Koran Sulindo – Bisa dipastikan Tim Pengawal Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan RI akan bubar. Kemungkinan setelah Rapat Kerja Nasional Kejaksaan yang diselenggarakan pada 3 hingga 6 Desember 2019. Berlokasi di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Dasar atau alasan pembubaran lembaga ini dinilai telah melenceng dari tujuan semula. Ia jadi “alat” kolusi. Jadi “alat” “memeras” untuk mendapatkan proyek. Dan semuanya ini berawal dari seruan – kalau bukan tuduhan – anggota Komisi III DPR ketika rapat kerja dengan Kejaksaan Agung pada awal November lalu.
Pada rapat itu, sebagian anggota Komisi III DPR mencecar dan menyerukan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membubarkan TP4 baik di pusat maupun di daerah. Keberadaan lembaga tersebut dinilai lebih banyak mudaratnya ketimbang dampak positifnya.
Umumnya yang menyerukan pembubaran itu berasal dari anggota Fraksi PDI Perjuangan. Masinton Pasaribu, misalnya, menyatakan, TP4 Daerah disinyalir jadi sarang korupsi baru. Karena itu, kata Masinton, lembaga tersebut lebih baik dibubarkan.
Setelah semua seruan itu, Burhanuddin usai rapat kerja memastikan Kejaksaan RI akan mengevaluasi keberadaan TP4. Mungkin saja kelak namanya berubah tapi secara substansi keberadaannya akan mengawal pembangunan demi Indonesia Maju seperti cita-cita Presiden Joko Widodo.
Desakan pembubaran TP4 juga datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebijakan pemerintah untuk membubarkan TP4, menurut KPK, dinilai sudah tepat. Apalagi TP4 acapkali menyalahgunakan fungsi pengawasan dengan melakukan korupsi. Lembaga anti-rasuah itu juga sudah pernah menyampaikan permasalahan tersebut kepada Presiden Jokowi.
Terakhir, seruan serupa datang dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Setelah bertemu dengan Jaksa Agung Burhanuddin pada 20 November lalu, Mahfud meminta agar TP4 dibubarkan dan Kejaksaan RI diminta fokus pada penindakan (korupsi) ketimbang fungsi pencegahan.
Tanpa banyak pertimbangan, Jaksa Agung Burhanuddin menyetujui usulan tersebut. Dan akan membubarkan TP4 yang keputusannya akan dibahas pada Rakernas Kejaksaan RI dari 3 hingga 6 Desember 2019. Dalam berbagai pernyataannya, Burhanuddin seperti tidak membuka peluang untuk membentuk lembaga serupa di masa mendatang.
Kejaksaan RI dalam berbagai kesempatan sesungguhnya tidak memungkiri adanya penyimpangan yang dilakukan oleh jaksa-jaksa “nakal” lewat TP4 ini. Akan tetapi, benarkah TP4 sama sekali tak bermanfaat sebagaimana yang dituduhkan berbagai pihak ? Benarkah lembaga ini menjadi “alat” atau “sarang” korupsi baru? Lalu bagaimana sebenarnya kinerja TP4 selama ini?
Jaksa dan Pembangunan
Benar, TP4 bukanlah menjadi isu pokok dari wacana tersebut. Namun, penting diingat dan dipahami secara filosofi antara penegakan hukum dan proses pembangunan. Dengan memahaminya secara filosofi, maka keberadaan sebuah lembaga semacam TP4 bukan karena keinginan Kejaksaan RI melainkan sebuah amanat.
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Jan S. Maringka ketika menjadi pembicara dalam kuliah umum yang digelar Ikatan Alumni Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia bertajuk “Peranan Kejaksaan Dalam Mengawal Pembangunan” pada September lalu mencoba memaparkan tentang peran penegak hukum dan kontribusinya dalam pembangunan.
Dalam makalahnya berjudul “Membangun Sinergi, Mengawal Pembangunan”, Jan Maringka dengan merujuk kepada Undang Undang Kejaksaan tahun 2014 menyebutkan, tugas penegakan hukum yang dilaksanakan Kejaksaan tidak dapat dilepaskan dari amanat UU. Dengan kata lain, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan, antara lain menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Juga berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah serta negara yang melindungi kepentingan masyarakat. Di bidang perdata dan tata usaha negara, merujuk Pasal 34 UU Kejaksaan, Jan mengungkapkan, fungsi Kejaksaan memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lain.
“Ini merupakan cara pandang baru dalam penegakan hukum. Mengutamakan upaya pencegahan dan persuasif agar penyimpangan yang berpotensi merugikan negara sejak awal bisa dicegah. Dengan kata lain, pencegahan harus dilihat sebagai sebuah penegakan hukum,” kata Jan Maringka.
Berdasarkan uraian tersebut, pembentukan lembaga seperti TP4 selain sebagai amanat UU, juga sebagai respons Kejaksaan dalam mendukung program pemerintah di bidang pembangunan nasional. Ini sejalan dengan komitmen Presiden Jokowi dalam mengedepankan upaya pencegahan sebagai strategi pemberantasan korupsi.
