pada titik terendah.
Untuk menghadapi ancaman itu, menurut saya kita perlu melakukan reorientasi cara pandang dalam melihat dan memfungsikan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedua, kebudayaan Indonesia harus dipandang, ditempatkan, dan difungsikan sebagai landasan untuk memanusiakan manusia Indonesia.
Negara perlu menjamin terlaksananya pembangunan manusia Indonesia yang berkebudayaan Indonesia, bukan manusia Indonesia yang berkebudayaan bangsa lain.
Oleh karena Negara Kebangsaan Indonesia, merupakan hasil sebuah rekayasa dalam proses sejarah, maka untuk mewujudkan cita-cita dari apa yang disebut sebagai kebudayaan Indonesia dengan karakter dan jati diri Indonesia juga harus direkayasa antara lain melalui pendidikan dan kebudayaan yang terstruktur di lembaga pendidikan pada berbagai level.
Ketiga, kebijakan negara harus diimplementasikan pada ranah praksis yang menyentuh sendi- sendi paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Melalui eksekusi kebijakan inilah tataran filosofis-teoritik kebudayaan dapat diwujudkan sebagai landasan dalam membangun manusia Indonesia yang berbudaya Indonesia guna mewujudkan masyarakat 5.0.
Menjadikan kebudayaan sebagai landasan untuk membangun manusia Indonesia ber- Pancasila menuju era masyarakat 5.0, pada hakikatnya adalah nation and character building.
Menjadikan kebudayaan sebagai landasan untuk membangun manusia Indonesia ber- Pancasila menuju era masyarakat 5.0, pada hakikatnya adalah nation and character building.
Yaitu, bagaimana kita membangun ke-gotong-royongan, yang dapat memberikan rasa cinta pada Tanah Air; yang memberikan rasa percaya diri sebagai bangsa; serta yang memberikan kesanggupan untuk membangun kemajuan bangsa dan negara.
Inilah arah nation and character building Indonesia, yang perlu menjadi perhatian kita bersama di dalam membangun kemajuan Indonesia agar menjadi negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Manusia Indonesia yang menghormati nilai luhur budaya bangsa, memahami akar kepribadian bangsa, sebagai bangsa yang ramah, toleran, religius, dan bergotong royong.
Berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia, tidak berarti kita anti-budaya asing.
Kita tidak dapat mengisolasi diri dari pengaruh budaya asing. Akan tetapi dengan kepribadian bangsa yang kuat, maka budaya asing dapat disaring dan dilarutkan dalam kebudayaan nasional.
Kepribadian nasional juga tidak menghilangkan identitas budaya daerah, karena seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki satu benang merah yang sama, yaitu budaya berketuhanan, budaya berkemanusiaan, budaya bersatu, budaya bermusyawarah, budaya berkeadilan, yang dapat diperas menjadi satu yakni gotong royong.
Keberagaman kebudayaan daerah mengisi Tamansari Kebudayaan Indonesia.
Nation and character building harus diarahkan untuk dapat membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia.
Demikianlah, Pandangan saya tentang “Kebudayaan sebagai landasan untuk membangun manusia Indonesia ber-Pancasila menuju era masyarakat 5.0”.
Semoga, pemikiran yang saya sampaikan dapat ikut berkontribusi dalam membangun kemajuan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian berlandaskan Pancasila.
Para Guru Besar, Anggota Senat Akademik dan Undangan yang Terhormat,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat; Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik; Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar; Rektor dan Para Wakil Rektor; yang telah memberikan kesempatan, apresiasi dan kepercayaan kepada saya untuk mendapatkan penganugerahan ini;
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada para Promotor; yang telah menyusun dangan cermat justifikasi penganugerahan gelar ini. Saya menyadari bahwa tanggung jawab akan menjadi semakin besar; dan kiranya saya mendapatkan dukungan doa hadirin sekalian agar senantiasa diberikan kemudahan dalam mengemban tanggung jawab yang besar ini.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada yang terhormat Presiden RI Bapak Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Ke-10 dan Ke-12 Bapak Muhammad Jusuf Kalla yang telah mempercayakan tugas Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan kepada saya, sehingga saya dapat ikut membantu dalam memajukan Indonesia.
Saya mengucapkan terima kasih secara khusus kepada yang saya cintai dan banggakan, ibu dan almarhum bapak saya, yang telah menjadi guru saya, yang telah membimbing dan menempa saya sehingga saya dapat ikut mengambil peran dan tanggung jawab dalam membangun bangsa dan negara.
Saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada suami dan anak- anak saya tercinta; yang selama ini telah memberikan dukungan kepada saya.
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, selalu memberikan rahmat dan bimbingannya bagi kita semua.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Sejahtera untuk kita semua,
Om shanti shanti shanti om. [sulindox@gmail.com]