KH Maimoen Zubair/ppmalfalahsukajaya.or.id

Koran Sulindo – Wafatnya KH Maimoen Zubair di Makkah, Arab Saudi, Selasa (6/8/2019) pukul 04.17 waktu Arab Saudi saat menjalankan ibadah haji di Makkah disebut sebagai kematian alam.

“Mautul ‘ãlim mautul ‘ãlam (kematian orang alim adalah kematian alam),” tulis Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri, di akun Facebook-nya, hari ini.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu mengatakan wafatnya Mbah Moen, sapaan akrab KH Maimoen Zubair, membawa ilmu dan akhlaknya.

“Tokoh pendamai yang menyukai perdamaian itu kini telah damai di sisi Zat yang Maha Damai,” tulis Gus Mus, sapaan akrab Mustofa Bisri. “Meninggalkan kita yang belum selesai dengan urusan dunia ini, dengan membawa segudang ilmu, akhlak, dan kearifan beliau.”

Menurut Gus Mus, Sebenarnya  putra-putra Mbah Moen mencegahnya berangkat haji tahun ini, tetapi tidak ada satupun yang berani mengatakan langsung.

“Maka mereka minta tolong salah satu santri kinasih beliau yang kebetulan masih famili, Mas Nawawi (Pemilik akun Facebook Jambal roti),” katanya.

Nawawi dengan hati-hati matur menggunakan gaya bercerita menceritakan obrolan putra-putra Mbah Moen. Belum sampai tuntas memberitahu apa yang mereka obrolkan, Mbah Moen memotong.

“Mereka melarang aku berangkat haji ya?! Karepé déwé!” (Maunya sendiri),” tulis Gus Mus mencatat ucapan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah itu.

Kiai kelahiran 10 Agustus 1944 itu merasa ketar-ketir saat santri kinasih Mbah Moen itu menceritakannya. “Terus terang saat Mas Nawawi menceritakan hal itu, dalam hati aku sudah merasa ketir-ketir, tidak enak,” katanya.

Masalahnya, belakangan ini setiap bertemu Mbah Moen hampir selalu menyampaikan bahwa doanya sekarang ini hanya memohon husnul khãtimah mengingat usianya sudah 90 tahun lebih.

“Dan doa permohonan beliau dikabulkan oleh Kekasihnya,” tulis Gus Mus.

Mbah Maimoen Zubair wafat pada Selasa (8/8/2019) di Makkah, Arab Saudi sekitar pukul 04.17 pagi waktu setempat di sela sedang akan menunaikan ibadah haji. Sebelumnya ia sempat mendapat perawatan dari tim medis asal Indonesia sebelum kemudian dilarikan ke Rumah Sakit An-Noor Makkah.

Atas persetujuan pihak keluarga, Mbah Maimoen Zubair dimakamkan area kompleks pemakaman Ma’la, Makkah tidak jauh dari Masjidil Haram. Beliau dimakamkan sekitar 500 meter dari makam istri pertama Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah. Sebelumnya, ribuan jamaah menyolatinya di Masjidil Haram.

Ingin Meninggal Hari Selasa

Almaghfurlah KH Maimoen Zubair menginginkan meninggal hari Selasa dan sedang berada di Tanah Suci Makkah merupakan cerita yang mutawatir atau diceritakan banyak orang. Salah satu yang pernah mendengar cerita dan keinginan tersebut adalah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

“Saya mendengar langsung keinginan Mbah Moen dari beliau sendiri,” ungkap Kiai Said di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (6/8/2019), seperti dikutip nu.or.id.

Menurut Kiai Said, Mbah Moen pernah bercerita bahwa ayah, kakek, hingga buyutnya meninggal di hari Selasa, karena itu ingin juga meninggal hari Selasa.

“Ayahku, mbahku, buyutku meninggal hari Selasa. Aku pun ingin hari Selasa,” kata Kiai Said menirukan Mbah Moen.

Salah seorang menantu Mbah Moen KH, KH Zuhrul Anam Hisyam (Gus Anam) melalui akun Facebooknya menyampaikan tentang keinginan mertuanya tersebut serta meminta didoakan orang lain agar keingininannya itu dikabulkan Allah.

“Mbah Yai Maimun pernah dawuh, minta didoakan meninggal pada hari Selasa karena biasanya orang ahli ilmu itu meninggalnya hari Selasa. Dan minta didoakan meninggal di Makkah pas haji,” kata Gus Anam, melalui akun Facebooknya.

“Masya Allah, diijabah oleh Allah semuanya,” kata kiai yang tinggal di Banyumas ini.

Mbah Moen berusia 91 tahun saat berangkat ke Tanah Suci Makkah pada Ahad 28 Juli lalu. Meskipun usia sudah lanjut, hampir tiap musim haji, pengasuh pondok pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah ini melaksanakan rukun Islam kelima tersebut.

Pada saat wafatnya Mbah Moen merupakan seorang mustasyar (penasihat) PBNU. Pada muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 2015 lalu, ia merupakan salah seorang dari sembilan ulama ahlul halli wal aqdi yang menentukan pemimpin tertinggi di NU, yaitu Rais Aam.

