Ilustrasi: Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto/tni.mil.id

Koran Sulindo – Pengalaman hidup yang pahit justru bisa menjadi cambuk untuk kesuksesan.

“Dalam perjalanan hidup saya sendiri 99 persen adalah proses, dan kesuksesan saat ini hanya 1 persen,” kata Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, di Jakarta, Minggu (21/7/2019), melalui rilis media.

Panglima TNI bertemu dengan tim produksi film “Sepatu Tua untuk Ibu” dan menceritakan suka-duka  perjuangan hidupnya di masa kecil hingga menjadi taruna Akabri, yang menarik dan inspiratif.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu hadir Eddy Suprapto (penulis biografi Marsekal Hadi Tjahjanto), Ody Mulya Hidayat (produser eksekutif Max Pictures) serta penggiat film lainnya: Imran Hasibuan dan Heru Hendratmoko.

“Perjuangan dalam kehidupan seorang anak manusia serta aspek human interest selalu menarik diangkat ke layar lebar. Karena itu kami tertarik mengangkat perjuangan hidup Bapak Hadi ke film, agar menjadi inspirasi kalangan milineal,” kata Ody Mulya.

Pergulatan hidup Hadi Tjahyanto, yang berasal dari keluarga sangat sederhana di Malang hingga mencapai posisi puncak di TNI, telah dituangkan dalam buku “Anak Sersan Menjadi Marsekal” karya Eddy Suprapto. Kisah-kisah inspiratif yang pernah dialami Hadi Tjahjanto di masa kecil hingga remaja itulah yang akan diangkat dalam film “Sepatu Tua untuk Ibu”.

Dalam pertemuan itu, Panglima TNI merestui rencana produksi film tersebut.

Menurut Ody Mulya, film “Sepatu Tua untuk Ibu” genrenya adalah drama-inspiratif.

“Persiapan segera akan kami kerjakan, dengan menulis skenario yang diadaptasi dari biografi Pak Hadi. Insya Allah tahun depan film sudah bisa dirilis,” kata produser film yang sukses dengan serial Dilan tersebut.

Sebagai prajurit jebolan Lembah Tidar, Hadi Tjahjanto bukan hanya tertempa kerasnya latihan militer, tapi sejak kecil sudah tertempa dalam kerasnya kehidupan.

“Sejak kecil hingga remaja di Malang bermacam-macam pekerjaan sudah dijalaninya: mulai ‘ngasak’ jagung, bikin jemblem, donat, jualan kerupuk, sampai jadi caddy di lapangan golf,” kenang Eddy Suprapto, yang juga teman semasa SMA.

Menurut Eddy, saat menjadi taruna Akabri, Hadi aktif mengumpulkan sepatu bekas prajurit dan taruna, lalu dibawa setiap kali mudik ke Malang untuk dijual ke tukang loak.

“Hasil jualan sepatu itu kemudian dibelikan beras untuk keluarganya,” kata Eddy.

Semangat hidup pantang menyerah itu, mau menjalani proses hidup untuk meraih sukses, kini ditularkan Marsekal Hadi ke dunia pendidikan SMA Pradita Dirgantara Solo yang digagasnya sejak beberapa tahun lalu. [DAS]