Keberhasilan TP4 dalam mengawal pembangunan pun sudah terbukti. Jokowi, misalnya, ketika meresmikan New Yogyakarta International Airport menyebut sebagai pembangunan tercepat yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Di samping tercepat, kualitas konstruksi dan desainnya terbaik di Indonesia.
Soal ini, Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) I Faik Fahmi mengakui TP4 sangat membantu kelancaran pembangunan bandara tersebut hingga akhirnya infrastrukturnya bisa selesai lebih cepat dari target. Bantuan TP4 meliputi banyak hal antara lain administrasi dan masalah legal.
Pengakuan serupa juga muncul dari Inspektur Jenderal Kementerian PUPR Widiarto pada pertengahan Oktober lalu. Setelah hampir 2 tahun nota kesepahaman antara PUPR dan TP4 baik di pusat maupun di daerah, sejumlah pekerjaan (proyek) bisa dikerjakan dengan lancar dan baik. Salah satunya, kata Widiarto, adalah gelaran Asian Games 2018.
Di samping itu, sejak TP4 dibentuk pada 2015 dan mulai efektif bekerja pada 2016, Kejaksaan mencatat sejumlah respons positif dari berbagai kalangan. Buktinya berbagai lembaga seperti kementerian, BUMN, BUMD dan pemerintah daerah mengajukan permohonan untuk mendapat pendampingan dari TP4 dalam pelaksanaan kegiatannya.
Untuk 2016, pengawalan dan pengamanan yang dilakukan TP4 mencapai 1.903 kegiatan dengan total anggaran sebesar Rp 109,6 triliun. Tahun selanjutnya, kegiatan pengawalan dan pengamanan oleh TP4 meningkat 5 kali lipat menjadi 10.270 kegiatan dengan nilai proyek sebesar Rp 977 triliun atau meningkat 8 kali lipat dari 2016.
Sedangkan 2018, pengawalan dan pengamanan oleh TP4 sebanyak 5.032 kegiatan dengan nilai proyek Rp 605,3 triliun. Memasuki tahun ke-4 kehadiran TP4 baik di pusat maupun di daerah mendapat sambutan positif yang luar biasa sehingga kegiatannya pada Semester I 2019 mencapai 1.898 proyek senilai sekitar Rp 94,6 triliun.
Tercoreng
Meski menuai berbagai kinerja positif, TP4 ini lalu tercoreng lantaran sejumlah kasus yang melibatkan jaksa “nakal” yang ditangkap KPK beberapa waktu lalu. Dalam operasi tangkap tangan pada Agustus 2019, KPK mencokok jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta Eka Safitri, yang merupakan anggota TP4 Daerah bersama jaksa di Kejari Surakarta, Satriawan Sulaksono.
Keduanya ditetapkan tersangka penerima suap dalam kasus lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta tahun anggaran 2019. Kasus yang sempat membetot perhatian publik inilah antara lain menjadi dasar membubarkan TP4.
“Kita akui ada penyimpangan, tapi ada ribuan yang berhasil. Kita akan evaluasi itu, kita akan lebih optimal lagi dan evaluasi TP4,” kata Jan Maringka menanggapi hal tersebut.
Tak lama setelah wacana pembubaran TP4 menyebar secara masif, kabar mengejutkan justru datang dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara. Pasalnya, 2 proyek pembangunan jalan di 2 wilayah tersebut diawasi dan dievaluasi kepolisian setempat.
Proyek jalan di Kalimantan Barat, misalnya, Kepolisian Resort Melawi ikut mengawasi dan mengevaluasinya. Proyek jalan Desa Tembawang menuju Labai Mandiri Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalbar itu bernilai sekitar Rp 472 juta.
Kemudian, proyek peningkatan Jalan Swadaya hingga Simpang Jalan Inhutani di Malinau, Kaltara. Proyek senilai Rp 38,4 miliar ini diawasi dan dievaluasi tim Kepolisian Daerah (Polda) Kaltara.
Soal ini, aktivis hak asasi manusia dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar yang kritis terhadap keberadaan TP4 mengatakan, proyek memang “gula” bagi penegak hukum. Itu sebabnya, pembangunan kerap boros karena adanya biaya “siluman”.
“Pengusaha jadi dilematis. Terdesak karena proyek dikerjakan harus kolusif. Kalau tidak, bisa-bisa tidak dapat proyek. Dikerjakan kalau tak setor bisa kena pidana. Inilah ruang main penegak hukum,” tutur Haris lewat perpesanan aplikasi Whatsapp beberapa waktu lalu.
Lalu apa yang bisa dianalisis dari masifnya wacana pembubaran TP4 dan munculnya kepolisian dalam mengawal serta “mengamankan” proyek? Benarkah ada persaingan di antara kedua lembaga? Menurut Haris, sebenarnya kedua lembaga penegak hukum di beberapa tempat tampak ada persaingan. Namun, terkadang keduanya sama-sama “menikmati” yang disebut Haris sebagai “gula” itu. [Kristian Ginting]