Tamu Terakhir

Duta Besar RI untuk Kerajaan Saudi Arabia Agus Maftuh Abegebriel sempat sowan ke hotel tempat Mbah Moen bermalam.

“Saya hanya mampu menyampaikan duka yang sangat mendalam atas kondur-nya guru kami, mursyid kami, syekh kami, sekaligus juga orang tua kami KH Maimoen Zubair Dahlan,” kata Agus Maftuh, melalui siaran langsung via akun Facebook NU Online, oleh wartawan NU Online Muhammad Faizin.

Pernyataan Agus itu ia sampaikan saat didaulat memberi testimoni dalam upacara penghormatan terakhir kepada Mbah Moen di kantor daerah kerja (daker) Makkah, Selasa (6/8/2019) waktu setempat. Jenazah kiai kharismatik ini disemayamkan beberapa saat sebelum disholatkan di Masjidil Haram.

Menurut Agus, sehari sebelumnya ia sowan kepada Mbah Moen.

“Kami sowan beliau bukan sebagai duta besar. Tapi, sebagai santri beliau. Sebagai seorang santri beliau kemarin saya sowan beliau beserta istri dan anak-anak saya dan juga para staf KBRI,” katanya.

Ia merasa berdosa jika belum sowan kepada guru idolanya tersebut. “Kami sowan beliau sebagai seorang santri, karena berdosa besar kalau Mbah Moen ada di Saudi sementara saya tidak sowan beliau,” katanya.

Setelah pertemuan itu, Agus berdiskusi dengan beberapa temannya.

“Jadi beliau dengan suara berat setelah berdoa untuk Bangsa dan Negara Indonesia yang beliau sebut sebagai negara nasionalis-religius dan religius. Beliau bilang, ‘Kang Maftuh, malam ini sampean tamu saya yang terakhir’,” katanya.

Mendengar kalimat tersebut, Agus terdiam.

“Saya langsung tak bisa berkata apa-apa. Keluar dari ruangan Mbah Moen jam 2 dini hari. Dua jam saya sama beliau karena nggak boleh pulang,” kata Agus terbata-bata, disambut isak tangis hadirin.

Mbah Moen sempat melarang Dubes Agus beranjak dari tempat duduknya.

“Beliau asyik bercerita saat pertama kali mendirikan Pesantren Sarang pada 1970 dengan dibantu seorang santri namanya Abdurrasyid, dan itu adalah Bapak saya. Lalu, beliau juga cerita soal mertua saya, seorang guru ngaji, namanya Abdullah Zawawi,” kata Agus.

Sosok KH Maimoen Zubair

Wafatnya Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maimoen Zubair meninggalkan kesan mendalam bagi umat Muslim di tanah air. Bukan hanya akhlak dan komitmen kebangsaan yang tinggi, tetapi juga keilmuan yang luas terutama bagi perkembangan tradisi keilmuan di pondok pesantren.

Jasa dan kiprah Mbah Maimoen meninggalkan banyak catatan berharga. Juri Ardiantoro, salah seorang Ketua PBNU, seperti dikutip nu.or.id, memaparkan setidaknya ada lima catatan penting mengenai sosok ulama kharismatik yang meninggal di usia 91 tahun ini.

Pertama, tentang geneologi kealiman. Beliau tidak ada yang meragukan keilmuan dan sanad keilmuannya, baik dari orang tuanya maupun dari guru-gurunya mulianya.

“Beliau juga telah melahirkan banyak kader-kader yang alim dan melakukan kiprahnya di berbagai medan dakwah di Nusantara ini,” kata Juri, di Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Kedua, tentang gaya hidup yang sederhana. Mbah Maimoen adalah tokoh kaliber internasional. Sikapnya menjadi rujukan banyak orang, termasuk elit-elit di negeri ini. Jadi bisa saja beliau menikmati gemerlap dan nikmatnya dunia.

“Tetapi beliau hidup dengan kesederhanaan, kesahajaan, tanpa mengurangi wibawa dan pengaruhnya di masyarakat,” katanya.

Ketiga, tentang komitmen tinggi terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini Mbah Maimoen bisa dicatat beberapa hal penting dan prinsipil. Pertama, sebagai motivator bagi generasi muda untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Beliau sering mengatakan jangan mikir akan jadi apa, tapi dengan pintar akan  jadi apa-apa. Kedua, prinsip pendidikan tanpa membeda-bedakan.

“Ini terlihat dari cara Mbah Maimoen yang selalu menganggap santri itu sama dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga tidak ada pembedaan perlakukan kepada semua santri-santrinya,” katanya.

Keempat, di bidang kebangsaan. Mbah Maimoen adalah salah satu poros rujukan dan sandaran bagi paham dan praktik beragama umat di Nusantara. Keyakinan dan komitmennya untuk menjadikan agama sebagai rahmat bagi masyarakat yang beragam inilah yang membuat sosoknya selalu ada di hati masyarakat dari berbagai golongan.

“Menjaga Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu amanatnya bagi kita utk menjaganya,” kata Juri.

Kelima, ke-NU-an. Bagi warga NU beliau adalah panutan. Di samping selalu mendampingi perjalanan NU selama hidupnya, juga telah mendidik kader kader santri-santri menjadi aktivis yang turut menjaga dan mengurus NU. [Didit Sidarta]